((المذاهب الإسلامية
I. Mukadimah
“Dan seandainya Tuhanmu mau, niscaya Dia
jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih,
kecuali yang dirahmati Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia mampu
menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran,
sebagaimana firmanNya yang lain, ‘Seandainya Tuhanmu kehendaki niscaya
berimanlahlah semua manusia di bumi.’ Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa
berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa
terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan
pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah, ‘Mereka berbeda dalam petunjuk’.
Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling
memberikan upah satu sama lain.’ Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama
(Ikrimah).” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim, II/465)
bahkan Imam Hasan al Bashri radhiallahu ‘anhu mengatakan Allah
menciptakan manusia untuk berbeda, adapun Ibnu Abbas dan Thawus bin Kaisan radhiallahu
‘anhuma mengatakan untuk rahmatlah mereka diciptakan (Ibid).
II. Definisi
Secara bahasa (etimologi), madzhab (المذهب ) berasal dari
kataذهب -
يذهب yang berarti pergi.
Jamaknya adalah madzahib ( المذاهب ) yang berarti
at thariiqah (metode, jalan, cara), al mu’taqad (sesuatu yang
diyakini), dan al Ashlu (landasan, dasar).
(ِAl Munjid fil Lughah wal A’lam,
hal. 240)
Secara istilah (terminologi), madzhab
adalah sebuah aliran pemikiran tentang sesuatu, yang metodologi dan konsep
dasar pemikirannya telah baku dibuat oleh pendirinya, lalu menusia mengacu
padanya. Tadinya, madzhab hanya seputar aqidah dan fiqh, namun belakangan juga
terjadi pada ekonomi, politik, seni, dan lain-lain.
III. Madzhab-madzhab dalam Islam
Dalam
kajian Islam istilah madzhab digunakan untuk menyebutkan golongan pemikiran
dalam aqidah dan fiqh. Adapun dalam tasawwuf, manusia tidak menyebutnya
madzhab, melainkan tarekat (thariqah), yaitu sebuah metode untuk
mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kali ini akan kita bahas
tentang madzhab-madzhab dalam bidang aqidah. Insya Allah Ta’ala, pada
kesempatan lain akan kita bahas pula madzhab dalam bidang fiqih.
III. A.
Madzhab dalam Aqidah (Teologi)
Pada mulanya Islam hanyalah satu,
yaitu yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, lalu dilanjutkan oleh orang-orang beriman setelahnya yakni para
sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Kelak, jalan inilah yang ditempuh
oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Adapun jalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya
adalah jalan syetan yang dilakukan para ahli bid’ah yang sesat, yang
akan memecah belah umat Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Al Qur’an dan
Al Hadits.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya inilah jalanKu
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), yang akan memecahbelahkan kamu dari jalanNya. Yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am: 153)
Tetang ayat ini Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus dengan
tangannya lalu ia membaca ‘ Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus’ lalu ia membuat garis di kanan dan kiri garis
lurus tersebut lalu bersabda, “Inilah jalan yang tidak ada darinya kecuali
pasti dilalui syetan yang selalu menyeru ke jalan itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, II/190)
Sementara itu kita juga diperintah
untuk mengikuti jalan para sahabat, firman Allah Ta’ala yang lain:
“Katakanlah, “Inilah jalanku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang musyrik.” (QS.
Yusuf: 108)
Dalam tafsir dikatakan, “Inilah
jalanku dalam da’wahku, di atas keyakinan dan hujjah yang jelas, kepadanyalah
seruan seluruh sahabatku dan orang-orang yang beriman kepadaku.” (Khalid
Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 248)
Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, umat
terpecah menjadi banyak kelompok. Khususnya setelah perundingan antara Abu Musa
al Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al Ash (utusan dari Mu’awiyah).
Mereka berdua sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari
jabatan khalifah, namun tiba-tiba Amr bin al Ash kembali membaiat Mua’wiyah
menjadi khalifah. Akhirnya pengikut Ali marah. Merekalah yang selanjutnya disebut syi’atu ‘ali
(pengikut Ali, Syi’ah), adapun kelompok manusia yang keluar dari mereka
semua adalah khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak
mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua karena –menurut
mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan
perdamaian, melainkan menggunakan hukum manusia (Abu Musa dan Amr bin al Ash),
sebenarnya cikal bakal khawarij sudah ada pada masa Rasulullah hidup.
Namun, kisah ‘pengkhianatan’ Amr bin al Ash ini diragukan validitas sanadnya (dhaif).
Sedangkan, kelompok mayoritas tetap memuliakan Ali dan Muawiyah, dan orang-orang
yang terlibat dalam perundingan, karena semuanya adalah sahabat nabi yang
mulia, dan masing-masing punya keistimewaan. Para ulama mengatakan keduanya berijtihad, hanya
saja pihak yang benar adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah keliru. Namun kesalahan dalam
ijtihad mendapatkan pahala satu. Sesungguhnya, kesalahan para sahabat tidaklah
menutupi segunung dan samudera kebaikan yang telah mereka persembahkan untuk
Islam. itulah Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka pertengahan dalam menilai
masalah ini, dan masalah-masalah lainnya.
Syaikh Said bin Ali Wahf al Qahthany berkata, “Umat Islam adalah umat
pertengahan (wasath) di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firmanNya,
‘Dan demikianlah kami jadikan kalian umatan wasathan’, dan Ahlus Sunnah merupakan umat pertengahan
di antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam.” (Said
bin Ali Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam
Ibni Taimiyah, hal. 48)
Jadi, perbedaan teologi dalam Islam, ternyata diawali polemik politik di antara
sahabat yang sebenarnya tidak seberapa, lalu dibesarkan oleh golongan munafik
dan Yahudi (Abdullah bin Saba’).
III.B. Mengenal madzhab-madzhab Aqidah (diterjemahkan dari Kitab Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, karya Syaikh Said bin ‘Ali Wahf al Qahthany, dengan muraja’ah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, hal. 53-58. Cet. 2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Riasah Idarat al Buhuts wal I’lmiyah wad Da’wah wal Irsyad. Riyadh)
III.B.1. Dalam menyikapi ‘hubungan
antara dosa dan iman’ , umat Islam terbagi atas kelompok-kelompok berikut:
a. Al Haruriyah, dia
adalah kelompok dari khawarij di nisbatkan kepada daerah Harura’,
yaitu daerah dekat Kufah (di Irak). Mereka berkumpuil di sana ketika mereka
keluar dari pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.
Bagi mereka,
tidak dinamakan beriman kecuali orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan
menjauhi dosa-dosa besar. Mereka katakan: Sesungguhnya agama dan iman adalah
ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bisa bertambah dan berkurang. Maka
barangsiapa yang melakukan dosa besar dia kafir di dunia dan di akhirat kekal
di neraka, jika ia mati sebelum bertobat.
b. Al Mu’tazilah, mereka
adalah para pengikut Washil bin ‘Atha dan ‘Amru bin Ubaid. Mereka
dinamakan demikian, karena mereka I’tizal
(memisahkan diri) dari majelis Imam Hasan al Bashri (Imam Ahlus Sunnah, pen),
ada juga yang menyebutkan sebab lainnya.
Bagi
mereka, seseorang tidak dikatakan beriman kecuali ia menjalankan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka berkata: sesungguhnya
agama dan iman, adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bertambah dan
tidak berkurang. Barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka kedudukannya
diantara dua tempat (manzilah baina al manzilatain) –keluar dari iman
tetapi tidak kafir- itu hukum di dunia. Sedangkan di akhirat mereka kekal di
neraka.
Terlihat
ada dua persamaan dan dua perbedaan antara Khawarij dan Mu’tazilah. Persamaannya adalah: Pertama,
sama-sama mengingkari keimanan orang yang melakukan dosa besar. Kedua,
menganggap pelaku dosa besar masuk ke neraka kekal selamanya.
Perbedaannya adalah: Pertama,
menurut khawarij pelaku doa besar adalah kafir, menurut mu’tazilah mereka
menyebutnya manzilah baina al manzilatain (posisinya di antara dua
tempat). Kedua, khawarij menghalalkan darah pelaku dosa besar, sedangkan
mu’tazilah tidak.
c. Al Murji’ah, mereka mengatakan dosa tidaklah berdampak
buruk bagi keimanan, sebagaimana ketaatan tidaklah membawa manfaat bagi
kekafiran. Mereka mengatakan iman itu hanyalah dibenarkan di hati saja. Bagi
mereka para pelaku dosa besar imannya tetap sempurna, dia tidak berhak
dimasukkan ke dalam neraka. Maka atas dasar ini, keimanan manusia paling fasiq
sama saja dengan keimanan manusia paling sempurna.
d. Pandangan di atas sama
dengan Al Jahmiyah (disandarkan kepada Jahm bin Shafwan, pen),
ia telah membuat
bid’ah ta’thil (mengingkari adanya asma wa sifat bagi
Allah), Jabr (Jabriyah/fatalis), Irja’ (murji’ah), sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim (w. 751H) –rahimahullah- bahwa
bagi mereka pelaku dosa besar tetaplah sempurna imannya, dan tidak berhak
dimasukkan ke dalam neraka.
e. Ahlus Sunnah wal Jamaah,
mereka telah mendapatkan petunjuk Allah di atas kebenaran. Mereka mengatakan:
Sesungguhnya iman adalah ucapan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan nyata,
dan diyakini dalam hati. Bisa bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena
maksiat. Adapun dosa besar menurut mereka, membuat keimanan seseorang berkurang
(tidak sempurna, pen), sesuai ukuran maksiat yang dilakukannya. Mereka tidak sampai mengingkari
secara total keimanan pelaku dosa besar sebagaimana khawarij dan mu’tazilah,
tidak juga mengatakan tetap sempurna keimanan pelaku dosa besar sebagaimana
menurut Jahmiyah dan Murji’ah.
Adapun
hukumnya di akhirat, para pelaku dosa besar itu tahta masyiatillah (di
bawah kehendak Allah), jika Allah kehendaki mereka akan masuk surga karena
rahmat dan karuniaNya. Jika Dia menghendaki mereka akan mendapat siksaan sesuai
kadar maksiatnya secara adil. Kemudian
setelah suci, mereka akan dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke
dalam surga. Itu jika, dosa yang dilakukannya tidak sampai hal-hal yang
membatalkan keislamannya, atau ia menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau
mengharamkan apa yang Allah halalkan. Ahlus Sunnah menghukumi bahwa seorang
mu’min (jika melakukan dosa besar, pen) tidaklah kekal di neraka. Ini
adalah pertengahan di antara khawarij dan mu’tazilah yang mengatakan kekal di
neraka, atau murjiah dan jahmiyah yang mengatakan pelaku dosa tidaklah mendapat
hukuman.
III.B. 2. Sedangkan dalam menyikapi para
sahabat Nabi Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in, terbagi atas beberapa
kelompok, yakni:
a. Ar Rafidhah, yaitu
segolongan dari syiah, mereka melampaui
batas (ghuluw) dalam memuliakan Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli
Bait. Mereka memproklamirkan permusuhan terhadap mayoritas sahabat nabi seperti
yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman, pen), mengkafirkan mereka, dan
orang-orang yang mengikuti mereka, dan mengkafirkan orang-orang yang memerangi
Ali (yakni Aisyah dan pengikutnya ketika perang Jamal, atau Mu’awiyah
dan pengikutnya dalam perang Shiffin, pen).
Mereka
mengatakan sesungguhnya Ali adalah Imam yang ma’shum. Alasan kenapa mereka dinamakan rafidhah,
karena mereka meninggalkan (rafadhuu) Zaid bin Ali bin al Husein ketika
mereka mengatakan berlepas diri dari syaikhain
(dua syaikh) yaitu Abu bakar dan Umar.
Maka Zaid berkata: “Allah melindungi penolong kakekku” (maksudnya
Allah melindungi Abu Bakar dan Umar, yang pernah menolong kakeknya, Ali bin Abi
Thalib, pen). Karena itu, mereka meninggalkannya, maka mereka dinamakan rafidhah.
Sedangkan
kelompok Zaidiyah mereka mengatakan, kami mengikuti mereka berdua (Abu Bakar dan
Umar) dan berlepas diri dari orang yang
memutuskan hubungan dengan mereka berdua, dan mereka mengikuti Zaid bin Ali bin
al Husein, karena itu mereka disebut Zaidiyah (lebih tenar disebut syiah
zaidiyah, syiah yang moderat, pen).
b. Al Khawarij,
mereka menerima sebagian besar sahabat, namun mengkafirkan Ali, Mu’awiyah,
dan orang-orang yang bersama mereka
berdua dari kalangan sahabat, dan memerangi mereka, menghalalkan darah dan
harta mereka.
c. An Nawashib,
mereka memproklamirkan permusuhan terhadap Ahli Bait dan melaknat apa-apa yang
ada pada mereka.
d. Ahlus Sunnah wal Jamaah, Allah
memberikan hidayah kepada mereka untuk tetap di atas kebenaran. Mereka bersikap
tidak melampaui batas terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli bait,
mereka tidak memusuhi para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim, tidak mengkafirkannya, tidak pula bersikap seperti
golongan Nawashib yang memusuhi Ahli bait.
Bahkan
mereka mengetahui hak keseluruhan mereka dan keutamaannya, dan mengikuti mereka
serta mengutamakan mereka sesuai urutannya; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu
‘Anhum. Dan mereka tidak mau memasuki apa-apa (perselisihan, pen)
yang terjadi di antara sahabat. Maka, mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan antara
ekstrimitas rafidhah atau sikap keras khawarij.
Sampai di sini.
III.B. 3. Madzhab-madzhab
berdasarkan kategori ‘Sikap Mereka Terhadap Ayat atau Hadits tentang Nama dan Sifat Allah’
a. Al Mu’athilah,
mereka melakukan ta’thil (mengingkari, meniadakan) nama dan sifat Allah.
Bagi mereka Allah tidak memiliki nama dan sifat, sebab jika memiliki keduanya,
maka Allah sama dengan makhluq. Inilah yang dilakukan oleh kelompok Jahmiyah
(Jahm bin Shafwan) dan mu’tazilah.
b. Al Mujassimah wal
Musyabbihah, mereka menganggap
Allah memiliki jism (wujud) seperti manusia. Mereka melakukan tasybih
(penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) Allah dengan makhluk. Allah
memiliki wajah seperti wajah makhluk,
tanganNya seperti makhluk, betisNya seperti makhluk, marahNya seperti
makhluk, tertawaNya seperti makhluk, bersemayamNya seperti makhluk, dan
lain-lain.
c. Al Asy’ariyah (al
Asya’irah), kelompok ini disandarkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ari
radhiallahu ‘anhu. Salah seorang Imam Ahlus Sunnah. Dahulu, selama tiga
puluh tahun ia bermadzhab mu’tazilah (mengingkari asma dan sifat) karena
pengaruh ayah tirinya seorang tokoh mu’tazilah zaman itu, yaitu Ali al Juba’i. Lalu ia
bertobat menuju Ahlus Sunnah, yaitu ia mengakui asma dan sifat
Allah Tabaraka wa Ta’ala, namun ia memberikan ta’wil
(arti-tafsir) terhadap asma dan sifat tersebut. Fase selanjutnya, yaitu pada
akhir hayatnya, ia meninggalkan ta’wil secara total terhadap asma dan
sifat, ia mengikuti manhaj salaf yaitu itsbat (menetapkan dan
mengukuhkan) adanya asma dan sifat. Sebagaimana tertera dalam kitabnya yang
terakhir yakni Al Ibanah fi Ushulid Diyanah. Jadi, ia melalui tiga fase
kehidupan bermadzhab, pertama, menjadi mu’tazilah, kedua, menjadi Ahlus Sunnah tetapi masih menta’wil, ketiga, menjadi Ahlus Sunnah secara sempurna tanpa ta’wil
sama sekali. Nah, Asy’ariyah
adalah golongan yang mengikuti Imam al Asy’ary pada fase hidupnya yang kedua,
masih melakukan ta’wil. Jadi, tidak selalu sama antara Asy’ariyah
dengan Imam al Asy’ari.
Menurut
Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, golongan inilah yang menjadi
anutan mayoritas ulama dan umat Islam di dunia, walau belum ada datanya. Berbagai universitas menjadikannya sebagai
teologi resmi, seperti Universitas Al Azhar, Universitas Karachi di Pakistan,
Universitas Punjab di India, Universitas Deobond di India, Universitas Az
Zaitun di Tunisia, Universitas Qarwayain
di Maroko, pesantren-pesantren di Indonesia, organisasi massa seperti Nahdhatul
Ulama, Jamiat Khair, dan lain-lain. Sebagian manusia, khususnya kaum salafi
progresif menganggap mereka ahli bid’ah, sebagian lagi mengatakan mereka
adalah bagian dari –paling tidak mendekati- Ahlus Sunnah. Inilah pendapat yang
lebih baik dan benar. Sebab, menuduh mereka sebagai ahli bid’ah (bukan
Ahlus Sunnah) sama saja menuduh mayoritas umat ini dan ulamanya dalam
kesesatan.
Para
Imam besar adalah pengikut Asy’ariyah seperti Imam al Baqillani, Imam al
Isfirayini, Imam al Haramain (al Juwaini), Imam al Ghazali, Imam Fakhrurazi,
Imam al Baidhawi, Imam al ‘Amidi, Imam asy Syahrustani, Imam Abul Faraj Ibnu al
Jauzi, Imam Abdul Qahir al Baghdadi,
Imam Zainuddin al ‘Iraqi, Imam Izzuddin bin Abdussalam, Imam an Nawawi, Imam ar
Rafi’i, Imam Ibnu Hajar al Haitamy, Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Imam as Suyuthi, Imam an Nasafi, Imam asy
Syarbini, Imam Zakariya al Anshari. Dari Barat, Imam at Tarthusi, Imam al
Maziri, Imam al Baji, Imam Ibnu Rusyd (al jad), Imam Ibnul ‘Arabi, Imam
al Qadhi ‘Iyadh, Imam al Qurthubi, Imam al Qarafi, Imam asy Syathibi. Dari
Hanafi, Imam al Khurki, Imam al Jashshash, Imam ad Dabusi, Imam as Sarkhasi,
Imam as Samarqandi, Imam al Kisani, Imam Ibnul Hammam, Imam Ibnu Nujaim, Imam
al Taftazani, dan Imam al Bazdawi. (Yusuf Al Qaradhawy, 70 Tahun Al
Ikhwan Al Muslimun, hal. 311-312) Biasanya kepada mereka inilah yang
disebut golongan khalaf.
Maka
wajar jika Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawa-nya tentang para
ulama Asy’ariyah, “Ulama pembela ulama-ulama agama. Ulama Asy’ariyah adalah
pembela pokok-pokok agama ..” (Muhammad
‘Alwy Al Maliky, Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan, hal. 132)
Tentang
Asy’ariyah ini, Syaikh Jasim al
Muhalhil (Syaikhul Ikhwan di Kuwait) mengatakan, “Pertama, para ulama
mengakui Asy’ariyah adalah kelompok yang paling dekat dengan Ahlus
Sunnah dalam memahami asma wa shifat. Kedua, mayoritas ahli fikih
setelah zaman imam empat madzhab adalah pengikut Asy’ariyah. Ketiga,
seorang ‘alim yang melakukan kesalahan adalah wajar dan manusiawi. Keempat,
sesungguhnya kesalahan yang dilakukan oleh ulama yang aktif dalam da’wah dan
jihad tetaplah dianggap kesalahan. Tetapi, kesalahan tersebut tidaklah disebut
secara berlebihan dengan menghapus jerih payah mereka dalam mencapai kebenaran,
tetapi ia gagal dan terhenti sampai pada
pendapatnya.” (Syaikh Jasim al
Muhalhil, Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan,
hal. 47)
d. Ahlus Sunnah wal Jamaah (madzhab
salaf), mereka itsbat
(menetapkan dan mengukuhkan) adanya nama dan sifat Allah, tanpa mengikarinya (ta’thil),
tidak menyerupakan dengan makhluk (tamtsil), tidak melakukan ta’wil, tidak merubahnya (tahrif),
tidak bertanya bagaimana (takyif), dan mereka membiarkannya sebagaimana
datangnya, mengimani makna-maknanya dan apa-apa yang ada padanya.
Ahlus Sunnah (salaf)
menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya secara rinci “Dan
Dia Maha Mendengar (As Samii’) dan Maha Melihat (Al Bashir)”,
maka apa saja yang Allah dan rasulNya tetapkan untuk diriNya dari seluruh nama
dan sifat, maka kita tetapkan adanya (nama dan sifat tersebut) untuk Allah dengan cara yang patut bagiNya.
Ahlus Sunnah
juga mengingkari apa-apa yang Allah dan rasulNya ingkari dari diriNya secara
global dan menyeluruh, sesuai firmanNya, ”Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupainya” (QS. Asy Syura: 11)
Berkata Al
Ustadz Hasan al Banna rahimahullah,”Adapun salaf –ridhwanullah ‘alaihim-
mereka mengatakan ‘Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana
datangnya, dan menyerahkan maksudnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka
itsbat (menetapkan) adanya tangan, mata, bersemayam, tertawa, ta’jub, ….dan
lain-lain. semua itu kita tidak mencapai maknanya dan seluruh kandungan ilmunya
kita serahkan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.(Al Imam Asy Syahid Hasan
al Banna, Majmu’ah ar Rasail, bab Al Qaid, hal. 362)
Dia juga
berkata, “Kita meyakini bahwa pandangan kaum salaf yakni diam dan menyerahkan
kandungan
makna-makna tersebut kepada Allah Tabaraka wa Ta’alaI adalah lebih
selamat dan utama untuk diikuti, dengan memotong peluang untuk ta’ wil
dan ta’thil. Maka jika Anda adalah orang yang Allah bahagiakan dengan
ketenangan iman, dan Allah sejukkan dadanya dengan keyakinan, maka peganglah
pendapat ini, dan jangan beralih.” (Ibid, hal. 368)
III.B. 4. Madzhab-madzhab
dalam menyikapi ‘Kehendak Perbuatan Manusia’ (Ibid, hal. 50-51)
a. Al Jabriyah, mereka adalah golongan jahmiyah yang
mengatakan bahwa manusia menerima begitu saja (dipaksa-majbur) atas
perbuatannya, gerakannya, bahkan seluruh gerakannya hingga gemetar dan
keringatnya adalah perbuatan Allah.
b. Al Qadariyah, mereka
adalah mu’tazilah yang mengikuti Ma’bad bin al Juhni dan orang-orang yang
sepakat dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya manusia menciptakan
perbuatannya sendiri bukan karena kehendak Allah, mereka mengingkari jika
dikatakan Allah yang menciptakan perbuatan hamba-hambaNya. Mereka juga
mengatakan: Allah tidak menolaknya juga tidak menghendakinya.
c. Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Allah memberikan petunjuk kepada Ahlus Sunnah untuk menjadikan mereka
pertengahan di antara dua kelompok di atas. Mereka mengatakan: Allah
menciptakan manusia dan perbuatannya. Manusialah yang melakukan hakikatnya, dan
mereka dianugerahi kehendak dan kemauan (qudrah) untuk berbuat.
Allah-lah yang menciptakan mereka dan menciptakan kehendak (qudrah)
tersebut . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan Allah yang
menciptakanmu dan apa-apa yang kamu lakukan” (QS. Ash Shafat: 96).
Ahlus
Sunnah menetapkan bahwa bagi manusia memiliki kehendak dan kemampuan untuk
menentukan pilihan sesuai kehendak Allah
Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “(Yaitu) bagi siapa saja di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS.
At Takwir: 28-29)
III. B. 5. Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Madzhab
ini sering juga disebut thaifah manshurah (kelompok yang ditolong), firqah
an najiyah (golongan yang selamat), sawadul a’zham (kelompok yang
besar), salafiyah (umat terdahulu) dan isitilah inilah yang dimustahabkan
oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pengikut Ahlus Sunnah disebut sunni.
Definisi:
Tidak ada satu
pun ayat dan hadits yang menyebut nama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara
langsung. Istilah tersebut merupakan racikan dari beberapa hadits. As Sunnah adalah thariqah
(jalan) yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
kiamat. Al Jamaah secara bahasa adalah kaum yang berkumpul, namun
yang dimaksud oleh aqidah ini adalah orang-orang terdahulu (salaf) dari
umat ini, dari kalangan sahabat, dan orang yang mengikuti mereka dengan
baik walau pun seorang diri namun tetap
teguh di atas kebenaran yang dianut jamaah tersebut. (Syarh al Aqidah al
Wasithiyah, hal. 10-11)
Abdullah
bin Mas’ud Radhilallahu ‘Anhu berkata, “Jamaah adalah apa-apa
yang menyepakati kebenaran walau engkau seorang diri.” (Imam Ibnul Qayyim,
Ighatsatul lahfan min Mashayidisy Syaithan, I/70)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Sebaik-baik manusia adalah
zamanku (yakni para sahabat), kemudian setelahnya (para tabi’in), kemudian
setelahnya (tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari (5/199,7/6,9/460), Muslim
(7/184-185), Ibnu Majah (2/63-64), Ahmad (1/378, 417), dari Abdullah bin Mas’ud
Radhiallahu ‘Anhu. Lihat Syaikh al Albany, dalam Sisilah al Ahadits
Ash Shahihah no. 700)
Dari
Irbadh bin Sariyah Radhialllahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda,”Barangsiapa
yang hidup setelah aku mati, kalian akan melihat banyak perselisihan, maka
peganglah sunahku dan sunah khulafa’ur rasyidin setelahku,
berpegangteguhlah padanya, dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. at
Tirmidzi, menurutnya hasan shahih)
Rasulullah
juga bersabda,“Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan, sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua di neraka
kecuali satu golongan, yaitu al jama’ah”. Mereka bertanya, “
golongan apa itu?” Beliau menjawab, “apa-apa
yang aku dan sahabatku ada di atasnya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar,
menurutnya hasan gharib, tidak dikenal kecuali dari sisi ini. Hadits
tentang perpecahan umat juga diriwayatkan oleh yang lain seperti Ibnu Majah
dari Auf bin Malik tetapi tanpa teks ‘kecuali jamaah’ (2/1322), dishahihkan
Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ (1/357I) dan Ash Shahihah
no. 1492., Imam Ahmad (4/402), Abu Daud, Aunul Ma’bud (12/340). Menurut
Ibnu Taimiyah hadits ini shahih, menurut Ibnu hajar al Asqalany; hasan
shahih. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hazm hadits ini maudhu’ (palsu)
juga menurut Imam Ibnul Wazir al Yamany, bahkan dicurigai hadits ini riwayatkan
orang mulhid (ateis), Syaikh Yusuf al Qaradhawy juga meragukan hadits
ini)
Dari
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda,”Senantiasa ada segolongan orang dari umatku yang
tegak di atas kebenaran, orang yang
tidak peduli dan berselisih dengan mereka tidaklah mencelakakan mereka. Mereka
tetap demikian hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari ( 4/187), dan
Muslim (3/1523) )
Imam
Abdullah bin Mubarak (w. 181H) berkata tentang hadits di atas, “Menurutku
mereka adalah para ulama hadits.”
Imam
Ali bin al Madini (w. 234H) berkata, “Mereka adalah para pemilik hadits.”
Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) berkata,
“Mereka adalah ulama hadits, jika bukan mereka, aku tidak tahu lagi siapa
mereka.”
Imam
Ahmad bin Sinan (w. 259H) berkata, “Mareka adalah para ahjli ilmu dan pemilik
atsar.”
Imam
Bukhari (w. 256H) berkata, “Yakni para ulama hadits.” (Syaikh al Albany, Silsilah
al Ahadits Ash Shahihah no. 270)
Jadi,
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan jamaah para sahabat dan tabi’in, serta tabi’ut
tabi’in, baik diri sisi paradigma berpikir dan
pengamalan terhadap agama, serta akhlak. Bukan sekedar simbolistik,
tetapi esensi (ruh wa maqashid). Maka siapa-siapa saja yang mengikuti
dan menempuh jalan keselamatan yang mereka tempuh secara benar, mereka juga
termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah walau hidup tidak sezaman dengan mereka,
bahkan walau hidup seorang diri.
III. C. Anjuran Berpegang Teguh Kepada Ahlus
Sunnah wal Jamaah
Imam Abul Aliyah berkata, “Hendaknya kalian berpegang
teguh kepada urusan agama pertama yang dipegang manusia sebelum mereka
terbagi-bagi.”
Imam
Al Auza’i berkata, “Sabarkanlah dirimu dalam berpegang kepada As Sunnah,
berhentilah jika manusia berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah
apa yang mereka tahan, ikutilah jalan salafus shalih, karena yang demikian membuat
jalanmu lapang sebagaimana jalan mereka yang lapang.”
Yusuf
bin Asbath berkata, Sufyan (ats Tsauri) berkata kepadaku, “Wahai Yusuf, jika
engkau mendengar seseorang di Timur bahwa ia berpegang kepada As Sunnah, maka
sampaikan salamku padanya, dan jika di Barat engkau dengar ada yang berpegang
kepada As Sunnah, maka sampaikanlah salamku padanya. Karena sedikit sekali
orang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Sufyan
at Tsauri berkata, “Mintalah nasihat yang baik dari Ahlus Sunnah, karena mereka
itu dianggap orang-orang asing.”
Mu’tamar
bin Sulaiman berkata, “Aku menemui ayahku dengan wajah yang muram. Ayah
bertanya, ‘Ada apa dengan dirimu?’ Aku menjawab, ‘Temanku meninggal dunia.’
’Apakah
ia meninggal di atas As Sunnah?’ Tanya ayahku.
‘Benar’ jawabku
‘Lalu
kenapa engkau sedih dengan kematiannya?’ kata ayah.
Ayyub
(As Sukhtiyani) berkata, “Aku diberi tahu berita wafatnya kalangan Ahlus
Sunnah, yang membuat salah satu anggota tubuhku seakan terlepas.” Dia juga
berkata, “Sesungguhnya di antara kenikmatan orang Arab atau non Arab adalah
jika mereka dipertemukan dengan ulama Ahlus Sunnah.”
Al
junaid bin Muhammad berkata, “Semua jalan tertutup, kecuali bagi orang yang
mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunah dan
jalan beliau, maka semua jalan kebaikan terbuka di hadapannya.”
Imam
Asy Syafi’i berkata,”Jika aku melihat seseorang dari Ahli hadits, seakan aku
melihat seseorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
III. D. Celaan Terhadap Bid’ah, Kelompok
Bid’ah, dan Pelakunya
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk
darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, Riyadhus shalihin
no. 169, Maktabatul Iman, Kairo)
Hadits serupa, “Barangsiapa yang beramal
yang aku tidak pernah memberi contoh maka ia tertolak.” (HR. Muslim, Ibid)
Dari
Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda,
“Amma ba’du, sesungguhnyasebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, dan
sbaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan seburuk-buruknya urusan (dalam agama) adalah yang diada-adakan,
dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim, Ibid, no. 170)
Juga ada hadits serupa dari Irbadh bin Sariyah
Radhiallahu ‘Anhu.
Isa
bin Ali adh Dhabby berkata, Ada seseorang bersama kami yang berbeda pendapat
dengan Ibrahim an Nakha’i. tak lama kemudian Ibrahim mendengar bahwa orang itu
masuk ke golongan Murji’ah. Maka Ibrahim berkata, “Jika engkau meninggalkan
kami, maka janganlah kembali lagi ke sini.”
Thawus
bin Kaisan sedang bersama anaknya. Datanglah seorang mu’tazilah mengajaknya
bicara ini dan itu. Thawus langsung menyumbat telinganya dengan ujung jari dan
berkata, “Wahai anakku, tutuplah kedua telingamu, agar engkau tidak mendengar
apa pun dari orang ini, karena hati kita sangat lemah.”
Salam
bin Abu Muthi’ berkata, “Ada seseorang dari orang-orang yang biasa mengikuti
hawa nafsu bertanya kepada Ayyub as Sukhtiyani, ‘Maukah engkau mendengarkan
sepatah dua patah kata dariku ?’
Ayyub
berkata, “Tidak, walau setengah kata.”
Ayyub
juga berkata, “Tidaklah ahli bid’ah berijtihad, melainkan semakin membuatnya
jauh dari Allah.”
Sufyan
ats Tsauri berkata, “Bid’ah itu lebih Iblis sukai dibanding kedurhakaan.
Kedurhakaan masih ada pahalanya, sedangkan bid’ah tidak mendapat apa-apa.”
Mu’ammal bin
Ismail menceritakan ketika Abdul Aziz bin Abu Daud seorang murji’ah meninggal,
manusia ingin menshalatinya. Ketika Sufyan ats Tsauri datang manusia memberinya
jalan, ternyata Sufyan hanya melihat dan melewati jenazah Abdul Aziz, tidak mau
menshalatinya, karena kemurjia’ahannya.
Said al Kariry
berkata, “Sulaiman at Tamimy menangis tersedu-sedu saat dia sakit. Lalu ada
yang bertanya, ‘Mengapa kau menangis? Apa kau takut mati?’ ”
Dia menjawab,
“Tidak, tetapi aku pernah berjalan melewati seorang pengikut qadariyah, lalu
aku takut Rabb akan menghisabku karena hal itu.”
Fudhail bin
Iyadh berkata, “Apabila ada orang yang duduk satu majelis dengan ahli bid’ah,
maka waspadailah orang itu.”
Masih banyak
celaan dari para ulama salafus shalih terhadap bid’ah dan pelakunya.
Hari ini, khawarij,
mu’tazilah. qadariyah, jabariyah, murji’ah, sudah tidak ada dalam tataran
komunitas yang mengaku-aku sebagai madzhab tersebut. Namun dalam tataran
pemikiran, banyak kelompok Islam yang mewarisi pemikiran mereka. Khawarij yang
amat mudah mengkafirkan sesama muslim diwakili oleh LDII, NII, dan kelompok
manapun yang mengkafirkan sesama muslim lantaran belum masuk kelompoknya.
Mu’tazilah dan qadariyah, sebuah kelompok rasional ekstrim, telah diwakili oleh
JIL yang lebih mendahulukan akal di atas nash. Semuanya adalah neo
tetapi isinya sama saja, dan mudah diketahui bagi ahli ilmu. Jabariyah, kelompok fatalis yang menganggap
manusia seperti mayat yang tidak berdaya apa-apa, semua perbuatan adalah
perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla
sampai buang hajat, tepuk tangan, bahkan membunuh dan berzina, semuanya
adalah perbuatan Allah, tidak ada sebab manusia di dalamnya. Maka kita harus
pasrah dan pasrah. Kelompok ini, kadang
diwakili oleh sufi ekstrim yang mengingkari sebab dan usaha manusia.
Adapun syiah
sampai hari ini masih eksis dan menjadi mayoritas di Persia (Iran dan Irak),
sebagian ada yang ekstrim, ada pula yang moderat.
Wallahu A’lam bish Shawab walillahil ‘Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar