bintang


Jumat, 29 April 2011

Optimalkan dalam berdakwah

KAIDAH KEEMPAT

على الداعية أن يصل إلى رتبة المُبَلِّغ
وأن يسعى إلى البلاغ
"Seorang  Da’i harus sampai pada tingkatan penyampaian yang optimal dan selalu berusaha memberikan penyampaian yang menyentuh (balagh)"
Berdakwah tidak jauh berbeda dengan mempromosikan suatu barang. Kita yakin si pemilik barang akan menggunakan sarana, gaya dan pendekatan yang paling optimal dan yang paling luas pengaruhnya demi memenuhi kepuasan publik dengan barangnya. Bahkan jalan yang ditempuh untuk mengefektifkan promosinya digunakan komentar, gambar dan hadiah serta sarana-sarana lainnya. Dan Allah telah menjadikan penyampaian yang menyentuh (balagh) sebagai misi para Rasul dan Nabinya

فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ(35)

maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35)

Allah mensifati البلاغ (penyampaian) dengan المبين (terang)
Juga Allah berfirman :

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا(39َ

(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab : 39)

Dan ketika manusia berpaling dari keimanan disitulah ditegaskan bahwa para nabi telah sampai kepada tingkat penyampaian yang optimal. Allah berfirman :

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ(79)

Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".(QS. Al-A’raf : 79)

Kalimat بَلَغَ bermakna وصل أو قارب على الوصول, sampai atau hampir mengenai sasaran. Berkata Ibnu Faris : بَلَغَ adalah الوصول إلى الشيء, sampai kepada sesuatu, contoh : بلغت , المكان إذا وصلت اليه, demikianlah penyampaian yang bagus karena kefasihan lisan, sehingga tepat mengenai sasaran yang diinginkan. Berkat Al-Azhary : “Orang Arab mengatakan untuk satu pemberitaan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain, lalu orang itu tidak merespon dan menindaklanjutinya, maka hal ini sikap tersebut dianggap jelek dengan istilah سمعُ لا بلْغُ atau سمعاً لا بلغا, mendengar tapi tak sampai, atau mendengarkannya tapi tidak sampai mengenai sasaran.

Itulah bukti penggunaan kalimat yang efektif dan menyentuh yang memiliki karakter
الوصول والانتهاء, sampai dan optimal.

1. Tidak mengapa bagi seorang da,i bila terus menerus dalam penyampaian efektif dan menyentuh, seseungguhnya Allah telah memperingatkan Nabinya untuk senantiasa melakukan hal itu, sebagaimana firman-NYA :

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(67)

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67)

Berkata Imam Qurtuby : “Hal itu adalah pengajaran untuk Nabi dalam mengemban ilmu pengetahuan untuk umatnya, agar tidak menyembunyikan sedikitpun dari syariat Allah SWT”. Karena bukanlah yang dimaksud dengan penyampaian/ البلاغ itu dengan pemberitahuan dan pemberitaan, tetapi maksudnya adalah sampai risalah-NYA kepada manusia.

2. Di antara tuntutan penyampaian adalah kesadaran da’i tentang apa yang disampaikannya, karena tidak ada penyampaian tanpa dibarengi kesadaran, sebagaiman sabda Nabi SAW :

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
"( ).

“Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu Ia menyadarinya, menghafalnya dan menyampaikannya. Bisa jadi orang menerima ilmu itu lebih memahami dari pada yang menyampaikannya. Ada tiga hal yang tidak merusak hati seorang muslim:

Pertama : Ikhlas beramal karena Allah, menasehati pemimpi-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan jamaah mereka, karena dakwah senantiasa membentang di belakang mereka.
Berkata Al-Khitaby dalam syarah hadits ini : “نَضَّر الله, artinya Allah mendoakannya dengan “nadharah”, yaitu kenikmatan dan wajah yang berseri-seri, “nadharah” ini merupakan pengaruh dari penyampaian seorang da’i, maka para penyampai dakwah adalah : أصحاب الوجوه الناضرة في الدنيا والآخرة, pemilik wajah nan cerah di dunia dan di akhirat.

Al-Khitaby mengambil faidah pelajaran dari hadits ini karena khawatir bagi orang yang kurang mendalaminya akan menyedehanakan hadits ini, karena itu ma’na menyadari dalm hadits tersebut adalah menghafal teksnya dan melaksanaknnya seperti apa yang disabdakan. Hendaknya seseorang yang mendalaminy harus menguasai makna-makna hadots yang dapat diambil faidah pelajarannya. Isyarat pada hadits tersebut menyangkut periwayatannya dan matan atau isinya berupa mengetahuan dan penjelasannya.

3. Penyampaian menuntut perkataan yang berbekas / البلاغة

Keindahan untaian kata dijelasakan oleh Allah SWT dalm firmann-NYA :

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. Ann-Nisa : 63)

Hendaknya seorang da’i menyampaikan kata-katanya dengn lafadz yang baik dengan makna yang indah, mencakup الترغيب والترهيب والتحذير والإنذار والثواب والعقاب, kata-kata yang menyenangkan, menakutkan, memperingatkan, mengingatkan, motivasi pahala dan ancaman siksa. Karena kata-kata bila disampaikan dengan “balaghah”, akan besar pengaruhnya menghunjam ke dalam hati, tapi bila kata-katanya terlalu ringkas, tekanannya lemah dan maknanya kering, tidak akan berpengaruh pada hati sama sekali.

Di dalam kitab Al-Lisan dijelaskan bahwa yang disebut رجل بليغ : adalah orang yang memiliki keindahan kata dan kefasihannya, apa yang disampaikannya itulah yang ada dalam hatinya. Karena itu “balaghah” bukan berarti menyampaikan kata-kata yang sulit dimengerti, pendekatan bahasa yang rumit dan jelimet, karena itu seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya harus mengetahui bahasa arab dan gaya bahasanya agar dapat memberikan penyampaian yang berbekas. Semua itu menuntut kemauan untuk mengkaji dan menelaah bahsa arab, meliputi ilmu, bacaan, penulisan maupun percakapannya, serta melihat sastranya . baik puisi dan syairnya, dalam struktur ayat Al-Qur’an ada yang maknanya hanya satu pengertian ada juga yang dapat diartikan dengan beberapa makna. Oleh karena itu para da,i sekarang ini sangat perlu menguasai bahasa arab, dan tidak ada alasan untuk mengurangi perhatiannya terhadap hal ini.

4. Al-Qur,an menekankan kefasihan dan kelancaran berbicara

Sebagaimana yang telah difirmankan Allah kepada nabi Musa AS. :

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي(27)يَفْقَهُوا قَوْلِي(28)

dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. Thaha : 27-28)

Nabi Musa AS telah menyadari bahwa kelancaran berbicara dan kefasihannya menjadi salah satu sebab membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi. Berkata imam Ar-Razy : “Ulama berbeda pendapat dalam hal Nabi Musa meminta agar dilepaskan kekakuan lidahnya dalam beberapa versi”. Versi pertama : Agar tidak mengalami kesalahan fatal dalam menyampaikan risalah, versi kedua : untuk menghindari agar orang tidak lari, karena kekakuan dalam berbicara akan menyebabkan audien meremehkan pembicara dan tidak fokus memperhatikan pembicaraannya. Versi ketiga : meminta kemudahan dalam berbicara, karena menghadapi Firaun yang arogan dan sombong bisa jadi sangat menyulitkan pembicaraan, sebab kalau bicara sudah kesulitan sejak awal biasnya akan terus berlanjut hingga ajhirnya, karena itulah Musa As memohon kepada Allah diberikan kemudahn dan keringanan dalam berbicara.

Faedah pelajaran yang dapat dipetik dari kaidah tersebut adalah bahwasanya da’i harus membiasakan dirinya berbicara tepat dan benar, kalau ternyata dirinya kaku dan kelu dalam berbicar bisa meminta bantuan kepada yang lebih fasih dan membantu kelancaran misi dakwahnya. Hal ini agar dakwahnya sampai kepada kualitas yang lebih berbekas dan jelas. Inilah pula yang diminta lagi oleh Nabi Musa kepada allah SWT :

هَارُونَ أَخِي(30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي(31)وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي(32)

(yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 30-32)

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ(34)

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". (QS. Al-Qashash : 34)

Kata-kata رِدْءًا adalah sebutan untuk apa saja yang dpat dimintakan bantuannya. Sedangkan Imam Ar-Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian يُصدقني bukan berarti bila Nabi Harun cukup mengatakan kepada nabi Musa : صدقت, engkau benar!, atau orang akan mengatakan : “صدق موسى “ , benar apa yang dikatakan Musa. Akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi Harun membantu dengan lisannya yang fasih mengemukakan beberapa argumentasi, menjawab hal-hal rumit dan sulit dimengerti, serta untuk mengcounter apa yang dikemukakan oleh orang-orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan ُصدقني yaitu التصديق المفيد pembenaran yang membawa faedah, bukan hanya mengatakan engkau benar, kalau hanya itu kefasihan nabi harun tidak terlalu dibutuhkan.

5. Di antara yang dapat membantu seorang da’i dalam menjelaskan dan menyampaikan dakwahnya, maka perlu didampingi oleh ikhwah lainnya, karena karena pendampingan mereka akan menguatkan dirinya dan memberikan rasa tenang di sisi yang lain. Akan tetapi hal ini diperlukan hanya untuk menghadapi objek dakwah yang besar, karena bila objek dakwah melihat bahwa sang da’i tidak sendiri tetapi disertai dengan para pendamping dan penolongnya, maka mereka akan memperhitungkan bahwa dakwah ini begitu besar pengaruhnya di masyarakat, dan menunjukan begitu kuatnya fikroh yang terdapat dalam dakwah ini.

Allah SWT berfirman :

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ

Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudaramu (QS. Al-Qashash : 35)

Allah juga berfirman melalui lisan Nabi Musa :

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي(31)وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي(32)

dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 29-32)

Mengenai ayat ini Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “Ketahuilah bahwa meminta pendamping dengan alasan apakah karena seseorang khawatir dengan kelemahan dirinya untuk melaksanakan tugas dakwah atau semata-mata memenadang bahwa saling tolong menolong dalam hal agama dan upaya memperjuangkannya, dibarengi dengan cinta yang ikhlas dan menghilangkan prasangka, adalah keistimewaan yang mulia dalam urusan da’wah kepada Allah. Karena itulah Nabi Isa berkata :

مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ

"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", (QS. As-Shaf : 14)

Dan Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad :

حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنني

“Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikutimu”. (QS.

5. Agar supaya seorang da’i sampai ke tingkat penyampaian yang berbekas, hendaknya Ia menggunakan berbagai sarana yang tersedia sesuai maksud dan tujuan dakwah, inilah yang disebut dengan sarana presentasi dan sarana-sarana yang membantu lainnya. Seorang da’i hendaknya berbicara dengan audien dengan bantuan gambar, film, peta, skema, power point, out door, kisah, senandung, makhluk-makhluk Allah dan keajaiban penciptaannya.

Nabi sendiri membutuhkan bantuan sarana presentasi, sebagaimana sabdanya :

أخرج البخاري عن ابن عمر ـ رضي الله عنهما ـ قال : " كنا عند النبي r فأتى بجُمَار( ) فقال : إن في الشجر شجرة مَثَلُها كمثل المسلم، فأردت أن أقول: هي النخلة فإذا أنا أصغر القوم ،
فسكتُ ، فقال النبي r : هي النخلة ( ).

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar RA, Ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi, lalu beliau datang dengan membawa Jammar (yang terdapat di atas pucuk batang kurma, rasanya manis dan baik untuk dikonsumsi), Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya di dalam pohon terdapat pohon serupa seperti seorang muslim”, kemudian aku berkata : “Apakah itu pohon kurma?, kalau begitu aku adalah orang yang paling muda usia, Nabi terdiam, kemudian beliau bersabda : “Ya, itu adalah pohon kurma”. Demikianlah Nabi bertanya tentang pohon yang menyerupai seorang muslim dan seorang muslim yang men yerupainya, ketika bertanya, beliau sambil makan jammar. Berkata Ibnu Hajar : “Tatkala Nabi mengemukakan satu pertanyaan sambil memperlihatkan jammar, barulah Ibnu Umar paham bahwa yang ditanyakan itu adalah tentang pohon kurma”.

NABI IBRAHIM AS MENGGUNAKAN SARANA PRESENTASI

Al-Qur’an menceritakan kepada kita bagaimana Ibrahim AS menggunakan sarana Bantu presentasi ketika hendak mendakwahi kaumnya untuk beribadah kepada Allah dan mengalihkan mereka dari menyembah bintang dan bulan. Allah berfirman :

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ(76)فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77)فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ(78)إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(79)

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-An’am : 76 – 79)

Itulah gaya berdialag dengan objek dakwah secara bertahap, sehingga dapat meruntuhkan keyakinan dan ideologinya dan mengokohkan argumentasi terhadapnya. Berlindung kepada Allah bahwa semua itu tidak menggambarkan keyakinan Nabi Ibrahim. B erkata Ar-Razy dalam tafsirnya : “Peristiwa tersebut terjadi karena pengamatan Nabi ibrahim terhadap kaumnya”, hal ini dibuktikan dalam firman Allah :

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا ءَاتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ(83)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am : 83)

Oleh karena itu Allah mengatakan على قومه bukan على نفسه, Allah maha Tahu bahwa diskursus yang berlangsung denga kaumnya tersebut, hanya bertujuan untuk mengarahan dan menunjukan mereka kepada Iman dan Tauhid. Adapun ketika dalam dialog tersebut Nabi Ibrahim mengatakan هذا ربي, maksudnya menjelaskan kebiasaan pengakuan dan keyakinan kaumnya, bukan keyakinan dirinya, sama halnya seperti Nabi Musa AS, ketika berkata kepada Samiri :

وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا(97)

dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) (QS. Thaha : 97)

Sesungguhnya Nabi Musa tidak sedikitpun menjustifikasi keyakinan mereka, tapi menceritakan pengakuan dan keyakinannya, juga ketika Allah berfirman :

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ(62)

Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?" (QS. Al-Qashash : 62)

Sekutu-sekutu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah sebatas pengakuan orang-orang musyrik dan keyakinan mereka, bukan berarti Allah menyatakan adanya sekutu-sekutu baginya. Deikian pula nabi Ibrahim menghancurkan akidah mereka dalam gambaran ibadah yang berubah-rubah, setelah itu ditetapkan dan dikukuhkan pada Ibadah kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kekal, yang tidak terdapat pada-NYA kekurangan dan perubahan.

Contoh lain terdapat dalam firman Allah :

وَ مِنْ شِنِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ(83)إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(84)إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ(85)أَئِفْكًا ءَالِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ(86)فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ(87)فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ(88)فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ(89) فَتَوَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِينَ(90)فَرَاغَ إِلَى ءَالِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ(91 مَا لَكُمْ لَا تَنْطِقُونَ(92) فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِين93

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya aku sakit".Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan”? Kenapa kamu tidak menjawab?" Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (QS. Asshaffat : 83 – 91)

Kita juga dapat menyimpilkam bahwasanya Nabi Ibrahim AS telah menggunakan cara, sehubungan dengan cara mereka yang selalu merawat inap orang yang sakit di samping berhala dengan harapan mendapat kesembuhan. Lihatlah bagaimana Ibrahim kemudian menghancurkan patung-patung yang kecil sementara membiarkan sebuah patung besar. Hali bertujuan agar mereka kembali kepada patung besarnya. Nabi Ibrahim ingin membuat kesan bahwa yang melakukan penghancuran berhala-berhala lainnya adalah patung yang paling besar, untuk menguatkan hal itu sengaja Ibrahim AS mengalungkan kapak di kepalanya, kisah ini tergambar jelas dalam firman Allah :

قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ(56)وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ(57)فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ(58)قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ(59)قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ(60)قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ(61)قَالُوا ءَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ(62)قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ(63)فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ(64)ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ(65)قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ(66)أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(67)

Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. (56) Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya (57) Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (58) Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. (59) Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim (60) Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (61) Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim”? (62) Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (63) Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).” (64) kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (66) Ibrahim berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa`at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu”?. (67)

Cara yabg dugunakan Nabi Ibrahim menyebabkan orang-orang musyrik memvonis diri mereka sendiri dengan kebodohan, mereka manyatakan kelemahan tuhan-tuhan mereka dalam melindungi dirinya sendiri, atau mendatangkan kebaikan dan menolak kemudaratan, apalagi melakukannya untuk yang lain.

6. Untuk sampai pada tingkat pembicaraan yang membekas, harus membalik cara dan mendiversifikasinya. Pembicaraan yang tidak efektif bila disampaikan secara terbuka, terkadang menjadi efektif dengan cara rahasia, tidak efektif pada malam hari efektif di siang hari, tidak tertanam pada hati yabg sibuk mudah membekas pada hati yang rehat, tidak berpengaruh pada orang yang sehat, terkadang berpengaruh pada orang yang sakit. Dalam surat Nuh terdapat implementasi yang utuh tentang prinsip-prinsip di atas, sebagaimana Allah berfirman melalui lisan Nabi Nuh AS :

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا(5)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا(6)وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا(7)ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا(8)ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا(9)فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا(10)

Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang”. (5) maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran) (6) Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (7) Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, (8) kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (9) maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. (10) (QS. Nuh 5 – 10)

Berkata Imam Qurtuby : perkataan Nabi Nuh pada ayat tersebut adalah مبالغة في الدعاء وتلطف بالاستدعاء optimalisasi da’wah dan kelembutan dalam berdakwah. Ibnu Katsir berkata : “ Nabi Nuh memvariasikan dakwahnya agar lebih efektif, beliau mendakwahkan kaumnya pada malam hari, sehingga terciptanya suasana yang tenang dan penyimakan yang baik. Juga mendkawahkan mereka di siang hari pada saat sibuk, pertemuan, percakapan dan ............?. Mereka bersikap menentang ketika didakwahi, tapi Nabi Nuh tidak meninggalkannya, tetapi terus mendakwahinya, sementara mereka semakin kuat menenatang sampai mereka meletakkan jari-jari mereka ke telinga mereka dan menitup wajah dengan baju mereka. Namun Nuh tetap bersuara keras mendakwahi mereka agar terdengar oleh mereka. Setelah terdengar oleh mereka, lalu Nuh mulai mendakwahkan mereka secara sembunyi-sembunyi”.

Berkata Imam Qurtuby : “وأسررت لهم” , artinya أتيتهم في منازلهم , aku datangi mereka ke rumah-rumah mereka. Ini merupakan wawasan yang baik pada Imam Qurtuby, bahwa mengkondisikan mad’u dari banyak orang lebih optimal pengaruhnya di banding mendakwahkan seseorang di samping orang banyak, sesungguhnya itulah yang menyulitkan mad’u, karena biasanya musuh-musuh Islam akan menakut-nakuti hubungan dakwah yang khusus. Ketika mad’u tersebut belum mantap fikrahnya, ia akan cenderung untuk tidak merespon atau menangguhkan penerimaan (berfikir ulang untuk menerimanya).

7. Juga untuk sampai kepada tingkat penyampaian yang berbekas, maka hendaknya seorang da’i harus berdialog dengan mad’unya dengan lemah lembut bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar dan menakutkan. Kelembutan yang dimaksud adalah kehalusan sikap terhadap mad’u dan keakraban dengannya, memilih panggilan yang terbaik untuknya dan pendekatan media yang paling mengena kepada hatinya. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud kelembutan itu berarti boleh mengabaikan hukum-hukum syariat, juga bukan untuk membiarkan para pelaku kebatilan dalam kebatilan mereka, juga bukan untuk mendiamkan kemunkaran. Karena orang Mu’min dalam setiap situasi dan kondisi tidak ada yang ditakutkan kecuali kepada Allah dan hanya mengharapkan pahala-NYA.
Jika Allah saja menyuruh Nabi Musa As mendakwahkan Fir’aun dengan lemah lembut, maka terlebih lagi dakwah kepada yang lainnya harus selalu menjunjung tinggi syiar kelembutan, ان يكون الين شعار كل دعوة, hendaknya kelemahlembutan senantiasa menjadi syiar setiap langkah dakwah. Firman allah ta’ala :

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(43)فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44)

Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (44)

Kelemah lembutan jauh dari sikap menakutkan dan lebih kuat mentransfer kata-kata ke dalam hati, sebab banyak para da’i menadapatkan kesulitan di jalan dakwah disebabkan kata-katanya yang menyinggung perasaan mad’unya. Berdakwah dengan bijak dan nasehat yang baik akan membuat mad’u langsung merasa nyaman dengan dakwah, sebaliknya sikap kasar membuat mad’u berpaling dari dakwah. Sebagaimana musuh-musuh Islam menebar kendala di jalan dakwah , tanpa disadari umat islam juga membuat kendala yang sama di jalan dakwah, masaahnya adalah keburukan prilaku, kegundahannya, keputusasaannya, kepicikan pandangannya dan kesmpitan dadanya. Adapaun da’i yang sukses adalah yang tidak pernah kehilangan ketepatan dan keseimbangannya apapun kondisinya.

Berkata Imam Ar-Razy : “Ketahuilah bahwasanya da’wah kepada aliran dan pemikiran harus dibangun di atas argumentasi dan pengetahuan, yang dimaksud dengan menyebutkan argumentasi adalah baik menegaskan aliran atau keyakinan tersebut ke dalam hati audien, atau maksudnya mengikat lawan bicara dan menundukannya.

Para da’i ilallah senantiasa menupayakan penyampaian kebenaran dan petunjuk kepada hati setiap makhluk, mereka bukan orang yang ada dalam kantong pertarungan yang hanya mencari kemenangan dalam mendebat lawan bicara, dan juga bukan hanya ingin mengukuhkan keunggulan mereka dan berargumentasi.

Imam Ar-Razy cenderung berpendapat bahwa Da,wah dengan bijak dan nasehat yang baik akan mudah memperoleh pengikut, sedangkan perdebatan yang konstruktif adalah pilihan terakhir yang ditujukan hanya untuk menegakan argumentasi terhadap lawan bicara, sebagaimana firman Allah :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ(125)

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl : 125)

Pada prinsipnya ayat tersebut menjelaskan bahwa da’wah dibatasi hanya dengan dua pendekatan (بالحكمة والموعة الحسنة.). Adapun perdebatan tidak masuk dalam kategori dakwah, tetapi maksudnya bertujuan untuk membela dakwah dengan menekan dan menundukan lawan bicara. Karena itu Allah tidak berfirman : ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة والجدل الأحسن, Allah memisahkan perintah berdakwah dengan perintah berdebat, hal ini menegaskan bahwa da’wah dan debat adalah dua hal berbeda, perdebatan memiliki tujuannya sendiri.

Kamis, 28 April 2011

Dakwah tergantung pada aktifitasnya

الأجر يقع بمجرد الدعوة ولا يتوقف على الاستجابة
Pahala diberikan karena dakwahnya tidak tergantung dengan penerimaannya

1. Kaidah tersebut menjawab kesalah kaprahan anggapan banyak orang, bahwa pahala bergantung dengan hasil duniawi yang kasat mata. Bila seperti itu, maka kebanyakan para Nabi tervonis gagal dalam dakwahnya, sebutan yang tidak pantas bagi para nabi Allah.

Meskipun Nabi Nuh sangat sedikit pengikutnya dari kalangan orang-orang beriman, tetapi Ia telah mendakwahkan kaumnya dan menetap bersama mereka 950 tahun lamanya. Sebagaimana firman Allah :

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut : 14)

Zahir ayat tersebut – menurut Ibnu katsir – menerangkan bahwasanya nabi Nuh tinggal bersama kaumnya dan senantiasa mendakwahkan mereka kepada Allah selama 950 tahun. Walaupun Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya cukup lama, tetapi yang beriman kepadanya hanya sedikit saja. Firman Allah Ta’ala :

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Hud : 40)

Bila diperhatikan pengecualian pada ayat ( ومن آمن ) sehingga tidak dapat dipahami bahwa jumlah orang berimannya banyak, oleh karenanya Allah memperjelas dengan ayat berikutnya ( وما آمن معه إلا قليل ).

Begitulah permasalahan dakwah yang dihadapi kebanyakan para Nabi, mereka nanti akan dkumpulkan pada hari kiamat, sebagian mereka ada yang mempunyai pengikut satu dua tiga orang saja, sebagian mereka bahkan sama sekali tidak ada seorangpun orng beriman yang menjadi pengikutnya, Imam tirmidzi mentakhrij dari jalur Ibnu Abbas Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberapa Nabi bersamanya pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun. Karena itu Allah telah mengarahakan Rasul-NYA Muhammad SAW kepada pengertian tersebut di atas, ketika beliau diperintahkan berdakwah dan menyampaikan risalah, Allah tidak menuntut hasilnya. Allah berfirman :

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ

Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni`mat). (QS. Syura : 48)

فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِين

maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35)

وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِين

. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An-Nur : 54)

Adapun urusan hidayah sepenuhnya ada di tangan Allah. Sebagaimana firman-NYA :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash : 56)

2. Esensi kaidah ini menjelaskan bahwasanya seorang da’i tidak boleh terjadi pada dirinya putus asa dan stress, akibat penentangan manusia dan ketiadaan respon mereka. Allah telah mengurangi beban kesulitan Nabi-NYA dan tidak membebani di luar kemampuannya, Allah berfirman :

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah : 272)

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. Fathir : 8)

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. An-Nahl : 127)

Ayat-ayat tersebut merupakan hiburan bagi Rasulullah, sebenarnya beliau sudah sangat berambisi untuk mentransfer kebaikan dan hidayah kepada mereka tetapi merekalah yang buta dan tuli. Hati yang remah terasa diiris-iris ketika melihat manusia bertumpukan di dalam api neraka seperti tumpukan kasur, seperti itulah keadaan rasulullah SAW. Lalu datanglah arahan dari Allah :

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى ءَاثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an). (QS. Al-Kahfi : 6)

Dengan kata lain ayat tersebut menegaskan bahwa : “Apakah barangkali kamu (Ya Muhammad) akan membinasakan dirimu karena putus asa dan ngenas krena mereka tidak mau beriman kepada Al-Qur’an. Imam Qatadah berkata : barangkali kamu ingin membunuh dirimu karena marah dan sedih terhadap sikap mreka. Sedangkan Mujahid mengatakan : jangalah engkau putus asa (ya! Muhammad) sampaikan terus risalah Allah, barang siapa yang mendapat petunjuk maka ha itu untuk dirinya, tapi barang siapa yang sesat, sesungguhnya kesesatan itu juga akan menimpa dirinya.

Demikianlah tidak menjadi dosa bagi para da’i dari umat Muhammad, bila manusia tetap tidak menginginkan petunjuk dan tidak merespon mereka setelah memaksimalkan kesungguhan dalam mendakwahkan mereka, karena sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.

3. Kaidah ini akan mengobati penyakit para da’i yang emosional yang hanya menunggu hasil duniawi yang kasat mata, dan menjadikannya sarat keberlangsungan di jalan dakwah. Pandangan seperti itu, hanyalah kesalahpahaman di satu sisi dan secara jelas menyalahi kaidah-kaidah dakwah dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan yang harus antara dakwah dan responnya (Istijabah), terkadang seorang Da’i telah sedemikian antusiasnya, tetapi disikapi objek dakwah (mad’u) dengan sikap dingin bahkan melakukan penentangan. Sesungguhnya Al-Qur’an menjadikan antara dakwah dan istijabah adalah tahap yang sangat penting, sebagaimana firman Allah SWT:

حَتَّى إِذَا اسْتَيْئَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ

Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa. (QS. Yusuf : 110).

حتى إذا استيأس الرُسل adalah fase وظنوا أنهم قد كُذبوا dan titik fase ini adalah pertengahan antara dakwah dan fase berikutnya جاءهم نصرنا . Berkata Ibnu Katsir : “Allah mengingatkan bahwa pertolongannya akan diberikan kepada para Rasul-NYA dari situasi kritis dan penantian kemenangan dari Allah pada saat-saat yang sangat dibutuhkan. Allah befirman :

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ(214)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(QS. Al-Baqarah : 214)

Sesunguhnya Aisyah RA berpendapat bahwa prasangka yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah prasangka pengikutnya bukan prasangka Nabi kepada orang-orang yang didakwahinya. Aisya berpendapat seperti ini ketika Urwah bin Zubair RA berkata kepadanya bahwa sesungguhnya mereka meyakini kaum mereka telah mendustakan mereka, jadi itu bukan prasangka. Lalu Aisyah berkata : “ Ya, sungguh mereka memang meyakininya”, “lalu bagaimana dengan sangkaan bahwa mreka telah didustakan? Tanya Urwah. Aisyah menjawab : Allah tempat berlindung (ma’aadzallah) para Rasul tidak akan menyangka demikian kepada Rabb mereka. “lalu apa maksud ayat tersebut”? tanya Urwah lagi, Aisyah mengatakan :

قالت : هم أتباع الرسل الذين آمنوا بربهم وصدقوهم، فطال عليهم البلاء، واستأخر عنهم النصر ،حتى إذا استيأس الرسل ممن كذبهم من قومهم وظنوا أن أتباعهم قد كذبوهم جاءهم نصر الله عند ذلك

“Yang menyangka seperti itu adalah para pengikutnya yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan-NYA, lalu mereka diuji dengan kesengsaraan dalam waktu yang cukup lama, sehingga kemenangan belum kunjung tiba, sampai para Rasul tidak punya harapan lagi terhadap kaum yang telah mendustakan mereka, dan mereka para Rasul juga mengira bahwa pengikut-pengikutnya telah didustakan oleh kaumnya. Pendapat ini didasarkan pada bacaan Aisyah كُذبوا, sehingga subjeknya pengikut bukan para Rasul. Penyampaian ini sesuai dengan kedudukan Rasul yang mulia. Apabila kita jadikan dhamir itu kembali kepada para Rasul maka sangkaan mereka waktu itu adalah kaum mereka telah mendustakan mereka. Dan tidak menjadi masalah bila digabungkan antara kaum yang mendustakan para Rasul dan orang-orang yang emosional yang berprasngka buruk kepada Allah.

4. Hal tersebut di atas bukan berarti bahwa da’i tidak dituntut harus mengerahkan seluruh kesungguhannya, dan memanfaatkan sarana dan pendekatan yang terbaik, dan mengenai hal ini akan kami jelaskan dalam kaidah berikutnya.

Rabu, 27 April 2011

Balasan Menyampaikan Hidayah Alloh Swt

KAIDAH KEDUA

لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من حُمُر النَّعم

Seseorang mendapat hidayah Allah melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah
Itulah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika beliau menyerahkan bendera kepadanya pada saat perang Khaibar. Kemudian Ali berkata :

، فقال عليُّ : علام أقاتل الناس، نقاتلهم حتى يكونوا مثلنا

“Atas dasar apa kita memerangi manusia, kita memeranginya sampai mereka seperti kita ?”.

؟ فقال: " على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم، فوالله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من حُمُر النَّعم" ( ).

Rasul bersabda : Sabar, sampai engkau memasuki wilayah mereka, lalu dakwahkan mereka kepada Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajiban-kewajibannya, maka demi Allah seseorang mendapatkan hidayah melalui engkau, hal itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”.

وذلك لأن هدي الله هو الهدى، وأنه ليس بعد الهدى إلا الضلال، وعندما يوفق الله تعالى داعية من دعاة الإسلام فيهيء له من يقبل دعوته فإن نتائج هذا القبول عظيمة جليلة ، نذكر منها:

Kenapa demikian?, karena hidayah Allah adalah petunjuk, tidakada setelah petunjuk kecuali kesesatan. Ketika Allah memeberikan petunjuk kepada seurang da’i maka Allah akan sediakan orang uang ajan menerima dakwahnya, karena sesungguhnya nilai-nilai penerimaan dakwah itu sangat agung dan mulia, kita sebut saja diantaranya :

1. Berdakwah berarti menyelamatkan orang yang mendapat petunjuk dari api neraka, menlindungi dari panas dan gejolaknya, dijauhkannya seseorang dari api neraka disamping karunia dari Allah juga disebabkan oleh kesungguhan da’i dan pertolongannya, digantikan yang semula tempatnya kekal di dalam neraka menjadi kekal di dalam surga, ini adalah perkara yang tidak bisa dibandingkan dengan ketegori kebaikan apapun, tidak ada yang dapat menyamai tingkatannya, setinggi apapun tingkat kebaikan dan kedermawanan. Maka seorang da’i mempersembahkan surga sebagai hadiah untuk manusia di sekelilingnya, menenunjuki mereka tempat kebahagiaan, maka pahala yang seperti apa yang akan dicatat untuk para da’i di sisi Rabbnya kecuali pahala yang kadarnya sesuai dengan keagungan pemberinya.

2. Sesungguhnya setiap gerak dan diamnya orang yang mendapat hidayah, tasbih dan takbir yang terucap dari keduabelah bibirnya, setiap rakaat dan sujud yang dikerjakannya dan setiap kebiakan yang digerakan Allah melalui tangannya, itu semua disebabkan oleh peran dan usaha seorang da’i yang telah menunjukan jalan ke arah kebaikan, karenanya pahala bagi da’i seperti pahala orang yang mengerjakannya, sebagaimana sabda Nabi :

" الدال على الخير كفاعله
“Yang menunjuki ke arah kebaikan seperti orang yang mengerjakannya”.
Juga Nabi bersabda :

: " من سنَّ في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء"( ).

“Barang siapa yang menerapkan kebiasaan yang baik dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya”. (HR. Muslim)

Ini dari sisi pahala yang tak ada habisnya, Ia terus bertambah dari hari ke hari. Sesungguhnya kesungguhan Abu Bakar As-siddiq, Bilal, Ammar, Khadijah, Asma dan para sahabat dan sahabiyat lainnya, adalah modal yang paling utama dalam penerimaan manusia terhadap Allah hingga hari kiamat, dan sesungguhnya kesungguhan Nabi Muhammad SAW adalah titik awal dari setiap kesungguhan yang ditunjukan oleh setiap muslim, oleh karena itu bagi Rasulullah SAW – setelah Allah SWT- segala kemuliaan di atas kepala setiap orang Islam.

3. Bahwasanya yang memperoleh hidayah melalui tangan seorang da’i menjadi mitra baginya dalam menunaikan misinya, berpadulah kesungguhannya dengan kesungguhna da’inya. Demikianlah dakwah tidak akan bertambah melainkan dengan jalan dakwah itu sendiri, dan tidak semakin menjadi kokoh kecuali dengan masuknya unsur-unsur baru yang mengikutinya. Tidaklah berubah keadaan kaum muslimin dari sembunyi-sembunyi menuju terang-terangan, kecuali setelah masuknya Umar dan hamzah ke dalam agama Allah Azza wa jalla.

4. Sesungguhnya wahai para da’i, siapa saja yang memperoleh hidayah melelui kedua belah tanganmu, maka itu berarti sebuah batu bata yang dicopot dari bangunan jahiliyah lalu diletakkan pada bangunan Islam. Hal ini dari sisi kekufuran dan kesesatan adalah sebuah kekalahan bagi Syaitan dan para pembantunya, dan kemenangan bagi Allah dan para penolongnya. Oleh karena setiap kali ada orang yang mendapat hidayah berkat dakwah, maka runtuhlah satu demi satu pilar-pilar bangunan jahiliyah. Begitulah problematika jahiliyah di kota Mekkah, setiap pagi menjadi bahan pembicaraan di kalangan mereka. Orang-orang kafir berbicara tentang kaum yang mengikuti agama baru, memisahkan diri dan keluar dari masyarakatnya. Sementara kaum muslimin bergembira dengan semakin banyaknya orang-orang yang mendapat hidayah, seakan-akan saya membayangkan ad di bangunan kufur berproses setiap hari dan beruntuhan sedikit demi sedikit sehingga lahan dakwah menjadi lebih terbuka.

Selasa, 26 April 2011

Dakwah kepada Alloh Swt

الدعوة إلى الله سبيل النجاة في الدنيا والآخرة

Da’wah kepada Allah adalah jalan keselamatan di dunia dan akherat

Dakwah ke jalan Allah adalah jalan selamat di dunia dan akhirat
1. Maksud penciptaan manusia  beribadah, dalam arti:
a. Mengagungkan perintah Allah SWT.
b. Menyayang sesama makhluq-Nya

2. Manusia berfungsi untuk merealisasikan kehendak Allah SWT  Khilafah, dalam arti:
a. Menetapkan hukum berdasarkan ketetapan Allah SWT.
b. Melaksanakan perintah-perintah Allah SWT.
Jika kita menjadi aktifis dakwah dan menjalankan maksud dan fungsi kita sebagai manusia (ibadah & khilafah), maka kita telah mengeluarkan manusia dari:
a. Ketercerai beraian penghambaan kepada selain Allah SWT kepada ke-Esa-an penyembahan Allah SWT semata.
b. Wawasan dan kehidupan yang sempit (dunia) kepada wawasan dan kehidupan yang luas (dunia akhirat).
c. Kezhaliman dan ketidakadilan sistem dan aturan manusia kepada keadilan aturan dan hukum Allah SWT (Islam)
d. Dari neraka kepada surga.

3. Menteladani para rasul (utusan Allah SWT)  sebab mereka dahulu adalah para da'i.

4. Bukti-bukti keselamatan dakwah dan para aktifisnya serta kehancuran orang-orang yang memusuhi dakwah:
a. Kisah Nabi Nuh –'alaihi al-salâm-
b. Kisah Nabi Hud –'alaihi al-salâm-
c. Kisah Nabi Shalih –'alaihi al-salâm-
d. Kisah Nabi Luth –'alaihi al-salâm-
e. Kisah Nabi Syu'aib –'alaihi al-salâm-
f. Kisah Nabi Musa –'alaihi al-salâm-
g. Kisah Ash-hâb al-Sabti (kisah hari Sabtu)
Semua kisah ini menjelaskan sunnah dan janji Allâh yang berlaku, yaitu: Kehancuran orang-orang kafir dan kemenangan orang-orang beriman.

5. Tidak ada kerugian dalam berdakwah, walaupun sang da'i mengorbankan semahal apa pun, sebab, pada akhirnya, ia akan meraih keberuntungan besar.

6. Dakwah Nabi Muhammad SAW membawa keamanan bagi umat manusia, sebab, dengan dakwah beliau, tidak ada lagi adzab yang bersifat menghabisi (isti'shâl).

7. Jika para aktifis dakwah tetap ada dan eksis, maka dunia tidak akan kiamat, jika mereka tiada, maka, masyarakat akan menjadi seburuk-buruk generasi, dan saat itulah, kiamat akan terjadi.

ULASAN
Seorang da’i hendaknya mengetahui bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia untuk tunduk kepada-NYA, sebagaimana firman-NYA :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS.Al-dzariyat (51) : 56 ).

Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas, pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj yang telah digariskan oleh Allah SWT yang telah mengutus para rasul dan para nabinya. Mereka para Rasul dan para nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebnaran. Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam alaihissalam sebagai Khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-NYA. Allah berfirman :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً (30)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al-baqarah : 30), maka dari itu tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-NYA.
Imam Ar-Razy berkata : “Ibadah yang bagaiamanakah yang menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia?”. Kami tegaskan : “Ibadah yang dimaksud adalah mengagungkan perintah Allah dan menyayangi ciptaannya”. (Tafsir Ar-Razy : 28/453) Kemudia Ar-Razy berkata : “Mengagungkan Allah menuntut konsekwensi keharusan mengikuti syariat-NYA dan mentaati sabda rasul-NYA, Allah telah memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-NYA dengan mengutus para Rasul dan menjelaskan berbagai jalan dalam merealisasikan kedua bentuk ibadah tersebut di atas. Pembagian ini terkait dengan tugas ibadah adalah pembagian yang mutlak dan menyeluruh.
Dakwah kepada Allah SWT adalah fenomena keagungan Allah SWT yang paling tinggi, dan seorang da’i yang menyerukan kepada fikrah atau sasaran tertentu dengan mengarahkan segala kesungguhan di jalannya, sesungguhnya hal itu dilakukan agar Ia dapat memnuhi pencapaian sasaran dan fikrahnya. Barangsiapa yang menyerukan kepada fikrah maka ia akan dievaluasi atas fikrahnya, sebagaimana fikrahnya juga akan dievaluasi berkenaan dengan dirinya.
Dalam berdakwah kepada Allah terdapat bukti kasih sayang kepada Hamba-hamba-NYA, karena seorang da’i ingin mengeluarkan manusia dari jurang kehancuran dan perpecahan di bawah kungkungan penguasa lokal menuju keluasan Islam dan cakrawalanya yang menyejukan, serta aturannya yang mengarahkan kepada kebahagiaan manusia. Juga mengeluarkan mereka dari lobang api neraka menuju taman surga.
Inilah dua sasaran ibadah, juga sekaligus menjadi sasaran dakwah, keselamatan ada pada capaian kedua sasaran tersebut. Para nabi Allah dan rasul-NYA telah berkomitmen dengan perintah Allah dal berdakwah kepada-NYA dan memelihara tujuan penciptaan-NYA. Setiap rasul yang mulia selalu berobsesi dalam menyerukan manusia kepada keselamatan. Al-Qur’an telah menceritakan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, selalu dipastikan bahwa pertarungan itu berakhir dengan kemenangan para du’at dan binasanya kaum penzalim penentang dakwah.

Pada kisah nabi Nuh AS bersama kaumnya berakhir dengan :

فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِينَ(73)

Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.(QS. Yunus (10) : 73)

Dalam kisah Hud AS bersama kaumnya juga berakhir dengan :

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ(58)

Dan tatkala datang `azab Kami, Kami selamatkan Huud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `azab yang berat.(QS. Hud (11) : 58) Sedangkan dalam kisah Nabi Saleh AS bersama kaumnya, hasilnya adalah :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ(66)

Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Hud : 66)

Dalam kisah nabi Luth AS dakwahnya berhasil dengan : “Para utusan (malaikat) berkata :

قَالُوا يَالُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ(81)فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ(82)

“Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu perhilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di anataramu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya mereka akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala telah datang adzab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS. Hud : 81-82).

Kisah dakwah nabi Syuaib berakhir dengan :

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ(94ْ

“Dan tatkala datang adzab kami, kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari kami, dan orang-orang yang dzhalim dibinasakan oleh suatu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya”. (QS. Hud : 94)

Dalam kisah Nabi Musa AS bersama Fir’aun dan kaumnya berakhir dengan hasil sebagai beikut :

فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ(136)وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ(137)

Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka (QS. Al-A’raf : 136-137)

Demikian pula halnya dengan sebuah desa tepi pantai :

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(165)

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. Al-A’raf : 165). Ayat-ayat tersebut di atas menguatkan bahwa keselamatan bagi dakwah kepada Allah, dan inilah janji Allah kepada orang-orang beriman :

ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ(103)

Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.
(QS. Yunus : 103)

Kemenangan orang orang mu’min adalah kemenangan para du’at ilallah “terbukti karena janji dan keputusan (Allah)”. Berkata Sayyid Qutub Rahimahullah :

: " هذه سنة الله في الأرض ، وهذا وعد لأوليائه فيها ، فإذا طال الطريق على العصبة المؤمنة مرة فيجب أن تعلم أن هذا هو الطريق، وأن تستيقن أن العاقبة والاستخلاف للمؤمنين ، وألا تستعجل وعد الله حتى يجيء وهي ماضية في الطريق. والله لا يخدع أولياءه ، ولا يعجز عن نصرهم بقوته ولا يُسلمهم كذلك لأعدائه. ولكنه يعلمهم ويدربهم ويزودهم ـ في الابتلاء ـ بزاد الطريق

“Inilah garis yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini, inilah janji untuk para penolong-NYA. Apabila terkadang perjalanan terasa panjang bagi bagi para du’at maka harus difahami seperti inilah jalannya. Hendaknya para du’at tetap yakin kemenenagan dan pergantian kekuasaan akan menjadi milik orang-orang beriman. Juga hendaknya para du’at jangan tergesa-gesa terhadap janji Allah, hal itu pasti akan terjadi di tengah perjalanan, Allah tidak akan menipudaya para penolong-NYA, dan tidak akan lemah untuk menolong mereka dengan kekuatan-NYA dan tidak akan menyerahkan mereka kepada musuh-musuh-NYA, bahkan allah akan selelau mengajarkan mereka, menambah pengetahuan mereka dan membekali mereka – dalam cobaan dan penderitaan – dengan bekalan perjalanan.

لا خسارة في الدعوة :

TIDAK ADA RUGINYA BERDAKWAH

Kegiatan dakwah tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, penuh dengan rasa letih, penderitaan, kepenatan dan kesengsaraan. Sesungguhnya kegiatan dakwah meskipun tidak terlepas dari kelelahan dan kepenatan, tetapi ia seperti makanan yang lezat, dan memuliakan hati. Oleh karena itu para aktifis dakwah selalu tetap berada di jalannya dengan nilai-nilai yang mahal dan berharga, melipur lara dan mendapatkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya demi kepantingan dakwah. Mereka adalah orang yang paling bahagia bila di banding dengan yang lainnya (yang tidak berdakwah). Adapun akhir dari perjaunagn dakwah adalah kemenangan dan kekekalan, selain dari itu adalah kehancuran dan kebinasaan.

أمان للبشرية دعوة محمد

DAKWAH MUHAMMAD : PERLINDUNGAN BAGI KEMANUSIAAN

Bila diamati beberapa ayat yang menjelaskan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, maka dapat disimpulkan bahwasanya mereka seluruhnya dimusnahkan oleh adzab Allah SWT, sehingga tidak ada lagi tersisa manusia berkeliaran, dan tidak luput seorangpun dari mereka. Dengan datangnya Nabi Muhammad tidak ada lagi pemusnahan massal, baik dengan topan, halilintar dan badai. Hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini yang tidak pernah sunyi dari oranng yang berjuang untuk Allah dengan hujjah yang nyata dan kelompok yang terus eksis di atas perintah Allah (Dakwah), sampai tiba keputusan-NYA, kelompok tersebut adalah para da’i (du’at). Lantaran mereka Allah menetapkan keselamatan bagi umat ini dari kebinasaan secara masal. Akan tetapi ketika di bumi ini tidak ada lagi golongan mulia disisi Allah (Du’at), maka kiamat akan segera tiba, sebagaimana tertuang dalam beberapa Hadits, Rasulullah SAW bersabda :

: " لا تقوم الساعة إلا على أشرار الناس قال

“Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan”. (HR. Muslim)

وقال : " لا تقوم الساعة على أحد يقول : الله الله " (
). وفي رواية حتى لا يقال في الأرض : الله الله .

“Tidak akan terjadi kiamat bila measih ada orang yang menyebut “Allah Allah”, dalam riwayat yang lain, “sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini : “Allah Allah”. HR. Muslim)

وقال : " يُقبض الصالحون الاول فالأول ويبقى حثالة كحثالة التمر أو الشعير لا يعبأ الله بهم شيئاً

“Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka” (HR. Bukhari)
Hadits-hadits tersebut di atas menunjukan bahwa terjadinya kiamat berkaitandengan hilangnya dawah dan para da’inya, saya tidak bermaksud bahwa kaitan ini kaitan sebab akibat, tetapi yang saya maksud adalah Allah senantiasa menghargai kemanusiaan dengan dakwah dan para da’inya. Sesungguhnya selama dakwah dan para da’inya terus berlan jut, maka tujuan penciptaan di muka bumi ini masih terus berlangsung. Akan tetapi bila dakwah dan para da’inya lenyap maka manusia telah rugi karena alasan kebaikan keberadaannya di muka bumi ini pun menjadi hilang dan tidak berlaku lagi. Demikianlah, sesungguhnya manusia berada dia antara dua titik, titik permulaan atau titik penghabisan.

الأولى : وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة

Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah : “dan ketika berkata Tuhan mu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah”. Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits rasulullah SAW : “

والثانية : قوله "إن الله يبعث ريحاً من اليمن ألين من الحرير ، فلا تدع أحداً فيه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته " ( ).

Sesungguhnya Allah akan mengirim aroma wewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya) (HR. Muslim)
Imama Muslim telah mengeluarkan hadits dari abdurrahman bin Syamasah RA. : “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah :

، فقال عبدالله : لا تقوم الساعة إلا على شرار الخلق، هم شر من أهل الجاهلية، لا يدْعون الله بشيء إلا رده الله عليهم

“Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan merka lebih durjana dari kaum jahiliyah, do’a mereka ditolak oleh Allah. (HR. Muslim)

Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata maslamah : “Hai Uqbah dengarlah apa yang diucapkan Abdullah”. Uqbah menjawab : “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar rasulullah SAW bersabda :

فسمعت رسول الله يقول: لا تزال عصابة من أمتي يقاتلون على أمر الله، قاهرين عدوهم، لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك، قال عبد الله: ثم يبعث الله ريحاً كريح المسك مسُّها مسُّ الحرير ، فلا تترك نفساً في قلبه مثقال حبة من إيمان إلا قبضته، ثم يبقى شرار الناس عليهم تقوم الساعة"( ).

Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuh-musuh mereka, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu”. Abdullah berkata : “kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudia yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat”. (HR. Muslim)

Dapat disimpulkan dari riwayat tersebut di atas satu petunjuk bahwa ada korelasi antara kelompok orang beriman dengan datangnya kiamat dan datangnya kiamat karena kedurjanaan manusia, pengertian dari korelasi yang dimaksud adaah semakin dekatnya kiamat, sebagaimana pendapat Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Sedangkan hadits lain yang menyatakan :

الآخر لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق إلى يوم القيامة فليس مخالفاً لأن معنى هذا أنهم لا يزالون على الحق حق تقبضهم هذه الريح

“Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantias di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi. (HR. Muslim)
Manakala seorang da’i telah mencanagkan dirinya untuk berjihad dan mendorong dirinya untuk berkorban di jalan Allah, dan memasuki satu celah untuk menghadapi musuh-musuh Islam, maka keahlian seperti itu akan menjadikan dirinya lebih mampu bermanuver, dan ia dengan idzin Allah akan menang dan selamat, sementara musuhnya akan hina binasa. Keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan individu dari penyakit dan penderitaan, tetapi yang dimaksud adalah keselamatan jama,ah dan fikrah pada akhir perjuangan. Adapaun di akherat nanti gambaran keselamatan adalah kenikmatan permanen dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, di dalamnya terdapat sesuatu di mana mata (ketika di dunia) tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkannya dan tidak pernah terlintas dalam hati siapapun.

Senin, 25 April 2011

Quwwatul Maal

Quwwatul Maal-Kekuatan Finansial

Unsur-unsur Kekuatan dalam Islam (Al Anaashiru Quwwatil Islamiyah)

ﭼ قوّة المال ﭽ

Suatu hari Abdullah bin Abbas memakai pakaian paling indah dan mahal, berharga 10.000 dirham. Beliau bermaksud mengadakan dialog dengan kaum Khawarij yang memberontak. Orang Khawarij adalah golongan yang kuat beribadat tetapi meminggirkan ilmu dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqh dan hadits Rasulullah SAW. Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan membenci siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.
Abdullah bin Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat rambutnya serta mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan berhadapan dengan orang-orang picik yang memakai baju tebal dan tambalan, muka yang berdebu serta kusut masai.
Mereka berkata, “Kamu adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW. Mengapa kamu memakai pakaian seperti ini? Abdullah bin Abbas menjawab, “Apakah kalian lebih tahu mengenai Rasulullah SAW dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu yang lebih tahu.” Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan mengenakan perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”
Aisyah pada suatu ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam keadaan lemah, pucat dan kelihatan malas. Beliau bertanya, “Siapakah mereka itu?” Sahabat menjawab, “Mereka itu adalah kumpulan ahli ibadat.” Kemudian Aisyah berkata, “Demi Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin al-Khattab adalah orang yang lebih bertakwa dan lebih takut kepada Allah dibanding mereka itu. Kalau beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan tangkas. Apabila bercakap, beliau dalam keadaan berwibawa, jelas kedengaran percakapannya dan apabila beliau memukul, pukulannya terasa sakit.”
Pemahaman picik kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara tidak kaffah (menyeluruh), memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah, sampai ke tahap berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.
Begitulah keadaan sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat Rasulullah SAW yang disampaikan kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika beliau dikirim menjadi Duta dakwah ke negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai Muaz, mudahkanlah setiap urusan, jangan memberat-beratkannya.”
Apakah Islam mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa Abu Bakar al-Siddiq berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela agama Allah? Begitu juga dengan Abdul Rahman bin Auf dan Uthman bin ‘Affan yang mengeluarkan hartanya untuk membiayai jihad di jalan Allah dengan dana dari kantong mereka sendiri.
Adakah Rasulullah SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi?
Bahkan di dalam al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam menegakkan agama Allah wajib memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan apa saja dar segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dari pasukan berkuda yang lengkap untuk menggetsrksn musuh Allah dan musuh-musuhmu.” (Surah al-Anfal, ayat 60)
Bagaimanakah Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada dalam skala Negara Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta dikuasai oleh musuhnya. Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka terpaksa meminta belas kasih orang lain.
Apakah zuhud itu berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh musuh Allah? Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila emas seberat gunung diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi ia tidak habis dimanfaatkan untuk umat Islam.”
Sebagai panduan bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan perbuatan yang tidak berfaedah untuk akhiratmu.”
Harta yang halal hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat yang halal. Jangan mencari pada sumber yang halal' tetapi membelanjakannya pada jalan maksiat. Atau kebalikannya, mengambil dari sarang penyamun dan membelanjakannya untuk ibadat.
Itu semua bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya harta adalah titipan dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila Allah menghendaki akan lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah harta itu ada dalam genggaman, tetapi tidak menguasai hati kita.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang memiliki harta kekayaan sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia dikatakan sebagai seorang yang zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu dikatakan zuhud apabila ada dua sifat: Tidak terlalu bergembira ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu berduka-cita apabila hartanya berkurang.“
Nikmatilah dunia dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang dimiliki tidak menahan langkah di akhirat kelak dan melambatkan perjalanan ke pintu syurga. Karena semakin banyak harta, maka dapat dipastikan semakin rumit pula hisab perhitungan yang dilakukan, kecuali harta yang halal yang dibelanjakan untuk keridhaan Allah.
Boleh jadi para koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari pandangan manusia. Maka bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat kelak? Dapatkah mereka menyembunyikan hasil kejahatan mereka?
Islam menggalakkan umatNya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi. Semua kekayaan yang dianugerahkan Allah hendaklah dibelanjakan di jalan Allah. Rasulullah saw berpesan agar umat Islam tidak memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah dilakukan, sampai pada tahap berlebih-lebihan sehingga menyusahkan diri sendiri. Islam menghendaki umatnya kaya dengan harta benda agar tidak ditindas karena kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi bangsa yang selalu mengemis mencari bantuan asing.
Allah telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan melipat gandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya apalagi yang mati syahid.
Jihad pun dapat dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu dengan zakat, infak, shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun sarana pendidikan, sarana ekonomi, sarana kesehatan, dan lain-lain yang bertujuan untuk membangun kekuatan umat. Hal ini ditegaskan pada dalam surat Al Anfal ayat 60:

وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم وآخرين من دونهم لا تعلمونهم الله يعلمهم وما تنفقوا من شيء في سبيل الله يوف إليكم وأنتم لا تظلمون   الأنفال: ٦٠ 

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."

Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa melakukan berbagai persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi setiap upaya konspirasi kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh Allah. Persiapan-persiapan tersebut hendaklah bersifat menyeluruh dengan mencakup semua lini kekuatan dan aspek kehidupan umat.
Sudah saatnya Islam melaksanakan jihad secara terencana dan terorganisasi, dan bukan semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang terorganisasilah yang akan dapat menggentarkan musuh-musuh Allah.
Kita semua paham bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki kembali oleh umat Islam kalau kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah kekuatan iman, kekuatan ilmu, kekuatan persaudaraan, kekuatan harta dan kekuatan angkatan perang. Seluruh kekuatan ini ternyata memang ada dalam masyarakat Rasulullah. Kita akan membahas satu kekuatan yang dapat kita jadikan pelajaran dalam pembinaan umat ini, yaitu kekuatan harta (Quwwatul Maal).

A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) المال للّه

Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rejeki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rejeki yang ada pada kita. Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rejeki itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan oleh Allah SWTketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:

قال إنما أوتيته على علم عندي أولم يعلم أن الله قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد منه قوة وأكثر جمعا ولا يسأل عن ذنوبهم المجرمون  . القصص: ٧٨

Karun berkata,“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)

Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan silaturrahim. Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka mengambilnya sedikitpun.” (Muslim)

Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertakwa. Sesungguhnya harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan ke jalan yang diridhai Allah.
Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

"Seorang hamba (manusia) berkata, 'Hartaku, hartaku!' Padahal hartanya itu sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain yang 3 itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain". (Muslim)

Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi budak harta yang terlena dan teperdaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:

إنما أموالكم وأولادكم فتنة والله عنده أجر عظيم
  التغابن: ١٥

''Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar.'' (At−Taghabun: 15).

Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah amanatkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya.

 قل متاع الدنيا قليل والآخرة خير لمن اتقى ولا تظلمون فتيلا

"Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik untuk orang−orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.'' (An−Nisaa': 77).

Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan. Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.

Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.

يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم  الخاسرون   . المنافقون: ٩

''Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka itulah orang−orang yang rugi.'' (Al−Munafiqun: 9).

Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan teperdaya dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:

 لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم والله لا يحب كل مختال فخور  الحديد: ٢٣

''Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (Al-Hadid: 23).

Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanat dari Allah untuk dipergunakan dengan tepat.
Seorang sufi menyatakan, ''Kekayaan itu adalah kepuasan.'' Yakni, puas dengan apa yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang mengendalikan harta.

B. Kebutuhan Jihad akan Harta (Ihtiyajatul Jihad) إحتياجات الجهاد
Jihad yang sempurna dilakukan dengan jiwa, harta dan lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Berjihadlah kalian menghadapi kaum musyrikin (kafirin) dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud dan lainnya)

Itulah jihad yang sempurna dan totalitas. Namun demikian, dalam keadaan tertentu bisa saja ada sesuatu yang menghalangi orang untuk dapat berjihad secara langsung. Dalam keadaan demikian tidak berarti ia tidak mengambil bagian dalam jihad sama sekali. Ibnul Qayyim Al-Jauzi berpendapat dalam Zaadul Ma’ad bahwa apabila seseorang tidak berangkat ke medan jihad (tidak berjihad dengan jiwa)maka ia tetap wajib berjihad dengan harta.
Di antara keutamaan berjihad dengan harta adalah dicatat sebagai orang yang ikut berjihad dan merupakan shadaqah yang paling utama. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang.” (HR. Bukhari,Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengkarantina kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya) akan ditimbang oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Hudzaifah Ibnul Yaman, yang biasa dikenal sebagai shohibussirri (intel) Rasulullah SAW, senantiasa mencemaskan hal-hal yang akan membawa kepada fitnah dan kerusakan. Dalam kaitan amar ma’ruf nahi munkar, beliau mengingatkan bahwa orang-orang yang menentang kemunkaran dengan hati, lisan dan perbuatannya adalah bentuk keimanan yang sempurna. Barang siapa menghadapi denganhati dan lisannya tetapi tidak dengan perbuatannya maka ia telah terjatuh satu kakinya. Barang siapa menghadapi kemunkaran dengan hati dan tidak dengan lisan dan perbuatan maka sudah terjatuh kedua kakinya. Dan barang siapa menghadapi kemunkaran tidak dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya maka ia telah menjadi mayat.
Hudzaifah menganggap orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dalam melawan kemunkaran dan tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam penentangan terhadap kezhaliman sama dengan orang mati. Sebuah perumpamaan yang sangat tepat mengingat keberadaannya sudah tidak lagidiperhitungkan dalam barisan kaum Muslimin, wujuduhu ka adamihi (eksistensinya tidak diakui), iatelah mati sebelum ajalnya tiba.Orang-orang seperti itu kelak pada gilirannya akan digantikan oleh Allah dengan generasi yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya:

 هاأنتم هؤلاء تدعون لتنفقوا في سبيل الله فمنكم من يبخل ومن يبخل فإنما يبخل عن نفسه والله الغني وأنتم الفقراء وإن تتولوا يستبدل قوما غيركم ثم لا يكونوا أمثالكم  . محمد: ٣٨

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka diantara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” ( Qs. Muhammad ayat 38)

Seorang mukmin sejati, pantang untuk digantikan dan pantang untuk mundur dari gelanggang dakwah dan jihad fii sabilillah. Karena dengan demikian dia akan hancur dipermainkan oleh musuhmusuhAllah dalam keadaan terhina. Sebaliknya ia akan senantiasa memompa semangatnya untukberjihad di jalan Allah dan menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan dan perbuatannya. Laa izzataillaa bijihaadin (tidak ada kemuliaan kecuali dengan jihad).

لا يستأذنك الذين يؤمنون بالله واليوم الآخر أن يجاهدوا بأموالهم وأنفسهم والله عليم بالمتقين  . التوبة: ٤٤

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yangbertaqwa.” (Qs. At-Taubah: 44)

Seorang dai seyogianya menjadi titik sentral dari orang-orang yang mengikutinya. Dalam hal mobilisasi infak untuk aktivitas dakwah banyak potensi yang masih terbuka lebar tanpa harus berebutlahan. Bagaimana tidak, menurut perhitungan para ahli jika benar-benar umat ini memobilisasi danazakat akan didapatkan dana segar sebesar 7 trilyun untuk membangun umat. Dan jika ditambah denganinfak tidak kurang dana yang terkumpul sekitar 35 trilyun rupiah. Sebuah angka yang menjadi modalbagi kebangkitan umat di masa mendatang.
Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita dalam meniti jalan dakwah inibetapa pun beratnya ujian yang harus dihadapi. Dan semoga Allah memberikan quwwatut ta’tsir pada diri kita, sehingga lebih banyak lagi orang yang tertarik kepada kita dan menyerahkan hartanya untuk penegakan dakwah dan jihad fii sabilillaah.

C. Jihad harta upaya perimbangan dalam menghadapi musuh dakwah التوازن في مواجهة الاعداء

Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, jihad dengan harta merupakan jihad yang melengkapi bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala bentuk jihad Islam pasti memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat vital untuk mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya akan terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.
Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,
“Sebenarnya jihad dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-jihad yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan kekuatan dalam rangka menghadang ke- kuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan sarana dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.
Jihad lisan memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet, majalah, dan sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk membiayai pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif yang ditunjang peralatan secara me- madai serta tenaga-tenaga pendidik yang profesional.
Jihad fisik dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan senjata, peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang memadai akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”
Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi syarat untuk mernbelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya sebagaimana yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan, politik, sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.
Di sini tidak dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid, madrasah, menyantuni fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah umum diketahui masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan sering ditelantarkan karena salah pengertian.
Dr. Yusuf al-Qaradhwi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad masa kini yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
• Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam, sebagai pusat taklim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam, menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar, membentengi akidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara kemumian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.
• Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar (nonmuslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.
• Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.
• Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah, beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam padamanha Islam, bekerja penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.
Dr. Said Hawwa menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kapada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.
Jika masyarakat Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan memang memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat dipercaya, di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan luas yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga ini merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah menuju jalan yang hendak ditempuh.”
Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam aturan lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam. Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka memelihara hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam berdakwah serta membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya dengan pedang, kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”
Selanjutnya, beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan umum kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat) tidak termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja; di sainping itu, haji merupakan fardhu ain seperti halnya shalat dan puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan dunia-kenegaraan.
Akan tetapi, syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa dibiayai dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran mudik untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”
Selanjutnya dia menulis,“Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan para pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di zaman ini adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara kafir dengan dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur rapi, yang memberikan dana yang cukup kepada mereka.”
Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu lebar yang mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan kalimat Allah. Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad, mempersiapkan dan melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan hukum-hukum dan syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah pemerintah yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan mereka sejak anak-anak padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk menghadapi pendangkalan iman itu.”
Demikianlah beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara yang disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini. Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,

يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا وما يذكر إلا أولوا الألباب  البقرة: ٢٦٩

"Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak....,’ (Qs. Al-Baqarah: 269)

Ayat di atas diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak yang disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,

يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات

‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik....’ (Qs. Al-Baqarah: 267)

Di antara hikmah yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah meletakkan infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling tinggi karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”
Pada kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur Tengah yang jika menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau memberikannya kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya. Walaupun sudah banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit sekali dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas keislaman lainnya.
Semua ini tentu akibat dari ketidak mengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka. Apalah artinya masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat membimbing manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan megah sebuah masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan memanfaatkannya? Membangun gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah membiayai pendidikan ulama dan dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah hartawan muslim dituntut kejeliannya.
Mengenai masalah ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami buatkan tiga ilustrasi:
• potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan tunanetra;
• potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan makanan;
• potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang mengajak kepada Allah.
Tak pelak lagi, barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi tersebut, dia adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu, manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?
Orang yang menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang menyebabkan Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan melahirkan banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian menghidupi banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang disampaikannya, banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama Allah. Dari aspek ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang paling banyak manfaat dan pahalanya.
Andaikata seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang mengajak kepada Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan, kemaksiatan, dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”
Selanjutnya, beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk bersedekah dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang memperbolehkan kita memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk membantu kondisi itu. Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua kondisi itu, berarti ia mendapat yang baik.
Akan tetapi, ada ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan ini, misalnya keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak lain; orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain; kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus; menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah harus didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.
Semua itu harus dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak menyerahkan zakatnya. Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan sedekah itu akan diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau ia tepat menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak mendapat pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan mendapat pahala asalkan niatnya benar.”
Demikianlah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta di jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat dan kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya, sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak karena dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Dalam kondisi seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar harus diutamakan. Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih pasukan/tentara Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya, mendidik ulama dan dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi sarana menuju ke sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.
Apalah artinya membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan dipergunakan memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat difungsikan sebagaimana dikehendaki Islam.
Dalam kondisi seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih utama daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman pemerintah kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan murni. Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi ini dari cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah pekerjaan yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah. Semua usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim yang menghendaki hikmah.
Demikian pula halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang tertentu yang akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk melahirkan ahli spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas yang dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal.

D. Distribusi Infak fi sabilillah (Pengaturan Sumber Dana)

Kebanyakan kaum muslimin ataupun gerakan-gerakan Islam dewasa ini kurang memperhatikan pengaturan dana yang kontinu dalam menjalankan aktivitas perjuangannya. Jika ada, itu pun hanya keija sambilan yang kurang diperhatikan. Mereka hanya mengharapkan sumbangan dari donaturnya, baik sebagai anggota maupun simpatisan. Mereka kurang mengembangkan potensi perekonomian Islam dan kaum muslimin untuk melancarkan sumber dana, yang mana ini pun merupakan salah bentuk jihad yang harus dilaksanakan.
Pada saat kaum muslimin belum memiliki negara yang dapat menjamin dana perjuangan dan langkanya para hartawan muslim yang seharusnya menjadi donatur bagi perjuangan Islam, mereka yang kaya telah terjangkiti penyakit kikir sehingga tidak mau mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Di samping itu, ada pula hartawan muslim yang berkeinginan mengeluarkan hartanya mem- bantu perjuangan Islam, namun dihantui ketakutan penangkapan dan penyiksaan dari penguasa-penguasa zalim vang anti-Islam. Masih banyak lagi faktor yang menahan hartawan muslim mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Hal ini jelas akan menyusahkan perjuangan Islam karena kekurangan dana. Banyak program pokok dalam perjuangan terbengkalai akibat ketiadaan dana. Bagaimanapun, dana sangat penting bagi keberhasilan misi perjuangan.
Sementara itu, musuh-musuh Islam, pasukan-pasukan thagut, terus melancarkan operasi penghancuran dan penghapusan Islam dengan berbagai fasilitas dan tunjangan dana besar dari para donaturnya yang memiliki jaringan internasional. Apakah karena ketiadaan dana ini menyebabkan pejuang-pejuang fi sabilillah mundur dari perjuangannya dan membiarkan pengikut-pengikut iblis yang dilaknat Allah itu menyesatkan manusia. Apakah ketiadaan dana ini mendorong mereka mengemis pada musuh-musuh Islam untuk memberikan dana bagi perjuangannya dengan syarat mereka harus melacurkan akidahnya, atau hanya pasrah saja menunggu dana dari donatur; jika dana sudah tersedia, baru menjalankan aktivitas perjuangan.
Semua ini adalah pekerjaan orang-orang frustasi, orang-orang yang kalah mentalnya dalam berinteraksi dengan kejahiliahan. Inilah sifat tercela yang harus dijauhi pejuang-pejuang fi sabilillah. Kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Yang Mahakaya dan Mahakuasa pasti akan mendatangkan bantuan-Nya, namun apakah bantuan itu akan datang dengan sendirinya tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dari pejuang-pejuang suci ini. Bukankah Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berusaha semaksimal kemampuannya untuk menegakkan din-Nya, kemudian dengan usaha sungguh-sungguh itulah Allah mendatangkan bantuannya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an,

يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم  . محمد: ٧

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Qs. Muhammad: 7)

Dengan demikian, Allah hanya akan menolong hamba-hamba-Nya yang sudah berikhtiar dengan seluruh kemampuannya, bukan orang-orang yang patah semangat kemudian tidak berbuat.
Untuk menanggulangi kekurangan dana dalam perjuangan, saat ini diperlukan usaha-usaha perekonomian yang dapat menghasilkan dana, baik dalam usaha perdagangan, pabrik, jasa, maupun usaha-usaha halal lainnya. Tentu, usaha ini dikelola sesuai dengan perkembangan sistem perekonomian modern yang sesuai dengan Islam, dilaksanakan oleh orang-orang yang amanah dan bertanggungjawab, memiliki komitmen yang kuat terhadap perjuangan Islam dan profesional di bidangnya, di bawah kontrol lembaga perjuangan Islam, baik secara langsung jika hal ini memungkinkan maupun tersembunyi.
Sangat bijak jika pergerakan Islam melaksanakan usahanya secara sembunyi (rahasia), terutama di negara-negara yang penguasanya anti-Islam, tidak terang-terangan secara langsung mengatasnamakan lembaga perjuangannya dalam aktivitas perekonomian, misalnya atas nama pribadi yang dibiayai dan dikontrol lembaga. Cara semacam ini menjaga kemungkinan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan perjuangan dari sumber kekuatan ekonomi karena mereka senantiasa berusaha untuk itu dengan menghalalkan segala cara.
Usaha-usaha perekonomian itu harus dilakukan dengan menjalankan sistem perekonomian Islam. Baik berupa syirkah, mudharabah, murabahah, qiradh, dan sejenisnya yang tidak terkontaminasi sistem ekonomi non-Islam. Misalnya, beberapa anggota pergerakan yang memiliki kelebihan harta mengumpulkan modal untuk dijalankan. Kemudian dari keuntungan usaha tersebut disisihkan bagian untuk dana perjuangan. Atau seseorang/beberapa orang yang memiliki modal dan yang lainnya mendirikan usaha. Keuntungan dari usaha itu dibagi antara pemberi modal dan yang menjalankannya kemudian disisihkan bagian untuk perjuangan Islam.
Atau sebuah pergerakan Islam yang memiliki dana cukup, kemudian membuka usaha sebagai bagian dari aktivitasnya sebagai sumber dana perjuangan; dan lain-lain bentuk perekonomian yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan dijalankan dengan manajemen modern dan profesional.
Dengan usaha-usaha pengaturan dana melalui perekonomian ini, para pejuang fi sabilillah tidak perlu bersusah payah mengemis pada orang-orang kikir ataupun musuh-musuhnya dan tidak perlu terlalu mengharapkan bantuan yang belum pasti datangnya. Dengan usaha yang bersungguh-sungguh dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, rahmat dan pertolongan Allah akan senantiasa datang kepada pejuang di jalan Allah. Selain itu, dapat dilihat keberhasilan yang telah diperoleh pejuang-pejuang di jalan Allah yang menaruh perhatian besar terhadap pengaturan sumber dana ini, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari perjuangan yang mesti digarap, tidak kalah pentingya dengan jihad lainnya.
Sebagai contoh, Imam Syahid Hasan al-Banna sangat menaruh perhatian pada aspek perekonomian ini. Gerakannya mampu mengorganisasi usaha-usaha perekonomian, bahkan pabrik-pabrik besar, sebagai sumber dana perjuangannya. Usahanya itu dikelola oleh jamaah secara profesional. Demikian pula halnya dengan gerakan ekonomi yang dikelola gerakan al-Arqam, yang berpusat di Malaysia, dengan pabrik-pabrik dan usaha perdagangan yang cukup maju serta dikelola secara profesional oleh pribadi-pribadi berdedikasi tinggi. Dengan usahanya itu, gerakan Arqam mampu berkembang ke beberapa negara.
Berapa banyak gerakan Islam yang gulung tikar ataupun susah berkembang karena kurang memperhatikan pengaturan sumber dana secara profesional, tidak menggarap sektor perekonomian sebagaimana menggarap bagian-bagian perjuangan lainnya, sedangkan ekonomi adalah kunci dari keberhasilan perjuangan secara menyeluruh. Kini, sudah saatnya lembaga-lembaga perjuangan Islam, bahkan merupakan tuntutan yang mesti dilakukan, untuk memiliki lembaga khusus yang bergerak dalam bidang ekonomi dalam rangka menunjang dana perjuangan dengan mengikuti kaidah-kaidah perekonomian modern yang sesuai dengan Islam.
Untuk membahas persoalan ini secara rinci diperlukan keterlibatan para pakar ekonomi dan bisnis serta manajemen yang komitmen terhadap perjuangan Islam dalam rangka menuju kejayaan Islam dan umatnya. Di antara seruan Allah SWT dalam memobilisasi kaum Muslimin untuk berjihad di jalan-Nya adalah dalam Surat At-Taubah ayat 41:

 انفروا خفافا وثقالا وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون التوبة: ٤١ - ٤٢

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)

Infak di jalan Allah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam jihad fiisabilillah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Dalam ayat tersebut secara gamblang disebutkan bahwa berjihadlah dengan harta dan jiwamu.
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum berlomba-lomba menginfakkan harta mereka setiap kali seruan infak datang kepada mereka. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya kepada Rasulullah, Umar menginfakkan separuh hartanya kepada Rasulullah, Utsman bin Affan pernah menginfakkan seribu ekor unta berikut isinya. Pantaslah para muassis dakwah pada zaman sekarang ini pun mengandalkan penggalangan dana dari infak para pendukungnya dengan slogan shunduuqunaa juyuubuna. Tidak mengandalkan kepada uluran tangan dan belas kasihan orang lain. Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah menolak pemberian dari kerajaan Inggris untuk aktivitas dakwah beliau.
Mengapa kita diharuskan berjihad dengan harta kita? Hal itu disebabkan karena kebatilan pun untuk bisa eksis, didukung oleh para pendukung kebatilan (orang-orang kafir) yang berani mengeluarkan biaya besar. Allah berfirman:

إن الذين كفروا ينفقون أموالهم ليصدوا عن سبيل الله فسينفقونها ثم تكون عليهم حسرة ثم يغلبون والذين كفروا إلى جهنم يحشرون

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (QS. Al-Anfal: 36)
Oleh karena itu, pelalaian akan infak di jalan Allah ini akan menyebabkan surutnya kembali cahaya Islam dan tertutupinya kebenaran Islam. Tertutup oleh kegelapan kebatilan dan kezhaliman yang mengobral harta mereka untuk melawan kebenaran.
Perhatikanlah dalam penggalan sejarah ketika para sahabat berkeinginan meminta dispensasi kepada Rasulullah untuk tidak lagi berinfak dan meninggalkan dakwah yang telah maju di Madinah untuk sekadar memetik keuntungan duniawi. Permintaan dispensasi tersebut dijawab oleh Allah dengan sebuah penegasan untuk berinfak di jalan Allah SWT.

وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله يحب المحسنين

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Semoga Allah SWT senantiasa melapangkan rezki kepada kita dan memberikan kekuatan
kepada kita untuk berinfak di jalan Allah SWT dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini.

SUPLEMEN
PROFIL HARTAWAN MUSLIM GENERASI ISLAM PERTAMA

Generasi Islam pertama yang dibina Rasulullah saw. adalah sebaik-baik generasi Islam yang seluruh kehidupannya merupakan teladan kaum muslimin sepanjang masa. Mereka adalah generasi yang diturunkan Allah kepada umat manusia, hidup di bawah bimbingan wahyu Allah dan pendidikan Rasulullah sehingga mereka dijuluki sebagai umat terbaik yang diturunkan Allah ke muka bumi. Mereka adalah generasi-generasi agung, yang keagungannya menjadi mercusuar sepanjang zaman.
Demikian pula, mereka adalah pejuang-pejuang agung yang rela mengorbankan jiwa raga dan hartanya untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi. Mereka adalah sebaik-baik teladan dalam perjuangan di jalan Allah. Karenanya, tidaklah sempurna pembahasan mengenai jihad dengan harta jika perjuangan sud mereka dalam mengorbankan hartanya di jalan Allah tidak dikemukakan. Pada bagian ini akan dikemukakan profil para pejuang di jalan Allah yang telah mengeluarkan hartanya untnk perjuangan Islam.

1. Khadijah ra., Ummahatul Mu’minin Pertama

Dalam tarikhnya, Ibnu Atsir menulis, “Siti Khadijah adalah seorang niagawati yang mempunyai kedudukan terhormat dan memiliki harta kekayaan besar. Dalam mengelola perniagaannya, ia mempekerjakan kaum pria untuk menjualkan barang-barang dagangannya dengan menerima sebagian dari keuntungan yang didapatnya. (”3) (Lihat Muhammad al-Ghazali, Fiqhus Sunnah, hlm. 132)
Niagawati kaya raya ini lalu menikah dengan seorang pemuda calon pemimpin besar umat manusia, Muhammad al-amin. Allah telah memilih pendamping yang sangat tepat bagi misi-misi besar yang diembannya kelak, seorang wanita terhormat, kaya raya, cerdas, tegas, bijaksana, dan rela mengorbankan hartanya untuk mendukung perjuangan suaminya tercinta. Khadijah r.a. adalah profil hartawan muslimah agung yang pengorbanannya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika suami tercintanya menjauhi dunia untuk ber-tahannuts, mencari kebenaran hakiki di kesunyian Gua Hira, dengan penuh pengorbanan, disiapkannya seluruh kemampuan yang dimilikinya. Seluruh harta benda miliknya dikorbankan kepada perjuangan suci suaminya untuk membebaskan umat manusia dari kesesatan dan kejahiliahan. la tidak pernah mengeluh dan menghitung-hitung berapa besar yang dikeluarkannya untuk perjuangan suaminya ketika wahyu telah turun.
Khadijah r.a., bangsawan kaya raya yang telah mengorbankan seluruh miliknya untuk perjuangan menegakkan risalah Islam yang diemban suaminya tercinta, Muhammad Rasulullah. Dengan pengorbanannya, ia rela hidup menderita, senantiasa kekurangan, meninggalkan kemewahan duniawi, menjadi miskin demi menegakkan keyakinannya; sampai ia wafat di tengah-tengah kemiskinan dan kekurangan suami dan para pengikut setianya. Sesungguhnya, pantaslah Rasulullah mencintai orang yang telah mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan Islam seperti Khadijah, istrinya tercinta.
Tiada kata-kata yang lebih indah untuk melukiskan pengorbanan sucinya kecuali kata-kata sang kekasihnya, Muhammad Rasulullah, orang yang langsung merasakannya, “Demi Allah, tiada ganti yang lebih baik darinya, yang beriman kepadaku di saat semua orang ingkar, yang membenarkanku ketika semua mendustakanku, yang mengorbankan hartanya di saat semua berusaha menahannya, dan...darinyalah aku mendapatkan keturunan....”
Berbahagialah Khadijah r.a., seorang hartawan muslimah yang telah hidup bersama Islam dan menghidupkan Islam dengan apa yang dimiliknya dan rela meninggal di tengah-tengah keislamannya dalam mendukung perjuangan suci suaminya. Pantaslah ia mendapatkan kedudukan terhormat di mata Rasul-Nya dengan pengorbanan yang telah diberikannya sehingga menimbulkan kecemburuan istri-istrinya yang lain, walaupun Khadijah telah wafat.

2. Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar ibnul-Khaththab

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah salah seorang bangsawan dan hartawan Quraisy yang mengikuti Rasulullah di awal dakwah Islam. Dengan kekayaan yang dimilikinya, Abu Bakar telah banyak berbuat untuk menjayakan perjuangan Islam, membantu saudara-saudara seimannya yang lemah, membebaskan mereka dari perbudakan dan kesulitan-kesulitan ekonomi lainnya. Kederma- wanan Abu Bakar tidak dapat ditandingi oleh para sahabat lainnya karena ia telah mengorbankan seluruh harta bendanya untuk perjuangan Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan sebagai berikut.
Umar ibnul-Khaththab ra., berkata, “Rasulullah menyuruh kami supaya bersedekah. Kebetulan ketika itu, aku mempunyai harta. maka kataku dalam hati, ‘Sekarang, aku dapat mengungguli Abu Bakar sekalipun aku tidak pernah mengunggulinya.’ Aku pun datang membawa separo hartaku. Rasulullah bertanya, ‘Berapa engkau tinggalkan untuk keluargamu?’ ‘Sebanyak itu pula,’ jawabku. Datanglah Abu Bakar membawa seluruh hartanya dan Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Berapa engkau tinggalkan untuk keluargamu?’Jawabnya, ‘Aku tinggalkan buat mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Aku (Umar) berkata, ‘Aku tidak akan dapat mengungguli Anda buat selama-lamanya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kedermawanan mereka berdua, Abu Bakar dan Umar, tidak perlu dikomentari panjang lebar lagi. Riwayat tersebut telah menggambarkannya dengan indah dan tuntas. Mereka tidak pernah menahan harta bendanya jika; hal itu untuk kepentingan Islam dan perjuangannya; mereka selalu berlomba- lomba untuk mengeluarkannya.

3. Utsman bin Affan

Ketika Perang Tabuk (perang terbesar ketika itu antara kaum muslimin dan tentara Romawi pada bulan Rajab tahun 9 H) diperintahkan oleh Rasulullah pada musim panas yang terik, perjalanan yang ditempuh amat jauh dan jumlah musuh sangat besar. Demikian pula perlengkapan yang dipersiapkan harus memadai. Rasulullah lalu menganjurkan kepada para sahabat untuk mengeluar- kan sumbangan menurut kemampuan masing-masing.
Para sahabat berlomba-lomba mengeluarkan infak, demikian juga kaum wanita berlomba mengeluarkan barang perhiasannya dan menyerahkannya kepada Rasulullah guna membantu persiapan angkatan perang, namun sumbangan itu tidak seberapa banyak dan belum mencukupi persiapan guna menghadapi tentara Romawi yang demikian besar dan tangguh.
Ketika Rasulullah memandang pasukan yang besar dan panjang dari para sahabat, beliau bersabda, “Barangsiapa yang dapat membiayai mereka. Allah akan mengampuninya.” Mendengar jaminan ampunan Allah itu, tampillah Utsman dari arah yang tidak diduga dari dalam barisan panjang itu, menyanggupkan diri untuk membiayai seluruh keperluan pasukan perang yang terkenal dengan nama Jaisul Usrah ‘pasukan di waktu susah’.
Berkata Ibnu Syihab az-Zuhri sehubungan dengan infak Utsman bin Affan itu, “Utsman telah menyerahkan kepada Jaisul Usrah dalam Perang Tabuk sejumlah 940 ekor unta ditambah dengan 60 ekor kuda untuk membulatkan jumlah menjadi seribu ekor.”
Berkata Hudzaifah al-Yamani, “Utsman datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa uang untuk Jaisul Usrah dengan dicurahkan di atas telapak tangannya. Rasulullah pun membolak-balikkan uang itu dengan tangannya seraya bersabda, ‘Allah telah mengampuni dosa-dosamu, yang kamu wahai Utsman, baik yang kamu sembunyikan maupun nyatakan, begitupun apa yang akan terjadi nanti sampai kiamat”
Ketika Rasulullah dan para sahabatnya baru berhijrah ke Madinah, mereka langsung mendapat ujian dari Allah dengan menghadapi kesulitan air, sehingga ada di antara para sahabat yang berkata, “Kami tidak tahan tinggal di tempat ini,” sambil menunjuk tempat yang banyak airnya milik orang Yahudi, sebuah mata air tawar yang suka dijuahya dengan satu gantang gandum untuk setimba air.
Rasulullah sangat mengharapkan kiranya di antara sahabat ada yang bersedia membeli telaga itu sehingga air dapat dialirkan kepada kaum muslimin tanpa memungut bayaran. Tampillah sekali lagi Utsman bin Affan untuk memenuhi harapan Rasulullah itu dan membeli separo dari telaga itu dengan harga 12.000 dirham. Cara pemanfaatannya dengan bergiliran, satu hari Yahudi dan satu hari untuk kaum muslimin. Karena orang Yahudi itu mengharapkan pendapatan yang lebih banyak, ia menawarkan kepada Utsman bin Affan untuk membeli yang sebagian lagi, lalu dibelilah seluruhnya, sehingga melimpah ruahlah air itu untuk kaum muslimin.

4. Abdurrahman bin Auf

Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa ketika Aisyah di rumahnya tiba-tiba terdengar suara getaran dan hiruk pikuk di luar rumah. Aisyah bertanya, “Suara apakah itu?’ Dijawab oleh seseorang, “Itu suara kafilah Abdurrahman bin Auf yang baru tiba dari Syam membawa barang dagangannya kira-kira tujuh ratus unta, yang menimbulkan suara demikian.” Aisyah berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Saya telah melihat Abdurrahman bin Auf masuk ke dalam surga dengan merangkak.”’ Keterangan ini sampai kepada Abdurrahman bin Auf, lalu ia berkata, “Jika dapat, aku akan usahakan untuk masuk sambil berdiri.” Semua unta dengan muatannya lalu diinfakkan di jalan Allah.

5. Ummahatul Mu’minin Aisyah RA.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Abdullah bin Zubair mengirim uang sebanyak 180.000 dirham kepada Aisyah r.a., sedangkan ketika itu ia tengah berpuasa. Uang itu lalu dibagi-bagikan hingga petang dan tidak tersisa. Ketika sudah petang, Aisyah berkata kepada hambanya, “Sediakan untuk berbuka puasa.” Disediakanlah roti dan minyak zaitun oleh hambanya sambil berkata, “Apakah engkau tidak dapat membeli daging dari uang yang dibagi-bagikan itu walau hanya sedirham?” Aisyah r.a. menjawab, “Sudahlah, jangan marah padaku. Sekiranya engkau mengingatkan, tentu aku dapat mengerjakan itu.”

6. Sa’ad Ibn Ar-Rabi

Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut. Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. segera mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad ibnur-Rabi.’ Ketika itu, kepada Abdurrahman, Sa’ad berkata, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan dan kekayaan itu akan kubagi dua, separo untuk Anda dan separo untukku. Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah mana yang Anda pandang baik bagi Anda sebutkan namanya, ia akan segera kucerai dan sehabis masa iddahnya, Anda kupersilakan menikahinya.”
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkanlah kepadaku di manakah pasar kota kalian.”
Demikianlah sedikit dari beberapa contoh agung para pejuang di jalan Allah yang telah mengorbankan harta bendanya untuk menegakkan Islam di muka bumi. Seluruh generasi Islam pertama adalah para pejuang sejati yang telah mengorbankan jiwa dan hartanya untuk perjuangan di jalan Allah. Dada mereka yang telah dipenuhi oleh keimanan dan keislaman, tidak akan ragu mengorbankan apa saja untuk kepentingan agamanya.
Perjuangan agung mereka tidak mungkin dapat diuraikan satu per satu, namun perjuangan mereka pada hakikatnya adalah perjuangan suci yang dilandasi keimanan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sangat yakin bahwa semua pengorbanan yang diberikan akan dibalas dengan surga dan segala kenikmatannya. Untuk mendapat kenikmatan akhirat inilah, mereka berlomba-lomba mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Pengorbanan mereka yang agung dan mulia telah menjadikan Islam sebagai agama yang menyelamatkan dunia.
Mereka yang memiliki harta benda dan mengaku sebagai orang yang beriman, tidak akan menumpuk harta bendanya secara berlebih-lebihan sebagaimana yang telah dicontohkan generasi Islam pertama, karena mereka mengetahui bahwa dunia ini adalah ladang untuk menanam amal saleh agar dapat dipanen kelak di akhirat. Mereka yang telah diberi kelebihan harta oleh Allah, namun dipergunakan untuk kepuasan duniawi dan tidak dibelanjakan di jalan Allah, bukanlah termasuk orang-orang yang dirahmati Allah kelak.
Apalagi seperti saat ini, di mana musuh-musuh Islam telah menggalang dana besar untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin, sedangkan para pejuang di jalan Allah sangat kesusahan mendapatkan dana perjuangan mereka. Pada saat seperti ini, pengorbanan mengeluarkan harta di jalan Allah akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar dan orang-orang yang tidak mengeluarkannya akan mendapat kemurkaan dan bencana besar.