HADITS KELIMA
عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: " مَن أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردٌّ " رواه
البخاري ومسلم: وفي رواية لمسلم: " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد "
Dari Aisyah ra yang berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa
menciptakan hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal dari-Nya, ia
tertolak.“ Di riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan
tersebut tertolak”
Takhrijul Hadits
Hadits di atas
diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahih-nya masing-masing dari
Al-Qasim bin Muhammad dari bibinya (dari jalur ayah), Aisyah ra (sebagai
Ar Rawi Al ‘Ala
(perawi yang paling tinggi)). Redaksi hadits tersebut tidak sama, namun
maknanya mirip. Di sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa
menciptakan hal-hal baru dalam agama kita yang tidak ada di dalamnya, ia
tertolak”
Daftar lebih lengkap
periwayat hadits ini adalah:
1. Al-Bukhari
dengan hadits nomor 2697
2. Muslim
dengan hadits nomor 1718
3. Imam
Ahmad dengan hadits 6/73, 240 dan 270
4. Abu
Daud dengan hadits nomor 4606
5. Ibnu
Majah dengan hadits nomor 14
Hadits di atas
di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dengan hadits nomor 26 – 27.
Kedudukan Hadits
Hadits di atas adalah
salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip Islam. Hadits tersebut juga
merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat (dhohir).
Makna Hadits
Sebagaimana disebutkan di
atas, hadits kelima ini merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat (dhohir).
Artinya untuk menimbang apakah suatu amal perbuatan diterima atau tertolak, secara
dhohir bisa dilihat apakah amal perbuatan tersebut mengikuti apa yang
sudah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya atau tidak. Sedangkan secara baathin
(tidak terlihat), parameter untuk menimbang apakah suatu amal perbuatan diterima
atau tertolak, bisa dilihat dari niat dalam melaksanakan amal perbuatan
tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits “Innamal ‘amaalu binniyaat”.
Hadits kelima ini juga
menegaskan bahwa semua amal perbuatan agar diterima oleh Allah SWT (tidak tertolak)
harus mengikuti syari’at Islam. Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak
dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala maka pelakunya tidak
mendapatkan pahala, maka demikian pula bahwa segala amal perbuatan yang tidak
atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya tertolak dari pelakunya. Siapa saja
yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun.
Disebutkan di dalam
hadits Al-Irbadh bin Sariyah dari Nabi saw yang bersabda,
وسيأتي حديثُ العرباض بن سارية ([1])
عن النبي r أنه قال : " من يعش منكم بعدي ، فسيرى اختلافاً كثيراً ،
فعليكم بسُنتي وسنَّةِ الخُلفاء الراشدين المهدِّيين من بعدي ، عَضُّوا عليها
بالنواجذ ، وإياكم ومُحدثات الأمور ، فإن كُلَّ محدثةٍ بدعة ،وكلَّ بدعة ضلالةٌ
"
“Barangsiapa hidup sepeninggalku, ia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang
teguh kepada Sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk
sepeninggalku. Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham. Dan jauhilah
hal-hal baru yang diada-adakan (bid’ah), karena hal-hal baru adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah kesesatan”
Rasulullah saw bersabda di khutbah
beliau,
وكان r يقول في خطبته : " أصدقُ الحديث كتابُ الله ، وخيرُ الهدي
هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ([2])
وسنؤخر الكلام على المحدثات إلى ذكر حديث العرباض المشار إليه ، ونتكلم هاهنا على
الأعمال التي ليس عليها أر الشارع وردها .
“Perkataan yang paling benar ialah Kitabullah,
petunjuk terbaik ialah petunjuk Muhammad, dan perkara terburuk ialah hal-hal
baru yang diada-adakan (bid’ah).”
Tekstual hadits di atas menunjukkan bahwa seluruh amal perbuatan yang tidak
termasuk urusan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Sedangkan kontekstualnya
menunjukkan bahwa semua amal perbuatan yang sesuai dengan urusan Allah dan
Rasul-Nya itu tidak tertolak. Yang dimaksud dengan kata urusan pada
hadits di atas ialah agama dan syariat Rasulullah saw, sebagaimana dimaksudkan
hadits beliau di riwayat lain, “Barang siapa menciptakan hal-hal baru dalam
urusan kita yang tidak berasal darinya, ía tertolak.”
فالمعنى إذاً : أنَّ مَنْ كان عملُه خارجاً عن
الشرع ليس متقيداً بالشرع ، فهو مردود .
Jadi makna hadits di atas
bahwa barangsiapa amal perbuatannya keluar dari syariat dan tidak terikat
dengannya, maka tertolak.
Sabda Rasulullah saw, “Yang tidak termasuk
urusan kami“ adalah isyarat bahwa seluruh amal perbuatan manusia harus berjalan
di bawah hukum-hukum syariat. Dengan kalimat lain bahwa hukum-hukum syariat (dengan
perintah dan larangannya) menjadi penguasa atasnya. Jadi barangsiapa amal
perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariat dan sinkron dengannya, maka
amal perbuatan tersebut diterima. Sedangkan apabila amal perbuatan tersebut keluar
dari hukum-hukum syariat, maka tertolak.
Di dalam hadist Al-Irbadh bin Sariyah di
atas disebutkan juga tentang bid’ah dimana definisi dari bid’ah
tersebut adalah
كل محدث فى
الدين ليس له أصل شرعي
“kullu muhdatsin fid diini laisa lahu
ashlun syar’iiyun” yaitu semua yang diada-adakan di dalam agama yang tidak
memiliki landasan syar’i. Makna bid’ah ini juga kita dapati di hadits
kelima di atas “Barangsiapa menciptakan hal-hal baru dalam urusan kami yang
tidak berasal dari-Nya, ia tertolak.” Berbicara tentang amal perbuatan,
terbagi ke dalam 2 bagian:
1. ibadah
2. muamalah
Adapun ibadah, jika salah satu dari ibadah keluar total dari hukum Allah
dan Rasul-Nya, ibadah tersebut ditolak dari pelakunya dan pelakunya masuk dalam
firman Allah Ta’ala,
أم
لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka
agama yang tidak diijinkan Allah?” (Asy-Syura:21)
Beberapa contoh yang menunjukkan pentingnya amalan yang berlandaskan
syar’i:
Taqarrub yang tertolak
Barangsiapa bertaqarrub
kepada Allah dengan amal perbuatan yang tidak dijadikan Allah dan Rasul-Nya
sebagai taqarrub kepada Allah, amal perbuatan tersebut batil dan tertolak. Amal
perbuatan tersebut mirip dengan kondisi orang-orang yang shalat mereka di
samping Baitullah dalam bentuk siulan dan tepuk tangan. Orang tersebut seperti
orang yang bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan mendengar hiburan,
atau dansa, atau membuka tutup kepala di selain ihram, dan bid’ah-bid’ah lain
yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai bentuk taqarrub kepada-Nya.
Taqarrub di satu
ibadah berbeda dengan di ibadah lainnya
Taqarrub di salah satu
ibadah tidak menjadi taqarrub di ibadah lainnya secara mutlak. Nabi saw pernah
melihat seseorang berdiri di bawah terik matahari kemudian beliau bertanya ihwal
orang tersebut. Dikatakan kepada beliau bahwa orang tersebut bernadzar untuk
berdiri, tidak berteduh, dan berpuasa. Kemudian Nabi saw memerintahkan
orang tersebut duduk, berteduh, dan meneruskan puasa. Beliau tidak
menjadikan berdirinya orang tersebut di bawah terik matahari sebagai
taqarrub yang bisa menyempurnakan nadzarnya. Diriwayatkan bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada hari Jum’at saat orang tersebut mendengar khutbah
Nabi saw di atas mimbar. Lalu orang tersebut bernadzar
untuk berdiri dan tidak berteduh selama Nabi saw berkhutbah untuk
mengagungkan khutbah beliau. Nabi saw tidak menjadikan perbuatan seperti
itu sebagai taqarrub yang bisa menyempurnakan nadzarnya, padahal berdiri adalah
ibadah di moment lain, seperti di shalat, adzan, berdoa di Arafah, dan berjemur
di bawah terik matahari bagi orang yang sedang ihram. Itu semua menunjukkan
bahwa taqarrub di salah satu moment itu bukan taqarrub di seluruh moment dan
taqarrub tersebut hanya mengikuti apa-apa yang dijelaskan oleh syariat
pada tempat-tempatnya. Begitu juga orang yang bertaqarrub dengan suatu bentuk
ibadah yang dilarang secara khusus, seperti orang berpuasa pada hari raya atau
mengerjakan shalat di waktu terlarang.
Taqarrub dengan menambah
atau mengurangi sesuatu
Adapun orang yang
mengerjakan amal perbuatan yang pada asalnya disyariatkan dan merupakan
taqarrub, kemudian ditambahkan kepadanya sesuatu yang tidak disyariatkan, atau
tidak mengerjakan sesuatu yang disyariatkan, ia juga bertentangan dengan syariat
dan kadar penentangannya sesuai dengan apa yang tidak ia kerjakan di dalamnya
atau sesuai dengan pemasukan sesuatu yang tidak berasal darinya ke dalamnya.
Namun apakah amal perbuatannya pada asalnya tertolak atau tidak? Amal perbuatan
tersebut tidak bisa dikatakan tertolak atau diterima secara mutlak, namun harus
dikaji; jika orang tersebut tidak mengerjakan bagian-bagian amal
perbuatan atau syarat-syaratnya yang mengharuskan batalnya amal perbuatan
tersebut dalam syariat (seperti orang yang tidak bersuci untuk shalat
padahal ia sanggup atau seperti orang yang tidak mengerjakan ruku’ atau sujud
atau thuma’ninah di shalat), maka amal perbuatan orang tersebut tertolak
dan ia harus mengulangi shalatnya jika shalat tersebut shalat fardhu.
Jika yang tidak dikerjakan orang tersebut tidak mengharuskan batalnya
amal perbuatan tersebut (seperti orang yang tidak ikut shalat berjama’ah
di shalat fardhu menurut ulama yang mewajibkan shalat berjama’ah dan tidak
menjadikannya sebagai syarat), maka amal perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan
tertolak, namun hanya berkurang.
Jika seseorang
menambahkan sesuatu yang tidak disyariatkan kepada sesuatu yang disyariatkan,
penambahan tersebut tertolak. Artinya,
penambahan tersebut bukan merupakan taqarrub dan pelakunya tidak diberi
pahala karenanya. Terkadang amal perbuatan menjadi batal sejak awal dengan
penambahan tersebut seperti orang yang menambahkan satu raka’at dalam
shalatnya dengan sengaja. Terkadang penambahan tersebut tidak membatalkan
amal perbuatan dan tidak membuatnya tertolak sejak awal seperti orang yang
berwudhu empat-empat (mestinya tiga-tiga), atau berpuasa siang dan malam dan
menyambung puasanya (tidak berbuka). Terkadang sebagian yang diperintahkan
dalam ibadah itu diganti dengan sesuatu yang dilarang seperti orang yang
menutup auratnya di shalat dengan pakaian haram, atau benwudhu dengan air
rampasan, atau mengerjakan shalat di lahan rampasan. Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini; apakah amal orang tersebut tertolak pada asalnya,
atau tidak tertolak hingga ia terbebas dari beban kewajiban? Sebagian besar
fuqaha’ berpendapat bahwa amal tersebut tidak tertolak pada asalnya.
Abdurnahman bin Mahdi meriwayatkan dari kaum As-Syimriyah, pengikut Abu Syimr,
yang berkata bahwa barangsiapa mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian
yang padanya terdapat uang senilai satu dirham haram, ia wajib mengulang
shalatnya. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Aku tidak pemah mendengar perkataan
yang lebih buruk daripada perkataan mereka. Kita meminta keselamatan
kepada Allah.” Abdurrahman bin Mahdi adalah salah seorang pakar fiqih dan
hadits terkemuka yang banyak membawakan ucapan para generasi salaf. Ia mengecam
pendapat tersebut dan mengkategorikannya sebagai bid’ah. Itu menunjukkan
bahwa pendapat yang mewajibkan mengulang shalat karena sebab seperti itu tidak
dikenal seorang pun dari generasi salaf.
Larangan
untuk hak Allah dan Larangan untuk hak manusia
Jika di
jual-beli terdapat akad yang dilarang dalam syariat (karena komoditi tidak layak
untuk dilakukan akad, atau syarat-syarat akad tidak tenpenuhi, atau dengannya
akan terdapat kedzaliman di komoditi, atau akad tersebut melupakan dzikir
kepada Allah yang wajib (maksudnya, shalat Jum’at) jika waktunya hendak habis,
dan lain-lain), apakah akad seperti itu tertolak secara total di mana
kepemilikan tidak berpindah dengannya atau tidak? Dalam masalah ini para ulama
berbeda pendapat, karena ada dalil bahwa akad seperti itu tertolak dan tidak
mengesahkan kepemilikan. Ada
dalil lain bahwa akad seperti itu mengesahkan kepemilikan. Jadi, perbedaan
pendapat terjadi karena sebab tersebut. Yang paling dekat dengan kebenaran, Insya
Allah, ialah bahwa jika larangan tersebut untuk hak Allah Azza wa Jalla maka
akad seperti itu tidak mengesahkan kepemilikan secara keseluruhan. Yang dimaksud
dengan hak Allah ialah hak tersebut tidak gugur dengan keridhaan dua pihak yang
berakad.
Jika
akad tersebut untuk hak manusia tenten dalam
arti hak tersebut gugur dengan keridhaannya, maka akad tersebut sangat terkait
dengan keridhaan orang tersebut. Jika
ia ridha, akad wajib dilakukan dan kepemilikan menjadi sah. Jika orang
tersebut tidak ridha, ia berhak membatalkan akad. Meskipun yang terkena mudzarat
tidak teranggap keridhaannya, misalnya isteri dalam perceraian dan budak dalam
pemerdekaan, maka keridhaan dan kemurkaan orang tersebut tidak ada artinya.
Jika larangan terkait khusus dengan sesuatu yang dilarang karena adanya
kesulitan di dalamnya, kemudian seseorang mengerjakan kesulitan tersebut, amal
perbuatannya tidak batal.
Contoh pertama (larangan
untuk hak Allah) sangat banyak, misalnya;
1. Menikahi
wanita-wanita yang haram dinikahi seperti wanita-wanita yang haram dinikahi
selama-lamanya karena salah satu sebab, atau nasab, atau menikahi dua wanita
bersaudara sekaligus, atau syarat-syarat pernikahan tidak terpenuhi, maka
larangan menikahi wanita-wanita tersebut tidak gugur dengan keridhaan
dua pihak untuk menggugurkan larangan tersebut. Misalnya menikahi wanita yang sedang
menjalani masa iddah, menikahi wanita muhrim, nikah tanpa wali, dan lain
sebagainya. Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau memisahkan orang laki-laki
dengan wanita yang dinikahinya dalam keadaan hamil. Pada hadits tersebut, Nabi saw menolak
pernikahan seperti itu karena terjadi pada saat perempuan tersebut menjalani
masa iddah.
2.
Akad
riba. Akad tersebut tidak mengesahkan kepemilikan dan harus dibatalkan,
karena Nabi saw pernah menyuruh orang yang menjual satu sha’ kurma
dengan dua sha’ untuk mengembalikannya.
3.
Jual-beli
minuman kenas, bangkai, babi, patung, anjing, dan seluruh yang dilarang dijual
di mana keridhaan dua pihak untuk melakukan jual beli dengannya tidak
diperbolehkan.
Masalah
kedua (larangan untuk hak manusia) juga mempunyai banyak bentuk, di antaranya;
1.
Wali menikahkan wanita yang tidak boleh ia nikahkan
kecuali dengan izinnya, namun ia menikahkannya tanpa izinnya. Nabi saw menolak
pernikahan wanita janda yang dinikahkan ayahnya padahal wanita janda tersebut
tidak ridha. Juga diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau memberi pilihan
(menerima atau menolak) kepada wanita yang dinikahkan ayahnya tanpa izinnya.
Tentang ketidakabsahan pernikahan seperti itu dan pembolehannya tergantung
kepada wanita tersebut itu ada dua riwayat dari Imam Ahmad.
2.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa orang yang
membelanjakan uang orang lain tanpa izinnya itu tidak batal menurut asalnya,
namun boleh tidaknya sangat terkait dengan pemilik uang. Jika pemilik uang
memperbolehkan pembelanjaan tersebut, maka pembelanjaan tersebut diperbolehkan.
Jika pemilik uang tidak memperbolehkan, maka pembelanjaan tersebut batal.
Mereka berhujjah dengan hadits Urwah bin Al-Ja’du yang membeli dua kambing
untuk Nabi saw padahal beliau menyuruhnya membeli satu kambing. Setelah
itu, Urwah bin Al Ja’du menjual salah satu kambing tersebut kemudian
Nabi saw menerima kambing tersebut. Imam Ahmad di pendapatnya
yang terkenal mengkhususkan masalah tersebut pada orang yang
membelanjakan uang orang lain dengan izin pemilik uang tersebut, kemudian orang
tersebut menyalahi izin yang diberikan kepadanya.
3.
Pembelanjaan orang sakit terhadap seluruh hartanya;
apakah batal sejak awal ataukah pembelanjaannya terhadap dua pertiga hartanya
itu tergantung pembolehan ahli waris? Ada
perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ dalam masalah ini. Perbedaan pendapat
tersebut terjadi pada madzhab Imam Ahmad dan lain-lain. Diriwayatkan dengan
shahih bahwa dilaporkan kepada Nabi saw bahwa seseorang memerdekakan
keenam budaknya menjelang kematiannya, padahal ia tidak memiliki asset selain
budak-budak tersebut. Nabi saw memanggil keenam budak tersebut kemudian
membagi mereka ke dalam tiga bagian. Nabi saw memerdekakan dua orang dari
mereka, tetap memperbudak empat orang dari mereka, dan bersabda keras kepada
orang tersebut. Bisa jadi, ahli waris tidak membolehkan pemerdekaan
semua budak tersebut , wallahu a‘lam.
4.
Jual-beli yang mengandung penipuan dan
lain-lain, misalnya jual beli musharrat, jual beli najasy, menemui
rombongan pedagang, dan lain-lain. Tentang keabsahan jual-beli
tersebut terdapat perbedaan pendapat seperti diketahui di madzhab Imam Ahmad.
Sejumlah ulama hadits berpendapat bahwa jual beli seperti itu tidak sah dan
tertolak. Pendapat yang benar ialah bahwa sah tidaknya jual beli tersebut
sangat tergantung kepada pembolehan pihak yang mendapatkan kedzaliman, karena
diriwayatkan dengan shahih dari Nabi saw
bahwa beliau memberi hak pilih kepada pembeli musharrat. Beliau
juga memberi khiyar (hak pilih) kepada rombongan pedagang jika
mereka tiba di pasar. Ini semua menunjukkan bahwa jual beli seperti itu pada dasarnya
tidak tertolak. Hadits tentang kambing musharrat disebutkan kepada
kelompok yang tidak mengesahkan jual beli tersebut, namun ia tidak memberi
jawaban apa pun. Sedang jual-beli orang kota
kepada orang desa, maka orang-orang yang mengesahkannya menjadikan jual beli
tersebut seperti jual beli di atas. Sedang orang-orang yang
membatalkannya, memberikan hak terhadap jual beli tersebut kepada seluruh
penduduk tanpa dibatasi. Jadi, hak
mereka tidak dapat digugurkan, karena itu, hak mereka menjadi seperti hak Allah
Azza wa Jalla.
5. Jika seseorang menjual sejumlah budak yang
haram dipisahkan, misalnya ibu dengan anaknya, namun teryata orang tersebut memisahkan
antara keduanya; apakah jual-beli tersebut batal dan tertolak, ataukah pembolehannya
tergantung kepada keridhaan budak-budak tersebut? Diriwayatkan bahwa Nabi saw
memerintahkan penolakan jual beli seperti itu. Imam Ahmad secara
tegas mengatakan bahwa pemisahan budak tidak diperbolehkan, kendati budak-budak
tersebut setuju. Sejumlah ulama, di antaranya An-Nakhai dan Ubaidillah
bin Al Hasan Al Anbani, berpendapat memperbolehkan memisahkan budak-budak
tersebut dengan keridhaan mereka. Ini menunjukkan bahwa bisa jadi pemisahan
budak-budak tersebut diperbolehkan dan boleh tidaknya sangat terkait dengan
persetujuan mereka.
6. Seorang ayah hanya memberikan pemberian
khusus kepada salah seorang anaknya tanpa anak-anaknya yang lain. Diriwayatkan
dengan shahih dari Nabi saw bahwa beliau menyuruh Basyir bin Sa’ad untuk
menarik kembali pemberiannya kepada An-Nu’man karena Basyir bin Sa’ad hanya
memberikan pemberian khusus kepadanya tanpa anak-anaknya yang lain. Pemberian
seperti ini tidak menunjukkan bahwa kepemilikan tidak berpindah tangan kepada
anak tersebut, karena pemberian tersebut sah-sah saja dan benar. Jika
seorang ayah memberikan sesuatu kepada semua anaknya atau ia menarik kembali
apa yang telah ia berikan kepada salah satu anaknya, ia diperbolehkan. Jika
ayah tersebut meninggal dunia dan tidak berbuat apa-apa terhadap pemberian
tersebut, Mujahid berkata, “Pemberian tersebut adalah warisan - Imam Ahmad juga
diriwayatkan berpendapat seperti itu - dan pemberian menjadi batal.” Sedang
jumhur ulama berpendapat bahwa pemberian tersebut tidak batal, namun apakah
ahli waris mempunyai hak untuk mengkaji ulang pemberian tersebut atau tidak?
Ada dua pendapat dalam masalah ini dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari
Imam Ahmad.
7. Hadits tersebut sesungguhnya diriwayatkan
Al Qasim bin Muhammad ketika ia ditanya tentang orang yang mempunyai tiga
rumah, kemudian orang tersebut mewasiatkan sepertiga rumahnya; apakah sepertiga
wasiat tersebut diwujudkan dalam satu rumah miliknya? Al Qasim bin
Muhammad berkata, “Wasiatnya diwujudkan dalam bentuk satu rumah. Aisyah ra berkata
kepadaku bahwa Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa menciptakan hal-hal
baru dalam urusan kita yang tidak berasal darinya, ia tertolak” (Diriwayatkan
Muslim). Maksudnya bahwa perubahan wasiatnya pemberi wasiat
kepada sesuatu yang lebih dicintai Allah dan bermanfaat itu diperbolehkan. Ini
juga diriwayatkan dari Atha’ dan Ibnu Juraij. Bisa jadi orang yang berpendapat
seperti itu berhujjah dengan firman
Allah Ta’ala, “(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang
berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Al Baqarah: 182). Bisa jadi,
orang-orang yang berpendapat seperti itu juga berhujjah dengan hadits tentang
penyatuan pemerdekaan budak, karena diriwayatkan dengan shahih bahwa seseorang
memerdekakan enam budak miliknya pada saat ia hendak meninggal dunia, kemudian
Nabi saw memanggil keenam budak tersebut dan membagi mereka ke
dalam tiga bagian; beliau memerdekakan dua orang dari mereka dan tetap
memperbudak empat orang. (Diriwayatkan Muslim). Para
fuhaqa’ berpendapat dengan hadits tersebut, karena penyempurnaan pemerdekaan
budak kendati memungkinkan itu lebih baik daripada menguranginya. Oleh karena
itu, ri’ayah disyariatkan jika salah seorang sekutu
memerdekakan bagiannya terhadap budak. Nabi saw bersabda tentang
seseorang yang memerdekakan sebagian budak miliknya, “Ia orang yang
memerdekakan secara penuh dan Allah tidak mempunyai sekutu.”
Sebagian besar
fuhaqa’ tidak sependapat dengan pendapat Al Qasim bin Muhammad bahwa wasiat
pemberi wasiat tidak bisa diwujudkan dengan satu rumah dan bahwa hal tersebut
hanya khusus berlaku pada pemerdekaan budak, karena makna yang menyatukan
dalam masalah pemerdekaan budak itu tidak terwujud pada harta yang ada. Jadi,
wasiat diperlakukan sesuai dengan tuntutan wasiat pemberinya.
Sejumlah fuqaha’
berpendapat bahwa setiap budak dimerdekakan sepertiga dari dirinya dan mereka
melakukan ri’ayah terhadap sisa dirinya yang masih diperbudak, namun
mengikuti keputusan Rasulullah saw itu lebih tepat. Al Qasim bin
Muhammad berpendapat bahwa bercampurnya penerima wasiat dengan ahli waris di
semua rumah itu menimbulkan madzarat pada ahli waris, oleh karena itu, madzarat
tersebut dihilangkan dari mereka dengan cara wasiat tersebut diwujudkan dalam satu
rumah tersendiri, karena Allah Ta’ala mensyaratkan wasiat itu agar
tidak menimbulkan madzarat. Allah Ta’ala berfirman ,
“Dengan tidak memberi madzarat (kepada ahli waris). “ (An-Nisa’: 12)
Jadi, barangsiapa
menimbulkan madzarat dalam wasiatnya, amal perbuatannya tertolak karena
bertentangan dengan syarat yang ditentukan Allah dalam wasiat.
Sejumlah fuqaha’
berpendapat bahwa jika seseorang berwasiat dengan sepertiga seluruh rumahnya
kemudian dua pertiga rumahnya mengalami kerusakan dan tinggal tersisa sepertiga
rumahnya, maka sepertiga tersebut diberikan kepada penerima wasiat. Ini
pendapat sejumlah besar sahabat-sahabat Abu Hanifah, juga diriwayatkan dari Abu
Yusuf dan Muhammad Qadhi Abu Ya’la dan sahabat-sahabat kami tidak sependapat
dengan mereka dalam masalah ini. Berdasarkan pendapat tersebut, mereka berkata
bahwa rumah-rumah yang menjadi bagian bersama itu dibagi-bagi di antara penerima
bagian seperti pembagian secara paksa. Itu juga pendapat Imam Malik dan yang
terlihat dalam perkataan Abu Musa dan kalangan sahabat-sahabat kami. Pendapat
yang terkenal di kalangan sahabat-sahabat kami bahwa rumah-rumah tersebut tidak
dibagi-bagi secara pembagian paksa. Ini juga pendapat Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i. Sebagian para pengikut madzhab Maliki mentafsirkan fatwa Al Qasim bin
Muhammad tentang hadits di atas bahwa salah satu dari kedua pihak (ahli waris
atau penenima wasiat) meminta pembagian rumah-rumah tersebut dan rumah-rumah
tersebut berdekatan dalam arti sebagian rumah digabungkan kepada
sebagian pembagian lainnya dalam pembagian. Permintaan salah satu pihak terhadap pembagian rumah-rumah tersebut harus
dikabulkan menurut pendapat mereka. Penafsiran seperti itu sangat jauh dan
bertentangan dengan yang sebenarnya, wallahu a‘lam.
142 —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar