bintang


Rabu, 23 November 2011

AL MADZAHIB AL ISLAMIYAH

((المذاهب الإسلامية
 I. Mukadimah

             “Dan seandainya Tuhanmu mau, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)

            Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain, ‘Seandainya Tuhanmu kehendaki niscaya berimanlahlah semua manusia di bumi.’ Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah, ‘Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain.’ Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (Ikrimah).” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim, II/465) bahkan Imam Hasan al Bashri radhiallahu ‘anhu mengatakan Allah menciptakan manusia untuk berbeda, adapun Ibnu Abbas dan Thawus bin Kaisan radhiallahu ‘anhuma mengatakan untuk rahmatlah mereka diciptakan (Ibid).

 II. Definisi
            Secara bahasa (etimologi), madzhab  (المذهب ) berasal dari kataذهب -  يذهب    yang berarti pergi. Jamaknya adalah madzahib ( المذاهب ) yang berarti at thariiqah (metode, jalan, cara), al mu’taqad (sesuatu yang diyakini), dan   al Ashlu (landasan, dasar). (ِAl Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 240)
            Secara istilah (terminologi), madzhab adalah sebuah aliran pemikiran tentang sesuatu, yang metodologi dan konsep dasar pemikirannya telah baku dibuat oleh pendirinya, lalu menusia mengacu padanya. Tadinya, madzhab hanya seputar aqidah dan fiqh, namun belakangan juga terjadi pada ekonomi, politik, seni, dan lain-lain.

III. Madzhab-madzhab dalam Islam

            Dalam kajian Islam istilah madzhab digunakan untuk menyebutkan golongan pemikiran dalam aqidah dan fiqh. Adapun dalam tasawwuf, manusia tidak menyebutnya madzhab, melainkan tarekat (thariqah), yaitu sebuah metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kali ini akan kita bahas tentang madzhab-madzhab dalam bidang aqidah. Insya Allah Ta’ala, pada kesempatan lain akan kita bahas pula madzhab dalam bidang fiqih.
  III. A. Madzhab dalam Aqidah (Teologi)
            Pada mulanya Islam hanyalah satu, yaitu yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan oleh orang-orang beriman setelahnya yakni para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Kelak, jalan inilah yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.  Adapun jalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya  adalah jalan syetan yang dilakukan para ahli bid’ah yang sesat, yang akan memecah belah umat Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
            Allah Ta’ala berfirman:
            “Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan memecahbelahkan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am: 153)
            Tetang ayat ini Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus dengan tangannya lalu ia membaca ‘ Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus’  lalu ia membuat garis di kanan dan kiri garis lurus tersebut lalu bersabda, “Inilah jalan yang tidak ada darinya kecuali pasti dilalui syetan yang selalu menyeru ke jalan itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/190)
            Sementara itu kita juga diperintah untuk mengikuti jalan para sahabat, firman Allah Ta’ala yang lain:
            “Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
            Dalam tafsir dikatakan, “Inilah jalanku dalam da’wahku, di atas keyakinan dan hujjah yang jelas, kepadanyalah seruan seluruh sahabatku dan orang-orang yang beriman kepadaku.” (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 248)
            Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, umat terpecah menjadi banyak kelompok. Khususnya setelah perundingan antara Abu Musa al Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al Ash (utusan dari Mu’awiyah). Mereka berdua sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari jabatan khalifah, namun tiba-tiba Amr bin al Ash kembali membaiat Mua’wiyah menjadi khalifah. Akhirnya pengikut Ali marah. Merekalah  yang selanjutnya disebut syi’atu ‘ali (pengikut Ali, Syi’ah), adapun kelompok manusia yang keluar dari mereka semua adalah khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua karena –menurut mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan perdamaian, melainkan menggunakan hukum manusia (Abu Musa dan Amr bin al Ash), sebenarnya cikal bakal khawarij sudah ada pada masa Rasulullah hidup. Namun, kisah ‘pengkhianatan’ Amr bin al Ash ini diragukan validitas sanadnya (dhaif).
Sedangkan, kelompok mayoritas tetap memuliakan Ali dan Muawiyah, dan orang-orang yang terlibat dalam perundingan, karena semuanya adalah sahabat nabi yang mulia, dan masing-masing punya keistimewaan. Para  ulama mengatakan keduanya berijtihad, hanya saja pihak yang benar adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah keliru. Namun kesalahan dalam ijtihad mendapatkan pahala satu. Sesungguhnya, kesalahan para sahabat tidaklah menutupi segunung dan samudera kebaikan yang telah mereka persembahkan untuk Islam. itulah Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka pertengahan dalam menilai masalah ini, dan masalah-masalah lainnya.
Syaikh Said bin Ali Wahf al Qahthany berkata, “Umat Islam adalah umat pertengahan (wasath) di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firmanNya, ‘Dan demikianlah kami jadikan kalian umatan wasathan’,   dan Ahlus Sunnah merupakan umat pertengahan di antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam.” (Said bin Ali Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 48)
Jadi, perbedaan teologi dalam Islam, ternyata diawali polemik politik di antara sahabat yang sebenarnya tidak seberapa, lalu dibesarkan oleh golongan munafik dan Yahudi (Abdullah bin Saba’).

III.B. Mengenal madzhab-madzhab Aqidah (diterjemahkan dari Kitab Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, karya Syaikh Said bin ‘Ali Wahf al Qahthany, dengan muraja’ah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, hal. 53-58. Cet. 2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Riasah Idarat al Buhuts wal I’lmiyah wad Da’wah wal Irsyad. Riyadh)


III.B.1. Dalam menyikapi ‘hubungan antara dosa dan iman’ , umat Islam terbagi atas  kelompok-kelompok  berikut:

a. Al Haruriyah, dia adalah kelompok dari khawarij di nisbatkan kepada daerah Harura’, yaitu daerah dekat Kufah (di Irak). Mereka berkumpuil di sana ketika mereka keluar dari pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.
           
Bagi mereka, tidak dinamakan beriman kecuali orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka katakan: Sesungguhnya agama dan iman adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bisa bertambah dan berkurang. Maka barangsiapa yang melakukan dosa besar dia kafir di dunia dan di akhirat kekal di neraka, jika ia mati sebelum bertobat.

b. Al Mu’tazilah, mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha dan ‘Amru bin Ubaid. Mereka dinamakan  demikian, karena mereka I’tizal (memisahkan diri) dari majelis Imam Hasan al Bashri (Imam Ahlus Sunnah, pen), ada juga yang menyebutkan sebab lainnya.

            Bagi mereka, seseorang tidak dikatakan beriman kecuali ia menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka berkata: sesungguhnya agama dan iman, adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bertambah dan tidak berkurang. Barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka kedudukannya diantara dua tempat (manzilah baina al manzilatain) –keluar dari iman tetapi tidak kafir- itu hukum di dunia. Sedangkan di akhirat mereka kekal di neraka.

            Terlihat ada dua persamaan dan dua perbedaan antara Khawarij dan Mu’tazilah.  Persamaannya adalah: Pertama, sama-sama mengingkari keimanan orang yang melakukan dosa besar. Kedua, menganggap pelaku dosa besar masuk ke neraka kekal selamanya.

Perbedaannya adalah: Pertama, menurut khawarij pelaku doa besar adalah kafir, menurut mu’tazilah mereka menyebutnya manzilah baina al manzilatain (posisinya di antara dua tempat). Kedua, khawarij menghalalkan darah pelaku dosa besar, sedangkan mu’tazilah tidak.

c. Al Murji’ah,  mereka mengatakan dosa tidaklah berdampak buruk bagi keimanan, sebagaimana ketaatan tidaklah membawa manfaat bagi kekafiran. Mereka mengatakan iman itu hanyalah dibenarkan di hati saja. Bagi mereka para pelaku dosa besar imannya tetap sempurna, dia tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka. Maka atas dasar ini, keimanan manusia paling fasiq sama saja dengan keimanan manusia paling sempurna.       

d. Pandangan di atas sama dengan Al Jahmiyah (disandarkan kepada Jahm bin Shafwan, pen), ia  telah membuat bid’ah ta’thil (mengingkari adanya asma wa sifat bagi Allah), Jabr (Jabriyah/fatalis), Irja’ (murji’ah), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim (w. 751H) –rahimahullah- bahwa bagi mereka pelaku dosa besar tetaplah sempurna imannya, dan tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka.

e. Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka telah mendapatkan petunjuk Allah di atas kebenaran. Mereka mengatakan: Sesungguhnya iman adalah ucapan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan nyata, dan diyakini dalam hati. Bisa bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena maksiat. Adapun dosa besar menurut mereka, membuat keimanan seseorang berkurang (tidak sempurna, pen), sesuai ukuran maksiat yang dilakukannya.  Mereka tidak sampai mengingkari secara total keimanan pelaku dosa besar sebagaimana khawarij dan mu’tazilah, tidak juga mengatakan tetap sempurna keimanan pelaku dosa besar sebagaimana menurut Jahmiyah dan Murji’ah.

            Adapun hukumnya di akhirat, para pelaku dosa besar itu tahta masyiatillah (di bawah kehendak Allah), jika Allah kehendaki mereka akan masuk surga karena rahmat dan karuniaNya. Jika Dia menghendaki mereka akan mendapat siksaan sesuai kadar maksiatnya secara adil. Kemudian  setelah suci, mereka akan dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke dalam surga. Itu jika, dosa yang dilakukannya tidak sampai hal-hal yang membatalkan keislamannya, atau ia menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan. Ahlus Sunnah menghukumi bahwa seorang mu’min (jika melakukan dosa besar, pen) tidaklah kekal di neraka. Ini adalah pertengahan di antara khawarij dan mu’tazilah yang mengatakan kekal di neraka, atau murjiah dan jahmiyah yang mengatakan pelaku dosa tidaklah mendapat hukuman.  

III.B. 2.   Sedangkan dalam menyikapi para sahabat Nabi Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in, terbagi atas beberapa kelompok, yakni:

a. Ar Rafidhah, yaitu segolongan dari  syiah, mereka melampaui batas (ghuluw) dalam memuliakan Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli Bait. Mereka memproklamirkan permusuhan terhadap mayoritas sahabat nabi seperti yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman, pen), mengkafirkan mereka, dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali (yakni Aisyah dan pengikutnya ketika perang Jamal, atau Mu’awiyah dan pengikutnya dalam perang Shiffin, pen).
           
            Mereka mengatakan sesungguhnya Ali adalah Imam yang ma’shum.  Alasan kenapa mereka dinamakan rafidhah, karena mereka meninggalkan (rafadhuu) Zaid bin Ali bin al Husein ketika mereka  mengatakan berlepas diri dari syaikhain (dua syaikh) yaitu Abu bakar dan Umar.  Maka Zaid berkata: “Allah melindungi penolong kakekku” (maksudnya Allah melindungi Abu Bakar dan Umar, yang pernah menolong kakeknya, Ali bin Abi Thalib, pen). Karena itu, mereka meninggalkannya, maka mereka dinamakan rafidhah.

            Sedangkan kelompok Zaidiyah mereka mengatakan, kami  mengikuti mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)  dan berlepas diri dari orang yang memutuskan hubungan dengan mereka berdua, dan mereka mengikuti Zaid bin Ali bin al Husein, karena itu mereka disebut Zaidiyah (lebih tenar disebut syiah zaidiyah, syiah yang moderat, pen).

b. Al Khawarij, mereka menerima sebagian besar sahabat, namun mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan  orang-orang yang bersama mereka berdua dari kalangan sahabat, dan memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka.

c. An Nawashib, mereka memproklamirkan permusuhan terhadap Ahli Bait dan melaknat apa-apa yang ada pada mereka.

d. Ahlus Sunnah wal Jamaah, Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk tetap di atas kebenaran. Mereka bersikap tidak melampaui batas terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli bait, mereka tidak memusuhi para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim, tidak  mengkafirkannya, tidak pula bersikap seperti golongan Nawashib yang memusuhi Ahli bait.

            Bahkan mereka mengetahui hak keseluruhan mereka dan keutamaannya, dan mengikuti mereka serta mengutamakan mereka sesuai urutannya; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Dan mereka tidak mau memasuki apa-apa (perselisihan, pen) yang terjadi di antara sahabat. Maka, mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan antara ekstrimitas rafidhah atau sikap keras khawarij.  Sampai di sini.

III.B. 3. Madzhab-madzhab berdasarkan kategori ‘Sikap Mereka Terhadap Ayat atau Hadits tentang  Nama dan Sifat Allah’

a. Al Mu’athilah, mereka melakukan ta’thil (mengingkari, meniadakan) nama dan sifat Allah. Bagi mereka Allah tidak memiliki nama dan sifat, sebab jika memiliki keduanya, maka Allah sama dengan makhluq. Inilah yang dilakukan oleh kelompok Jahmiyah (Jahm bin Shafwan) dan mu’tazilah.

b. Al Mujassimah wal Musyabbihah, mereka menganggap  Allah memiliki jism (wujud) seperti  manusia. Mereka melakukan tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) Allah dengan makhluk. Allah memiliki  wajah seperti wajah makhluk, tanganNya seperti makhluk,   betisNya seperti makhluk, marahNya seperti makhluk, tertawaNya seperti makhluk, bersemayamNya seperti makhluk, dan lain-lain.

c. Al Asy’ariyah (al Asya’irah), kelompok ini disandarkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Salah seorang Imam Ahlus Sunnah. Dahulu, selama tiga puluh tahun ia bermadzhab mu’tazilah (mengingkari asma dan sifat) karena pengaruh ayah tirinya seorang tokoh mu’tazilah  zaman itu, yaitu Ali al Juba’i. Lalu ia bertobat menuju Ahlus Sunnah, yaitu ia mengakui asma dan sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala, namun ia memberikan ta’wil (arti-tafsir) terhadap asma dan sifat tersebut. Fase selanjutnya, yaitu pada akhir hayatnya, ia meninggalkan ta’wil secara total terhadap asma dan sifat, ia mengikuti manhaj salaf yaitu itsbat (menetapkan dan mengukuhkan) adanya asma dan sifat. Sebagaimana tertera dalam kitabnya yang terakhir yakni Al Ibanah fi Ushulid Diyanah. Jadi, ia melalui tiga fase kehidupan bermadzhab, pertama, menjadi mu’tazilah, kedua,  menjadi Ahlus Sunnah tetapi masih menta’wil, ketiga,  menjadi Ahlus Sunnah secara sempurna tanpa ta’wil sama sekali. Nah,  Asy’ariyah adalah golongan yang mengikuti Imam al Asy’ary pada fase hidupnya yang kedua, masih melakukan ta’wil. Jadi, tidak selalu sama antara Asy’ariyah dengan Imam al Asy’ari.

            Menurut Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, golongan inilah yang menjadi anutan mayoritas ulama dan umat Islam di dunia, walau belum ada datanya.  Berbagai universitas menjadikannya sebagai teologi resmi, seperti Universitas Al Azhar, Universitas Karachi di Pakistan, Universitas Punjab di India, Universitas Deobond di India, Universitas Az Zaitun di Tunisia,  Universitas Qarwayain di Maroko, pesantren-pesantren di Indonesia, organisasi massa seperti Nahdhatul Ulama, Jamiat Khair, dan lain-lain. Sebagian manusia, khususnya kaum salafi progresif menganggap mereka ahli bid’ah, sebagian lagi mengatakan mereka adalah bagian dari –paling tidak mendekati- Ahlus Sunnah. Inilah pendapat yang lebih baik dan benar.  Sebab,  menuduh mereka sebagai ahli bid’ah (bukan Ahlus Sunnah) sama saja menuduh mayoritas umat ini dan ulamanya dalam kesesatan.

            Para Imam besar adalah pengikut Asy’ariyah seperti Imam al Baqillani, Imam al Isfirayini, Imam al Haramain (al Juwaini), Imam al Ghazali, Imam Fakhrurazi, Imam al Baidhawi, Imam al ‘Amidi, Imam asy Syahrustani, Imam Abul Faraj Ibnu al Jauzi,  Imam Abdul Qahir al Baghdadi, Imam Zainuddin al ‘Iraqi, Imam Izzuddin bin Abdussalam, Imam an Nawawi, Imam ar Rafi’i, Imam Ibnu Hajar al Haitamy, Imam Ibnu Hajar al Asqalani,  Imam as Suyuthi, Imam an Nasafi, Imam asy Syarbini, Imam Zakariya al Anshari. Dari Barat, Imam at Tarthusi, Imam al Maziri, Imam al Baji, Imam Ibnu Rusyd (al jad), Imam Ibnul ‘Arabi, Imam al Qadhi ‘Iyadh, Imam al Qurthubi, Imam al Qarafi, Imam asy Syathibi. Dari Hanafi, Imam al Khurki, Imam al Jashshash, Imam ad Dabusi, Imam as Sarkhasi, Imam as Samarqandi, Imam al Kisani, Imam Ibnul Hammam, Imam Ibnu Nujaim, Imam al Taftazani, dan Imam al Bazdawi. (Yusuf Al Qaradhawy, 70 Tahun Al Ikhwan Al Muslimun, hal. 311-312) Biasanya kepada mereka inilah yang disebut  golongan khalaf.    

            Maka wajar jika Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawa-nya tentang para ulama Asy’ariyah, “Ulama pembela ulama-ulama agama. Ulama Asy’ariyah adalah pembela pokok-pokok agama ..”   (Muhammad ‘Alwy Al Maliky, Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan, hal. 132)

            Tentang Asy’ariyah ini,  Syaikh Jasim al Muhalhil (Syaikhul Ikhwan di Kuwait) mengatakan, “Pertama, para ulama mengakui Asy’ariyah adalah kelompok yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah dalam memahami asma wa shifat. Kedua, mayoritas ahli fikih setelah zaman imam empat madzhab adalah pengikut Asy’ariyah. Ketiga, seorang ‘alim yang melakukan kesalahan adalah wajar dan manusiawi. Keempat, sesungguhnya kesalahan yang dilakukan oleh ulama yang aktif dalam da’wah dan jihad tetaplah dianggap kesalahan. Tetapi, kesalahan tersebut tidaklah disebut secara berlebihan dengan menghapus jerih payah mereka dalam mencapai kebenaran, tetapi ia gagal dan  terhenti sampai pada pendapatnya.”  (Syaikh Jasim al Muhalhil, Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan, hal. 47)

d. Ahlus Sunnah wal Jamaah (madzhab salaf),  mereka itsbat (menetapkan dan mengukuhkan) adanya nama dan sifat Allah, tanpa mengikarinya (ta’thil), tidak menyerupakan dengan makhluk (tamtsil), tidak melakukan  ta’wil, tidak merubahnya (tahrif), tidak bertanya bagaimana (takyif), dan mereka membiarkannya sebagaimana datangnya, mengimani makna-maknanya dan apa-apa yang ada padanya.

Ahlus Sunnah (salaf) menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya secara rinci “Dan Dia Maha Mendengar (As Samii’) dan Maha Melihat (Al Bashir)”, maka apa saja yang Allah dan rasulNya tetapkan untuk diriNya dari seluruh nama dan sifat, maka kita tetapkan adanya (nama dan sifat tersebut)  untuk Allah dengan cara yang patut bagiNya.

Ahlus Sunnah juga mengingkari apa-apa yang Allah dan rasulNya ingkari dari diriNya secara global dan menyeluruh, sesuai firmanNya, ”Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya” (QS. Asy Syura: 11) 

Berkata Al Ustadz Hasan al Banna rahimahullah,”Adapun salaf –ridhwanullah ‘alaihim- mereka mengatakan ‘Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan menyerahkan maksudnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka itsbat (menetapkan) adanya tangan, mata, bersemayam, tertawa, ta’jub, ….dan lain-lain. semua itu kita tidak mencapai maknanya dan seluruh kandungan ilmunya kita serahkan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, bab Al Qaid, hal. 362)


Dia juga berkata, “Kita meyakini bahwa pandangan kaum salaf yakni diam dan menyerahkan


kandungan makna-makna tersebut kepada Allah Tabaraka wa Ta’alaI adalah lebih selamat dan utama untuk diikuti, dengan memotong peluang untuk ta’ wil dan ta’thil. Maka jika Anda adalah orang yang Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan Allah sejukkan dadanya dengan keyakinan, maka peganglah pendapat ini, dan jangan beralih.” (Ibid, hal. 368)   

III.B. 4. Madzhab-madzhab dalam menyikapi ‘Kehendak Perbuatan Manusia’ (Ibid, hal. 50-51)

a. Al Jabriyah,  mereka adalah golongan jahmiyah yang mengatakan bahwa manusia menerima begitu saja (dipaksa-majbur) atas perbuatannya, gerakannya, bahkan seluruh gerakannya hingga gemetar dan keringatnya adalah perbuatan Allah.

b. Al Qadariyah, mereka adalah mu’tazilah yang mengikuti Ma’bad bin al Juhni dan orang-orang yang sepakat dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya sendiri bukan karena kehendak Allah, mereka mengingkari jika dikatakan Allah yang menciptakan perbuatan hamba-hambaNya. Mereka juga mengatakan: Allah tidak menolaknya juga tidak menghendakinya.

c. Ahlus Sunnah wal Jamaah, Allah memberikan petunjuk kepada Ahlus Sunnah untuk menjadikan mereka pertengahan di antara dua kelompok di atas. Mereka mengatakan: Allah menciptakan manusia dan perbuatannya. Manusialah yang melakukan hakikatnya, dan mereka dianugerahi kehendak dan kemauan (qudrah) untuk berbuat. Allah-lah yang menciptakan mereka dan menciptakan kehendak (qudrah) tersebut . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan Allah yang menciptakanmu dan apa-apa yang kamu lakukan” (QS. Ash Shafat: 96).

            Ahlus Sunnah menetapkan bahwa bagi manusia memiliki kehendak dan kemampuan untuk menentukan pilihan sesuai  kehendak Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “(Yaitu) bagi siapa saja di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS. At Takwir: 28-29)

 III. B. 5. Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah

            Madzhab ini sering juga disebut thaifah manshurah (kelompok yang ditolong), firqah an najiyah (golongan yang selamat), sawadul a’zham (kelompok yang besar), salafiyah (umat terdahulu) dan isitilah inilah yang dimustahabkan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pengikut Ahlus Sunnah disebut sunni.

Definisi:

Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang menyebut nama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara langsung. Istilah tersebut merupakan racikan dari beberapa hadits.  As Sunnah adalah thariqah (jalan) yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Al Jamaah secara bahasa adalah kaum yang berkumpul, namun yang dimaksud oleh aqidah ini adalah orang-orang terdahulu (salaf) dari umat ini, dari kalangan sahabat, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik  walau pun seorang diri namun tetap teguh di atas kebenaran yang dianut jamaah tersebut. (Syarh al Aqidah al Wasithiyah, hal. 10-11)

            Abdullah bin Mas’ud Radhilallahu ‘Anhu berkata, “Jamaah adalah apa-apa yang menyepakati kebenaran walau engkau seorang diri.” (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul lahfan min Mashayidisy Syaithan, I/70)

            Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Sebaik-baik manusia adalah zamanku (yakni para sahabat), kemudian setelahnya (para tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari (5/199,7/6,9/460), Muslim (7/184-185), Ibnu Majah (2/63-64), Ahmad (1/378, 417), dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Lihat Syaikh al Albany, dalam Sisilah al Ahadits Ash Shahihah no. 700)

            Dari Irbadh bin Sariyah Radhialllahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda,”Barangsiapa yang hidup setelah aku mati, kalian akan melihat banyak perselisihan, maka peganglah sunahku dan sunah khulafa’ur rasyidin setelahku, berpegangteguhlah padanya, dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. at Tirmidzi, menurutnya hasan shahih)

            Rasulullah juga bersabda,“Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua di neraka kecuali satu golongan, yaitu al jama’ah”. Mereka bertanya, “ golongan apa itu?”  Beliau menjawab, “apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar, menurutnya hasan gharib, tidak dikenal kecuali dari sisi ini. Hadits tentang perpecahan umat juga diriwayatkan oleh yang lain seperti Ibnu Majah dari Auf bin Malik tetapi tanpa teks ‘kecuali jamaah’ (2/1322), dishahihkan Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ (1/357I) dan Ash Shahihah no. 1492., Imam Ahmad (4/402), Abu Daud, Aunul Ma’bud (12/340). Menurut Ibnu Taimiyah hadits ini shahih, menurut Ibnu hajar al Asqalany; hasan shahih. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hazm hadits ini maudhu’ (palsu) juga menurut Imam Ibnul Wazir al Yamany, bahkan dicurigai hadits ini riwayatkan orang mulhid (ateis), Syaikh Yusuf al Qaradhawy juga meragukan hadits ini)

            Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Senantiasa ada segolongan orang dari umatku yang tegak di atas kebenaran,  orang yang tidak peduli dan berselisih dengan mereka tidaklah mencelakakan mereka. Mereka tetap demikian hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari ( 4/187), dan Muslim (3/1523) )

            Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181H) berkata tentang hadits di atas, “Menurutku mereka adalah para ulama hadits.”

            Imam Ali bin al Madini (w. 234H) berkata, “Mereka adalah para pemilik hadits.”

             Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) berkata, “Mereka adalah ulama hadits, jika bukan mereka, aku tidak tahu lagi siapa mereka.”

            Imam Ahmad bin Sinan (w. 259H) berkata, “Mareka adalah para ahjli ilmu dan pemilik atsar.”

            Imam Bukhari (w. 256H) berkata, “Yakni para ulama hadits.” (Syaikh al Albany, Silsilah al Ahadits Ash Shahihah no. 270)
 
            Jadi, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan jamaah para sahabat dan tabi’in, serta tabi’ut tabi’in, baik diri sisi paradigma berpikir dan  pengamalan terhadap agama, serta akhlak. Bukan sekedar simbolistik, tetapi esensi (ruh wa maqashid). Maka siapa-siapa saja yang mengikuti dan menempuh jalan keselamatan yang mereka tempuh secara benar, mereka juga termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah walau hidup tidak sezaman dengan mereka, bahkan walau hidup seorang diri. 

 III. C. Anjuran Berpegang Teguh Kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah

            Imam Abul Aliyah berkata, “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada urusan agama pertama yang dipegang manusia sebelum mereka terbagi-bagi.”

            Imam Al Auza’i berkata, “Sabarkanlah dirimu dalam berpegang kepada As Sunnah, berhentilah jika manusia berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa yang mereka tahan, ikutilah jalan salafus shalih, karena yang demikian membuat jalanmu lapang sebagaimana jalan mereka yang lapang.”
           
            Yusuf bin Asbath berkata, Sufyan (ats Tsauri) berkata kepadaku, “Wahai Yusuf, jika engkau mendengar seseorang di Timur bahwa ia berpegang kepada As Sunnah, maka sampaikan salamku padanya, dan jika di Barat engkau dengar ada yang berpegang kepada As Sunnah, maka sampaikanlah salamku padanya. Karena sedikit sekali orang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

            Sufyan at Tsauri berkata, “Mintalah nasihat yang baik dari Ahlus Sunnah, karena mereka itu dianggap orang-orang asing.”

            Mu’tamar bin Sulaiman berkata, “Aku menemui ayahku dengan wajah yang muram. Ayah bertanya, ‘Ada apa dengan dirimu?’ Aku menjawab, ‘Temanku meninggal dunia.’
            ’Apakah ia meninggal di atas As Sunnah?’ Tanya ayahku.
                 ‘Benar’ jawabku
            ‘Lalu kenapa engkau sedih dengan kematiannya?’ kata ayah.

            Ayyub (As Sukhtiyani) berkata, “Aku diberi tahu berita wafatnya kalangan Ahlus Sunnah, yang membuat salah satu anggota tubuhku seakan terlepas.” Dia juga berkata, “Sesungguhnya di antara kenikmatan orang Arab atau non Arab adalah jika mereka dipertemukan dengan ulama Ahlus Sunnah.”

            Al junaid bin Muhammad berkata, “Semua jalan tertutup, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunah dan jalan beliau, maka semua jalan kebaikan terbuka di hadapannya.”

            Imam Asy Syafi’i berkata,”Jika aku melihat seseorang dari Ahli hadits, seakan aku melihat seseorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”      
        
 III. D. Celaan Terhadap Bid’ah, Kelompok Bid’ah, dan Pelakunya

            Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, Riyadhus shalihin no. 169, Maktabatul Iman, Kairo)

             Hadits serupa, “Barangsiapa yang beramal yang aku tidak pernah memberi contoh maka ia tertolak.” (HR. Muslim, Ibid)

            Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnyasebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, dan sbaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan seburuk-buruknya urusan (dalam agama) adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim, Ibid, no. 170)

 Juga ada hadits serupa dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu.

            Isa bin Ali adh Dhabby berkata, Ada seseorang bersama kami yang berbeda pendapat dengan Ibrahim an Nakha’i. tak lama kemudian Ibrahim mendengar bahwa orang itu masuk ke golongan Murji’ah. Maka Ibrahim berkata, “Jika engkau meninggalkan kami, maka janganlah kembali lagi ke sini.”

            Thawus bin Kaisan sedang bersama anaknya. Datanglah seorang mu’tazilah mengajaknya bicara ini dan itu. Thawus langsung menyumbat telinganya dengan ujung jari dan berkata, “Wahai anakku, tutuplah kedua telingamu, agar engkau tidak mendengar apa pun dari orang ini, karena hati kita sangat lemah.”

            Salam bin Abu Muthi’ berkata, “Ada seseorang dari orang-orang yang biasa mengikuti hawa nafsu bertanya kepada Ayyub as Sukhtiyani, ‘Maukah engkau mendengarkan sepatah dua patah kata dariku ?’

            Ayyub berkata, “Tidak, walau setengah kata.”

            Ayyub juga berkata, “Tidaklah ahli bid’ah berijtihad, melainkan semakin membuatnya jauh dari Allah.”

            Sufyan ats Tsauri berkata, “Bid’ah itu lebih Iblis sukai dibanding kedurhakaan. Kedurhakaan masih ada pahalanya, sedangkan bid’ah tidak mendapat apa-apa.”

Mu’ammal bin Ismail menceritakan ketika Abdul Aziz bin Abu Daud seorang murji’ah meninggal, manusia ingin menshalatinya. Ketika Sufyan ats Tsauri datang manusia memberinya jalan, ternyata Sufyan hanya melihat dan melewati jenazah Abdul Aziz, tidak mau menshalatinya, karena kemurjia’ahannya.

Said al Kariry berkata, “Sulaiman at Tamimy menangis tersedu-sedu saat dia sakit. Lalu ada yang bertanya, ‘Mengapa kau menangis? Apa kau takut mati?’ ”

Dia menjawab, “Tidak, tetapi aku pernah berjalan melewati seorang pengikut qadariyah, lalu aku takut Rabb akan menghisabku karena hal itu.”

Fudhail bin Iyadh berkata, “Apabila ada orang yang duduk satu majelis dengan ahli bid’ah, maka waspadailah orang itu.”

Masih banyak celaan dari para ulama salafus shalih terhadap bid’ah dan pelakunya.

Hari ini, khawarij, mu’tazilah. qadariyah, jabariyah, murji’ah, sudah tidak ada dalam tataran komunitas yang mengaku-aku sebagai madzhab tersebut. Namun dalam tataran pemikiran, banyak kelompok Islam yang mewarisi pemikiran mereka. Khawarij yang amat mudah mengkafirkan sesama muslim diwakili oleh LDII, NII, dan kelompok manapun yang mengkafirkan sesama muslim lantaran belum masuk kelompoknya. Mu’tazilah dan qadariyah, sebuah kelompok rasional ekstrim, telah diwakili oleh JIL yang lebih mendahulukan akal di atas nash. Semuanya adalah neo tetapi isinya sama saja, dan mudah diketahui bagi ahli ilmu.   Jabariyah, kelompok fatalis yang menganggap manusia seperti mayat yang tidak berdaya apa-apa, semua perbuatan adalah perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla  sampai buang hajat, tepuk tangan, bahkan membunuh dan berzina, semuanya adalah perbuatan Allah, tidak ada sebab manusia di dalamnya. Maka kita harus pasrah dan pasrah.  Kelompok ini, kadang diwakili oleh sufi ekstrim yang mengingkari sebab dan usaha manusia.

Adapun syiah sampai hari ini masih eksis dan menjadi mayoritas di Persia (Iran dan Irak), sebagian ada yang ekstrim, ada pula yang moderat.

 Wallahu A’lam bish Shawab walillahil ‘Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar