HADITS
KESEPULUH
Diriwayatkan
Muslim hadits namor 1015, At Tirmidzi hadits namor 2989, Imam Ahmad 2/328, dan
Ad-Darimi 2/300.
Hadits Kesepuluh— 21 1
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: " قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ
اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ
بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى: (ياَ أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا
مِنَ الطيِّبَاتِ واعْمَلُوا صَالِحاً) وَقَالَ تَعَالَى: (يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا
كُلُوْا مِنْ طيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ
أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لَهُ " رواه مسلم " .
Abu
Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah itu
baik dan tidak menerima selain kebaikan. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang-orang beriman sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul. Maka
Allah berfirman, 'Hai para rasul, makanlah dari kebaikan (makanan) dan
berbuatlah kebaikan.' Allah Ta'ala juga berfirman, 'Hai orang-orang beriman,
makanlah dari kebaikan yang dikaruniakan kepada kalian.' Lalu beliau bercerita
tentang seseorang yang lama bepergian, kusut masai dan berdebu, ia
menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, 'Ya Rabb ya Rabb." Sedangkan
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi makanan yang
haram. Bagaimana mungkin dia dikabulkan?"
(Diriwayatkan Muslim).
Hadits Kesepuluh
Takhrij hadits: Dikeluarkan Muslim
Perawi tertinggi: Abu Hurairah
Kedudukan hadits: Hadits ini merupakan
penjelasan tentang hal-hal yang baik
yang harus dilakukan seorang mukmin, baik ucapan, makanan, minuman, pakaian,
dan tempat tinggal.
Fiqhul Hadits:
§ Allah
Mahasuci dan bebas dari segala kekurangan dan aib.
§ Sedekah
dan amal tidak diterima kecuali yang baik-baik.
§
Makanan
yang baik merupakan penyebab di terima nya doa dan amal.
§ Seorang
Mukmin seharusnya mengkonsumsi yang baik, termasuk
§ di
antaranya makanannya, minumannya, pakaiannya, dan tempat
tinggalnya.
Sabda
Nabi saw,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
طَيِّبٌ
“Sesungguhnya Allah baik,
Juga disebutkan di hadits Sa’ad bin Abu
Waqqash Ra dan Nabi saw yang bersabda,
"إِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ ، نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ ، جَوَّادٌ يُحِبُّ
الْجُوْدَ "
“Sesungguhnya
Allah Itu baik Yang menyukai kebaikan, bersih Yang menyukai kebersihan, dan dermawan yang menyukai kedermawanan.”
Hadits tersebut diriwayatkan At Tirmidzi
dan di sanadnya terdapat catatan.
Makna hadits tersebut ialah bahwa
Allah Ta’ala itu suci dan jauh dari segala kekurangan dan aib. ini seperti
firmankan Allah Ta’ala,
وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّؤُوْنَ ممَِّا
يَقُوْلُوْنَ
‘Dan wanita -wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik. “(An-Nur: 26).
Mereka yang dimaksud di atas ialah
orang-orang yang bersih dari kotoran perbuatan zina.
لاَ
يَتَصَدَّقْ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ طَيِّباً
..
“Tidaklah
seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik dan Allah tidak
menerima kecuali yang baik-baik, dan seterusnya.”
Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menerima
sedekah kecuali sedekah yang berasal dan pendapatan yang baik dan halal.
Allah tidak menerima amal perbuatan
kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dan semua hal yang merusaknya seperti
riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan
halal. Jadi kata “baik/suci” itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan
keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua bagian; baik dan buruk.
“Katakan, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu.'" (Al Maidah: 100).
Allah membagi perkataan
ke dalam baik dan buruk. Allah Ta’ala berfirman;
Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik akarnya teguh dan cabangnya ke langit. “(Ibrahim: 24).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan
perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut
dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun."
Allah Ta’ala berfirman,
"Barangsiapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan
hal-hal yang buruk.
"(Yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): "Salaamun 'alaikum, masuklah kamu ke dalam
surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan."
وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ تَقُوْلُ عِنْدَ الْمَوْتِ : اُخْرُجِي أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ
كَانَتْ فِي الْجَسَدِ الطَّيِّبِ ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تُسلِّمُ عَلَيْهِمْ عِنْدَ
دُخُوْلِ الْجَنَّةِ ، وَيَقُوْلُوْنَ لَهُمْ : طِبْتُمْ ، وَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيْثِ
أَنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهَ تَقُوْلُ لَهُ الْمَلاَئكِةُ
: " طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ، وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلاً
Malaikat berkata pada
saat kematian, “Keluarlah wahai jiwa yang baik.” Itu dikatakan malaikat
kepada jasad yang baik. para malaikat juga mengucapkan salam kepada kaum
Mukminin ketika mereka masuk surga dan berkata kepada mereka, “Kalian telah
berbuat baik.” Disebutkan di hadits bahwa jika orang Mukmin mengunjungi
saudaranya di jalan Allah, malaikat bertanya kepadanya, “Engkau telah berbuat
baik. Tempat jalanmu juga baik. Engkau telah menyiapkan tempat di surga.”
(diriwayatkan dari Abu Hurairah hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ibnu Hiban)
Jadi, hati, lidah, dan
tubuh orang Mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun
terlihat di lidahnya dan amal shalih yang merupakan buah iman dan masuk dalam
namanya juga terlihat di organ tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima
Allah Azza wa Jalla.
Di antara hal teragung yang menghasilkan
amal yang baik bagi orang Mukmin ialah Makanan yang baik dan berasal dan sumber
yang halal. Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang.
Di hadits di atas terdapat isyarat bahwa
amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makan makanan halal dan
bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
menerima kecuali hal yang baik,” beliau bersabda bahwa Allah memerintahkan kaum
Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’ala benfirman,
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. “(Al Mukminun: 51).
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik Kami berikan
kepada kalian. “(Al Baqarah: 172).”
Maksudnya bahwa para rasul dan umat
mereka masing-masing diperintahkan makan Makanan yang baik yang merupakan makanan
yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya
shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanan tidak halal, bagaimana amal bisa
diterima?
Setelah itu, Nabi saw menyebutkan tentang
doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah
perumpamaan tentang kemustahilan diterimanya amal jika Makanan pelakunya adalah
haram. Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan
dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma yang berkata,
“Ayat berikut dibacakan di samping
Rasulullah saw ,
‘Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ‘(Al-Baqarah: 168).
فَقَامَ
سَعْدٌ بْنِ أَبِي وَقَّاص ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، ادْعُوْ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي
مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ ، فَقَالَ النَّبِيِّ r : " يَا سَعْدٌ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ
، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ
الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلُ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً ، وَأيُّمَا
عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ ، فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ "
Kemudian Sa’ad bin Abu Waqqash berdiri dan
berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku
orang yang doanya dikabulkan.’ Nabi saw bersabda, ‘Hai Sa’ad,
hendaklah makanan Mu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan.
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, sesungguhnya seorang hamba
pasti memasukkan sesuap Makanan haram ke perutnya, akibatnya, amalnya tidak
diterima darinya selama empat puluh hari. Hamba siapa saja yang dagingnya
tumbuh dari barang haram, neraka amat layak baginya’.”5( HR
Tabrani).
Dalam Musnad Imam
Ahmad disebutkan hadits dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata, “
"مَنِ اشْتَرَى
ثَوْباً بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ فِي ثَمَنِهِ دِرْهَمٌ حَرَامٌ ، لَمْ يَقْبَلِ اللهُ
لَهُ صَلاَةَ مَا كَانَ عَلَيْهِ " ثُمَّ
أَدْخَلَ أُصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ فَقَالَ : صُمَّتَا إِنْ لَمْ أَكُنْ سَمِعْتُهُ
مِنْ رَسُوْلِ اللهِ r
Barangsiapa membeli
pakaian seharga sepuluh dirham dan pembayarannya terdapat satu dirham haram,
Allah tidak menerima shalatnya selama ia mengenakan pakaian tersebut .”
Setelah itu, Ibnu Umar
memasukkan jari-jarinya ke kedua telinganya lalu berkata, “Kedua telingaku ini tuli
jika aku tidak mendengar perkataan tersebut dan Rasulullah saw. “
Ath-Thabrani
meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Abu Hurairah
Radhallahu Anhu dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda;
"إِذَا خَرَجَ
الرَّجُلُ حَاجاًّ بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرَزِ ، فَنَادَى
: لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ : لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ زَادُكَ حَلاَلٌ ، وَرَاحِلَتُكَ حَلاَلٌ ، وَحَجُّكَ مَبْرُوْرٌ غَيْرُ
مَأْزُوْرٍ ، وَإِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ بِالنَّفَقَةِ الْخَبِيْثَةِ ، فَوَضَعَ رِجْلَهُ
فِي الْغَرَزِ ، فَنَادَى : لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ
السَّمَاءِ : لاَ لَبَّيْكَ وَلاَ سَعْدَيْكَ ، زَادُكَ حَرَامٌ ، وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ
، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُوْرٍ "
"Jika
seseorang berangkat untuk berhaji dengan bekal halal, meletakkan kakinya dipelana,
dan berkata, ‘Labbaik Allahumma Labbaik, ‘penyeru dari langit menyerunya,
‘Labbaika wa sadaika, bekalmu halal, kendaraanmu halal dan hajimu mabrur tidak
berdosa. ‘Jika seseorang berangkat berhaji dengan bekal haram, meletakkan kakinya
diplana, dan berseru, ‘Labbaikallahuma labbaik, ‘penyeru dari langit menyerunya,
‘Tidak labbaika dan juga tidak sadaik, bekalmu haram, nafkahmu haram dan hajimu
tidak mabrur”7
Hadits yang se makna
juga diriwayatkan dan Umar bin Khaththab dengan sanad yang sangat lemah.
Abu Yahya Al-Qattat
meriwayatkan dan Mujahid dan Ibnu Abbas yang berkata,
لاَ
يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ امْرِئٍ فِي جَوْفِهِ حَرَامٌ
“Allah tidak menerima
shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat sesuatu yang haram.”8
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari
orang-orang yang bertaqwa.” (Al Maidah: 27).
Oleh karena itu, ayat di atas sangat
ditakuti generasi salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertaqwa
yang diterima.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang makna Al-Muttaqin
(orang-orang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab,
يَتَّقِي
الأَشْيَاءَ ، فَلاَ يَقَعُ فِيْمَا لاَ يَحِلُّ لَهُ
“Yaitu orang yang meninggalkan segala
hal kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya.”
خَمْسُ
خِصَالٍ بِهَا تَمَامُ الْعَمَلِ: الإِيْمَانُ بِمَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ،
وَمَعْرِفَةِ الْحَقِّ ، وَإِخْلاَصِ الْعَمَلِ لِلَّهِ ، وَالْعَمَلُ عَلَى
السُّنَّةِ ، وَأَكْلُ الْحَلاَلِ فَإِنْ فُقِدَتْ وَاحِدَةٌ ، لَمْ يَرْتَفِعِ الْعَمَلُ،
وَذَلِكَ أنَّكَ إِذَا عَرَفْتَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ ، وَلَمْ تَعْرِفِ الْحَقَّ ،
لَمْ تَنْتَفِعْ ، وَإِذَا عَرَفْتَ الْحَقَّ ، وَلَمْ تَعْرِفِ اللهَ ، لَمْ تَنْتَفِعْ
، وَإِنْ عَرَفْتَ اللهَ ، وَعَرَفْتَ الْحَقَّ ، وَلَمْ تُخْلِصِ الْعَمَلِ ، لَمْ
تَنْتَفِعْ ، وَإِنْ عَرَفْتَ اللهَ ، وَعَرَفْتَ الْحَقَّ ، وَأَخْلَصْتَ الْعَمَلَ
، وَلَمْ يَكُنْ عَلَى السُّنَّةِ ، لَمْ تَنْتَفِعْ ، وَإِنْ تَمَّتِ الأَرْبَعُ
، وَلَمْ يَكُنْ الأَكْلُ مِنْ حَلاَلٍ لَمْ تَنْتَفِعْ
Abu Abdullah An-Naji Rahimahullah berkata,
“Ada lima
hal di mana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, beriman dengan mengenal
Allah Azza wa Jalla. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga, mengikhlaskan amal
karena Allah. Keempat, beramal sesuai dengan sunnah. Kelima, memakan makanan
yang halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal
menjadi tidak naik. Jika engkau kenal Allah Azza wa jalla, namun tidak kenal
kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau kenal kebenaran, namun tidak
kenal Allah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau kenal Allah dan kenal
kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika
engkau kenal Allah, kenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak
sesuai dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi
keempat syarat tersebut, namun makanan Mu tidak halal, engkau menjadi tidak
berguna.”
Wuhaib bin Al Wind berkata, “Jika engkau
berdiri di tempat berdirinya rombongan musafir, Maka tidak sesuatu apa pun yang
berguna bagimu, hingga engkau melihat apa yang masuk ke perutmu; halal atau haram?”
Adapun sedekah dengan
uang haram, Maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahih Muslm dari Ibnu
Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
yang bersabda,
"لاَ يَقْبَلُ اللهَ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ ، وَلاَ صَدَقَةً
مِنْ غُلُوْلٍ "
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulul
(mencuri rampasan perang sebelum dibagi).”
Da!am Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dan
Abu Hurairah ra dari Nabi Shallalla.huA/aihi wa Sallam yang
bersabda,
مَا تَصَدَّقَ
أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ ـ وَلاَ يَقْبَلُ الله إِلاَّ الطَّيِّبَ ـ
إِلاَّ أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِيْنِهِ
“Tidaklah seseorang bersedekah
dengan sedekah dari pendapatan Yang baik (halal) -dan Allah tidak menerima kecuali
yang baik-, melainkan sedekah tersebut diambil Ar-Rahman dengan Tangan-Nya."
Dalam Musnad lmam
Ahmad disebutkan hadits dan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dan Nabi
saw. yang bersabda,
لاَ يَكْتَسِبُ
عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ، فَيُنْفِقُ مِنْهُ ، فَيُبَارَكُ لَهُ فِيْهِ ، وَلاَ
يَتَصَدَّقُ بِهِ ، فَيُتَقَبَّلُ مِنْهُ ، وَلاَ يَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ غِلاًّ
كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ ، إِنَّ الله لاَ يَمْحُوْ السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ
، وَلَكِنْ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالْحَسَنِ ، إِنَّ الْخَبِيْثَ لاَ يَمْحُو الْخَبِيْثَ
“Seorang hamba yang mendapatkan
uang dari yang haram kemudian berinfak dengannya ia tidak akan diberkahi dalamnya,
jika bersedekah dengannya tidak akan diterima darinya, dan apa yang ia tinggalkan
untuk anak keturunannya, itu semua menjadi bekalnya ke neraka. Sesungguhnya
Allah tidak menghapus kesalahan dengan kesalahan, namun menghapus kesalahan
dengan kebaikan. Sesungguhnya keburukan tidak bisa menghapus keburukan. “
Diriwayatkan dan Dinar
dan Ibnu Hujainah dan Abu Hurairah Radhiallahu Anhu bahwa Nabi saw bersabda,
" مَنْ كَسَبَ
مَالاً حَرَاماً فَتَصَدَّقَ بِهِ ، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ ، وَكَانَ إِصْرُهُ
عَلَيْهِ "
“Barang siapa
mendapatkan harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala
di dalamnya dan dosa menjadi miliknya.’
Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban da!am Shahiih-nya.
Hadits tersebut juga diriwayatkan sebagian perawi secara mauquf dari Abu
Hurainah.
Disebutkan dalam
hadits-hadits mursal Al Qasim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"مَنْ أَصَابَ
مَالاً مِنْ مَأْثَمٍ ، فَوَصَلَ بِهِ رَحِمَهُ ، أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ ، أَوْ أَنْفَقَهُ
فِي سَبِيْلِ اللهِ، جَمَعَ اللهُ ذَلِكَ جَمِيْعاً ، ثُمَّ قَذَفَ بِهِ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ "
“Barang siapa mendapatkan harta dan dosa kemudian menyambung
kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya dijalan
Allah, Maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparkannya ke neraka jahanam
dengannya."
Diriwayatkan dan Abu Ad-Darda’ dan Yazid
bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal
kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim
kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.
وَسُئِلَ
ابْنُ عَبَّاسٍ عَمَّنْ كَانَ عَلَى عَمَلٍ ، فَكَانَ يَظْلِمُ وَيَأخُذُ الْحَرَامَ
، ثُمَّ تَابَ ، فَهُوَ يَحُجُّ وَيُعْتِقُ وَيَتَصَدَّقُ مِنْهُ ، فَقَالَ :إِنَّ
الْخَبِيْثَ لاَ يُكَفِّرُ الْخَبِيْثَ
lbnu Abbas raa ditanya orang yang beramal,
namun sebelumnya Ia berbuat dzalim dan mendapatkan harta haram lalu bentaubat. Ia
melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta
tersebut ? Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus
dengan keburukan.”
Ibnu Mas’ud juga berkata,
إِنَّ
الْخَبِيْثَ لاَ يُكَفِّرُ الْخَبِيْثَ ، وَلَكِنِ الطَّيِّبَ يُكَفِِّرُ الْخَبِيْثَ.
“Sesungguhnya
keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang menghapus
keburukan.”
Al Hasan berkata,
أَيُّهَا
الْمُتَصَدِّقُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ يَرْحَمُهُ ، اِرْحَمْ مَنْ قَدْ ظَلَمْتَ .
“Hai
orang yang bersedekah kepada orang miskin karena menyayanginya, sayangilah
orang yang telah engkau dzalimi.”
Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang
haram itu terjadi dalam dua bentuk;
Pertama, pengkhianat, perampas, dan
lain-lain bersedekah dengan uang haram atas namanya sendiri. Inilah yang dimaksudkan
hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi
pahala karena nya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain
tanpa izinnya. Pemilik uang tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena
sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat
sejumlah ulama. di antaranya Ibnu Aqil —sahabat kami—. Dalam buku Abdurrazzaq
disebutkan riwayat Zaid bin Al Akhnas Al Khuzai bahwa ia bertanya kepada Sa’id
bin Al Musayyib, “Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah
dengannya?” Sa’id bin Al Musayyib menjawab, “Engkau dan pemiliknya tidak diberi
pahala.” Bisa jadi yang dimaksudkan Sa’id bin Al Musayyib ialah
orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.
Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya
mengambil uang dari Baitul Mal yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan
budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya
dirasakan manusia, Maka yang diriwayatkan dan Ibnu Umar ialah bahwa ia seperti
perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan
Ibnu Umar kepada Abdullah bin Amir, gubernur Basrah. Menjelang kematiannya,
orang berkumpul di tempat Abdullah bin Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya.
Di sisi lain, Ibnu Umar diam. Abdullah bin Amir meminta Ibnu Umar bicara
kemudian Ibnu Umar meriwayatkan hadits untuk Abdullah bin Amir,
لاَ
يَقْبَلُ اللهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ " ، ثُمَّ قَالَ لَهُ : وَكُنْتَ عَلَى
الْبَصْرَةِ.
“Allah
tidak menerima sedekah dan ghulul (pencurian rampasan perang sebelum dibagi).”
Setelah itu, Ibnu Umar berkata kepada Abdullah bin Amir, “Dan engkau adalah gubernur
Basrah.”18
Asad bin Musa berkata dalam Al Wara Al
Fudhail bin Iyadh berkata kepada kami dan Manshur dan Tamim bin Salamah yang berkata
bahwa Ibnu Amir berkata kepada Abdullah bin Umar, “Bagaimana pendapatamu
tentang anak bukit yang telah kami ratakan dan mata air yang telah kami
pancarkan, apakah kami mendapatkan pahala di dalamnya?” Ibnu Umar berkata,
“Bukankah engkau tahu bahwa keburukan tidak bisa menghapus satu keburukan pun?”
Abdurrahman bin Ziyad berkata kepada kami
dan Abu Malih dan Maimun bin Mihnan yang berkata bahwa Ibnu Umar berkata kepada
Abdullah bin Amir yang bertanya kepadanya tentang pemerdekaan budak, “Perumpamaan
mu ialah seperti orang yang mencuri unta orang yang berhaji kemudian berjihad
dengannya. Cobalah pikirkan, apakah itu diterima darimu?”
Sejumlah orang-orang yang berlebih-lebihan
dalam wara’, seperti Thawus dan Wahib bin Al Ward, tidak mau memanfaatkan apa
saja yang dibuat para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi)
terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja, misalnya masjid,
jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dan harta fa’i terkecuali
jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram misalnya
uang dari bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh
memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu Umar mengecam para gubernur
yang mengambil uang dari Baitul Mal untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka
bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah
dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap
pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab mi.
Abu Al Faraj ibnu Al Jauzi berkata, “Aku
pernah melihat salah seorang ulama generasi dulu ditanya tentang orang yang mendapatkan
uang halal dan haram dari sultan dan raja kemudian ia membangun tempat tempat
wakaf dan masjid, apakah ia mendapatkan pahala? Ulama tersebut berfatwa dengan
fatwa yang mengharuskan kerelaan hati pemberi infak dan bahwa sikap orang tersebut
mewakafkan sesuatu yang bukan miliknya adalah mewakili orang lain, karena ia
tidak tahu para pemilik barang-barang rampasan hingga ia bisa mengembalikan
barang-barang rampasan tersebut kepada mereka.”
Abu Al Faraj ibnu Al-Jauzi berkata lagi,
“Sungguh aneh ulama yang bertugas mengeluarkan fatwa-fatwa tidak mengetahui Prinsip-Prinsip
syariat. Seyogianya ia terlebih dahulu harus mengetahui pemberi infak. Jika ia
sultan, Maka apa saja yang keluar dari Baitul Mal itu alokasi nya telah
diketahui. Oleh karena itu, bagaimana ia bisa melarang orang-orang yang berhak
atas uang Baitul Mal dan malah menggunakannya untuk sesuatu yang tidak ada
gunanya, seperti pembangunan sekolah atau tempat wakaf? Jika pemberi infak tersebut
adalah para gubernur dan pejabat sultan, uang yang wajibkan dikembalikan harus
dikembalikan ke Baitul Mal. Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, Maka semua
penggunaan uang tersebut haram. Untuk seterusnya uang tersebut dikembalikan
kepada pemiliknya atau ahli manisnya. Jika pemilik uang tersebut dan ahli warisnya
tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul Mal dan digunakan untuk kemaslahatan
umum atau sedekah.”
Perkataan Ibnu Al Jauzi tersebut ialah
tentang para sultan yang pada zamannya tidak memberikan hak-hak berupa kepada
para penerima nya, menggunakan dana fa’i untuk diri sendiri seperti layaknya
pemilik dengan membangun sekolah-sekolah atau tempat wakaf dan hal-hal yang tidak
dibutuhkan kemudian di atas namakan kepada mereka, dan hanya memberi salah satu
kelompok tanpa kelompok lainnya. Namun jika misalnya penguasa tersebut penguasa
yang adil yang memberikan hak-hak terhadap fa’i kepada manusia kemudian
dengan dana fa'i tersebut , ia membangun apa saja yang diperlukan mereka
misalnya masjid, sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya, Maka hal tersebut diperbolehkan.
Jika orang yang mengambil dana dan fa’i untuk kepentingan pribadi
membangun bangunan yang ia perlukan saat itu yang diperbolehkan dengan dana
Baitul Mal, namun ia mengatasnamakan pribadi, Maka masalah tersebut masuk
dalam perbedaan pendapat tentang perampas harta orang jika ia mengembalikan
harta yang dirampas nya kepada pemiliknya sebagai sedekah atau hibah; apakah ia
telah terbebas dan dosanya atau belum? Ini semua jika ia membangun sesuai
dengan kebutuhan tanpa berlebihan dan bermegah-megahan. Umar bin Abdul Aziz pernah
menyuruh renovasi Masjid Basrah dan dana Baitul Mal dan melarang penduduk
setempat bertindak melebihi perintahnya.
Umar bin Abdul Aziz berkata,
إِنِّي
لَمْ أَجِدْ لِلْبُنْيَانِ فِي مَالِ اللهِ حَقاً . وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
: لاَ حَاجَةَ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيْمَا أَضَرَّ بِبَيْتِ مَالِهِمْ.
“Aku tidak menemukan pembangunan memiliki hak
terhadap Baitul Mal.” Juga diriwayatkan dan Umar bin Abdul Aziz bahwa ia berkata,
“Kaum Muslimin tidak butuh kepada apa saja yang memberi mudarat kepada
Baitul Mal.”
Ketahuilah, ada ulama yang menjadikan
penggunaan perampas dan lain Iain terhadap uang orang lain itu tergantung pada
izin pemiliknya. Jika pemiliknya mengizinkan perampas menggunakan uang tersebut,
Maka perampas diperbolehkan menggunakannya. Salah seorang dan sahabat kami meriwayatkan
dari Imam Ahmad,
"Bahwa Barangsiapa mengeluarkan zakat
dari uang rampasan kemudian pemilik uang rampasan tersebut mengizinkannya, itu
diperbolehkan dan orang tersebut terbebas dan kewajiban pembayaran zakat."
Ibnu
Abu Musa juga meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa jika seseorang memerdekakan
budak orang lain atas namanya sendiri dan siap menanggung resikonya dengan
uangnya sendiri kemudian pemilik budak tersebut mengizinkannya, itu
diperbolehkan dan pemerdekaan budak telah terlaksana. Riwayat ini bertentangan
dengan nash Imam Ahmad.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hanifah bahwa
jika seseorang merampas kambing milik orang lain kemudian menyembelihnya untuk
pesta pernikahannya dan pemilik kambing mengizinkannya, Maka itu diperbolehkan.
Kedua, penggunaan perampas terhadap
harta yang dirampas nya. Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia
tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan
menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad,
dan lain-lain. Ibnu Abdul Barr berkata bahwa Az-Zuhri, Imam Malik, Ats-Tsauri, Al
Auzai, dan Al Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat sedang
pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima
hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya)
Pendapat yang sama diriwayatkan dan Ubadah
bin Ash-Shamit, Muawiyah, dan Al Hasan Al Bashri. Pendapat tersebut mirip
pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbbas di mana keduanya berpendapat bahwa seseorang
harus bersedekah dengan uang yang ia tidak ketahui siapa pemiliknya. para ulama
juga sepakat tentang pembolehan sedekah dengan luqathah (harta yang ditemukan
di satu tempat) setelah diumumkan kepada khalayak ramai dan pemiliknya tidak
bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak
pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.
Diriwayatkan dan Malik bin Dinar yang berkata
bahwa aku pernah bertanya kepada Atha’ bin Abu Rabah tentang orang yang memegang
harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya?
Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu
sah baginya.” Imam Malik berkata, “Perkataan Atha’ bin Abu Rabah tersebut lebih
aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut .” Sufyan berkata tentang
orang yang membeli sesuatu dari hasil rampasan dari salah satu kaum, “Ia harus
mengembalikannya kepada mereka. Jika ia tidak bisa mengembalikannya kepada
mereka, ia harus menyedekahkan semuanya dan tidak mengambil pokok hartanya.”
Sufyan juga berkata seperti itu tentang orang yang menjual sesuatu kepada orang
yang muamalah dengannya dimakruhkan karena hartanya syubhat. Sufyan berkata, “Orang
tersebut harus bersedekah dengan seperdelapan nya.” Pendapat tersebut ditentang
Ibnu Al Mubarak yang berkata, “Ia bersedekah dengan keuntungannya saja.” Imam Ahmad
berkata, “Ia bersedekah dengan keuntungannya.”
Sufyan juga berkata seperti itu tentang
orang yang mendapat warisan dan ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang
yang muamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan berkata, “Tidak, bersedekah sebesar
keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama diriwayatkan dan sejumlah
sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Yazid Al Anshari.
Pendapat terkenal dan Imam Syafi’i Rahimahullah
tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga
pemi!iknya diketahui.
Tentang orang yang memegang harta haram
dan tidak mengetahui pemiliknya, Al-Fudhail bin Iyadh berpendapat bahwa ia harus
merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al Fudhail
bin Iyadh berkata, “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah kecuali
dengan harta yang halal.” Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan,
karena merusak dan menghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya
selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang
bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya
karena jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub dengan harta haram, namun
sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia
rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia .
Ucapan Abu Hurairah, “Karena ucapan Rasulullah
Shallahu alaihi wa Sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut,
berdebu, dan menengadahkan kedua tangan kelangit, ‘Tuhanku. Tuhanku, “padahal makanannya
haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan haram, bagai
mana doanya dikabulkan? “
Dengan hadits di atas, Nabi saw ingin
menunjukkan etika doa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan
sebab-sebab yang membuat doa tidak terkabul. Dalam hadits di atas, Nabi saw menyebutkan
empat hal yang membuat doa dikabulkan;
Pertama: Lama bepergian. Bepergian
itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti tentang niat pada hadits Abu Hurairah
Rahimahullah Anhu dan Nabi Shallaahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
" ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ
مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ "
“Tiga doa yang dikabulkan
dan tidak ada keraguan di dalamnya; doa orang yang terzhalimi, doa musafir, dan doa ayah untuk anaknya.”
Hadits tersebut diriwayatkan
Abu Daud, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi. Dalam riwayat lain disebutkan, “Doa
keburukan seorang ayah untuk anaknya.”
Perkataan yang semakna
diriwayatkan dan Ibnu Mas’ud.
Jika seseorang lama
bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan, karena dugaan kuat orang tersebut
sebab lama terasing dari negerinya
dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuatnya doa
dikabulkan.
Kedua: Terjadinya
ke-usangàn pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits terkenal dari
Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
"
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِيْ طَمْرَيْنِ ، مَدْفُوْعٌ بِالأَبْوَابِ ، لَوْ أَقْسَمَ
عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ "
“Bisa jadi orang
yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu
tertutup baginya, namun jika Ia bersumpah kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.”
Ketika Nabi saw keluar
rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa ~ beliau keluar dengan pakaian
usang, tawadhu’, dan merendahkan diri.
Keponakan Mutharrif
bin Abdullah dipenjara, kemudian Muthannif bin Abdullah mengenakan pakaian
usang miliknya dan mengambil tongkat dengan tangannya. Ditanyakan kepadanya,
“Kenapa engkau berbuat seperti ini?” Mutharrif bin Abdullah menjawab, “Aku merendahkan
din kepada Tuhanku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk
keponakanku.”
Ketika: Menengadahkan kedua tangan ke
langit. ini termasuk etika doa dan dengan cara seperti itu doa diharapkan
dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salman Radhiallahu Anhu dan
Nabi saw yang bersabda,
"
إِنَّ الله تَعَالَى حَيِيُّ كَرِيْمٌ ، يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ
يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْراً خَائِبَتَيْنِ "
“Sesungguhnya Allah
pemalu dan mulia. Ia malu kalau seseorang menengadahkan kedua tangan
kepada-Nya, namun Dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong tidak
mendapatkan apa-apa.”
Hadits tersebut diriwayatkan Imam
Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits yang semakna diriwayatkan
dan hadits Anas bin MaIik, Jabir, dan lain-lain.
Nabi saw menengadahkan kedua tangan beliau
ketika shalat istisqa’ hingga ketiaka beliau yang putih bersih terlihat. Beliau
juga menengadahkan kedua tangan beliau di Perang Badar guna meminta pertolongan
kepada Allah atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dan kedua pundak beliau.
Beliau juga berbuat seperti itu jika naik
hewan kendanaan.
Sejumlah ulama, di antaranya Al Auzai,
Sa’id bin Abdul Aziz, dan Ishaq bin Rahawth, berpendapat bahwa ketika melakukan
doa qunut dalam shalat, Nabi saw memberi isyarat dengan jari-jari beliau.
Ibnu Abbas dan lain-lain berkata, “Itulah ikhlas dalam doa.” Diriwayatkan dan
Ibnu Sirin yang berkata, “Jika engkau menyanjung Allah, berilah isyarat dengan
salah satu jari.”
Salah seorang generasi salaf berkata,
“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri.”
" إِذَا قَالَ
الْعَبْدُ : يَارَبِّ أَرْبَعاً ، قَالَ الله : لَبَّيْكَ عَبْدِي ، سَلْ تُعْطَهُ
"
"Jika
seorang hamba berkata, ‘Tuhanku sebanyak empat kali ‘Allah berfirman, ‘Aku
penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku, mintalah, niscaya engkau diberi’”
Ath-Thabrani dan lain-lain meriwayatkan
hadits dan Sa’ad bin Kharijah yang berkata,
أَنَّ
قَوْماً شَكَوْا إِلَى النَّبِيِّ r قُحُوْطَ الْمَطَرِ ، فَقَالَ : " اجْثُوْا عَلَى الرَّكْبِ
، وَقُوْلُوْا : يَا رَبِّ يَا رَبِّ " وَرَفَعَ السَّبَابَةَ إِلَى السَّمَاءِ
، فَسُقُوْا حَتَّى أَحِبُّوْا أَنْ يُكْشَفَ عَنْهُمْ
“Salah satu kaum mengatakan
ketiadaan hujan kepada Nabi saw kemudian beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku
dan katakan, ‘Tuhanku, Tuhanku' Rasulullah saw mengangkat
telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka lagi hujan tersebut
dihentikan dari mereka.” (HR Bazzar. Bukhari berkata, ada masalah pada
sanadnya. Abu Hatim berkata, sanadnya mungkar).
Disebutkan dalam Al-Musnad dan lain-lain
hadits dan Al-Fadhl bin Abbas dan Nabi saw yang bersabda,
"الصَّلاَةُ
مَثْنَى مَثْنَى ، وَتَشَهَّدَ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ ، وَتَضَرَّعَ ، وَتَخَشَّعَ
وَتَمَسْكَنَ ،وَتُقْنِعُ يَدَيْكَ ـ يَقُوْلُ : تَرْفَعُهُمَا إِلَى رَبِّكَ مُسْتَقْبِلاً
بِهِمَا وَجْهَكَ ـ وَتَقُوْلُ : يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَهِيَ خدَاجٌ "
“Shalat itu dua-dua,
tasyahud di setiap dua raka‘at, merendahkan diri, khusyu menampakkan kebutuhan),
engkau mengangkat kedua tanganmu —di riwayat lain, engkau mengangkat kedua
tanganmu kepada Tuhanmu dengan menghadapkan keduanya ke wajahmu- dan engkau berkata,
Tuhanku, Tuhanku. ‘Barang siapa tidak berbuat seperti itu, ia tidak sempurna."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Yazid An-Raqasyi berkata dan Anas bin
Malik,
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَقُوْلُ : يَا رَبِّ يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، إِلاَّ قَالَ لَهُ رَبُّهُ
: " لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ " .
“Tidaklah
seorang hamba berkata, ‘Tuhanku, Tuhanku, Tuhanku,’ melainkan Allah benfirman
kepadanya, ‘Aku penuhi panggilanmu, aku penuhi panggilanmu’.”
Diriwayatkan dan Abu Ad-Darda’ dan Ibnu
Abbas bahwa keduanya berkata,
اِسْمُ
اللهِ الأَكْبَرُ رَبِّ رَبِّ
“Nama Allah terbesar
ialah Rabbi (Tuhanku), Rabbi (Tuhanku).” (HR Abu Syaibah dan Hakim
menilainya shahih).
Disebutkan dari Atha’
yang berkata,
مَا
قَالَ عَبْدٌ يَا رَبُّ يَا ربُّ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، إِلاَّ نَظَرَ الله إِلَيْهِ
، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ : أَمَّا تَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ ؟ ثُمَّ
تَلاَ قَوْلَهُ تَعَالَى :
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolongpun.
Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari
kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah
kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul
Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau
tidak menyalahi janji." Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan
mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada
sisi-Nya pahala yang baik."
Barangsiapa mencintai
doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur’an, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut
dimulai dengan kata Rabb (Tuhanku),
Misalnya firman Allah Ta’ala,
"Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka."
Dan apabila dikatakan kepadanya:
"Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. dan
sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya."
"(mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; Karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".
Dan ayat-ayat lainnya
yang banyak sekali di Al Qur ‘an.
Imam Malik dan Sufyan
pernah ditanya tentang orang yang berkata ketika berdoa, “Ya Sayyidi,” kemudian
keduanya menjawab, “Orang tersebut harus berkata, ‘Ya Rabb (Tuhan)’.” Imam
Malik menambahkan, “Itu seperti dikatakan nabi dalam doa-doa mereka.”
Sedang penyebab doa
tidak dikabulkan, Nabi saw mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi
barang haram; baik dalam Makanan, minuman, pakaian, dan membeni Maka nan kepada
orang lain. Tentang hal mi, telah disebutkan hadits Ibnu Abbas dan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda kepada Sa’d bin Abu Waqqash, “Hai Sa‘ad,
hendaklah Makananmu baik, niscaya engkau termasuk orang yang doanya dikabukan. “Dan
sini ini bisa disimpulkan bahwa Maka n sesuatu yang halal, meminumnya,
mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa
dikabulkan.
Ikrimah bin Amman meriwayatkan bahwa Al Ashfar berkata kepadaku
bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abu Waqqash, “Engkau orang yang doanya
dikabulkan di antara sahabat Rasulullah saw.”
Sa’ad
bin Abu Waqqash berkata,
مَا
رَفَعْتُ إِلَى فَمِي لُقْمَةً إِلاَّ وَأنَاَ عَالِمٌ مِنْ أَينَ مَجِيئُها ، وَمِنْ
أَيْنَ خَرَجَتْ .
“Aku
tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan
ke mana makanan tersebut hendak keluar.”
Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih yang berkata,
مَنْ
سَرَّهٍ أَنْ يَسْتجِيْبَ اللهُ دَعْوَتَهُ ، فَليَطْلُبْ طُعْمَتَهُ
“Barangsiapa
ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia Makan Makanan yang baik (halal).”
Diriwayatkan dan Sahl bin Abdullah yang berkata,
مَنْ
أَكَلَ الْحَلاَلَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحاً أجِيْبَتْ دَعْوَتُهُ
“Barangsiapa
Makan Makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan.”
Diriwayatkan dan Yusuf bin Asbath yang
berkata,
بَلَغَنَا
أَنَّ دُعَاءَ اْلعَبْدِ يُحْبَسُ عَنِ السَّمَاوَاتِ بِسُوْءِ الْمَطْعَمِ
“Diberitahukan
kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena Makanan orang
tersebut haram.”
Sabda Nabi saw, “Bagaimana
doanya dikabulkan?” maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa
dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil
kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara
umum. Dan sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya
kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak tenkabulnya doa. Bisa jadi, ada
sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal
yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti
dijelaskan di hadits bahwa tidak melakukan amar maruf dan nahi mungkar menyebabkan
doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa
terkabul. Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke gua kemudian
gua tersebut tertutup oleh batu, bertawassul dengan amal shalih yang
mereka niatkan karena Allah dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian
doa mereka dikabulkan.
Wahb bin Munabbin berkata,
“Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah
tanpa anak parah.” Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih yang berkata, “Amal
shalih membuat doa sampai (kepada Allah).” Kemudian Wahb bin Munabbih membaca
Firman Allah Ta’ala,
“Kepada-Nya naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shahih dinaikkan-Nya. “(Fathir:
10).
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata,
“Dengan sikap wara’ (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah menerima
doa dan tasbih.”
Abu Dzar Radhiyallahu Anhu berkata,
“Doa terasa pas dengan perbuatan baik sebagaimana Maka nan terasa pas dengan garam.”
Muhammad bin Wasi’ berkata, “Doa terasa
pas dengan sikap sedikit wara’.”
Dikatakan kepada Sufyan, “Bagaimana kalau engkau
berdoa kepada Allah?” Sufyan berkata, “Sesungguhnya meninggalkan dosa-dosa adalah
doa.”
Laits berkata bahwa Nabi Musa Alaihis-Salam
melihat seseorang menengadahkan kedua tangannya bendoa kepada Allah dengan
serius kemudian Nabi Musa berkata, “Tuhanku, hamba-Mu berdoa kepada-Mu agar Engkau
merahmatinya, karena Engkau Dzat yang paling PenyaYang. Apa yang Engkau perbuat
untuk memenuhi kebutuhan hamba tersebut?” Allah Ta’ala benfirman, “Hai
Musa, jika seandainya hamba tersebut menengadahkan tangan hingga selesai, Aku
tidak akan melihat kebutuhannya hingga ia memperhatikan hak-Ku.”
Malik bin Dinar berkata, “Bani Israil
mendapat musibah kemudian mereka keluar ke salah satu jalan. Allah Ta’ala memberi
wahyu kepada Nabi-Nya agar beliau memberi tahu mereka, ‘Kalian keluar ke Ash-Shaid
dengan badan kotor dan menengadahkan tangan kepada-Ku, padahal sebelum ini kalian
menumpahkan darah dan memenuhi rumah kalian dengan hal-hal haram dengan
tangan-tangan kalian? Sekarang Aku sangat munka kepada kalian dan kalian
semakin bertambah jauh dari-Ku’.” Salah seorang dan generasi salaf berkata,
لاَ
تَسْتَبْطِئ الإجَابَةَ ، وَقَدْ سُدِّدَتْ طُرُقُهَا بِالْمَعَاصِي
“Engkau
jangan meminta percepatan pengabulan doa, karena engkau telah menutup
jalan-jalannya dengan maksiat.”
Salah seorang penyair mengambil makna ini
kemudian melantunkan syairnya,
“Kami
berdoa kepada Allah di setiap petaka
Kermudian
kami lupa kepada-Nya ketika petaka telah sirma
Bagaimana
kami mengharapkan pengabulan doa
Padahal
kami telah menutup jalan-jalannya dengan dosa-dosa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar