HADITS
KEDUA BELAS
" عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: " مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
" حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا " .
Dari
Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda,
‘Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah
ia meninggalkan apa saja Yang tidak penting baginya. “(Diriwayatkan At Tirmidzi
dan lain-lain).[1]
Hadits di atas di riwayatkan
At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari riwayat Al Khuzai dari Qurnah bin Abdurrahman
dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. At Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut
gharib. “Namun hadits tersebut dihasankan Syaikh An-Nawawi, karena para perawinya
adalah para perawi tepercaya. Qurrah bin Abdurrahman bin Huyawail dianggap
sebagai perawi tepercaya oleh salah satu kelompok dan dianggap dhaif oleh
kelompok lainnya. lbnu Abdul Barr berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan
dari Az-Zuhri dengan sanad seperti itu dan riwayat para perawi tepercaya.”
ini sesuai dengan penghasanan hadits tersebut oleh Syaikh An-Nawawi.
Sedang sebagian besar
imam, mereka berkata, “Hadits tersebut tidak diriwayatkan dengan sanad seperti
itu, namun diriwayatkan dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari Nabi saw secara
mursal. Hadits tersebut juga diriwayatkan sejumlah perawi tepercaya dari
Az-Zuhri, misalnya Imam Malik di Al Muwaththa[2], Yunus,
Ma’mar, dan Ibrahim bin Sa’ad. Namun Ibrahim bin Sa’ad berkata bahwa hadits
tersebut berbunyi,
" وقوله r: " من حُسن إسلام المرء تركُهُ ما لا يعنيه
“Di antara
keimanan seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.”
Di antara ulama yang berkata bahwa hadits
tersebut tidak shahih kecuali dari Ali bin Husain secara mursal ialah Imam
Ahmad, Yahya bin Ma’in, Al Bukhari, dan Ad-Daruquthni. Para
perawi dhaif keliru besar mensanadkan hadits tersebut pada Az-Zuhri. Yang
benar hadits tersebut mursal.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdullah
bin Umar Al Amri dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari ayahnya dari Nabi saw. Abdullah bin Umar Al Amri
menyambungkan sanad hadits tersebut dan menjadikannya salah satu dari
Musnad Al Husain bin Ali.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Imam Ahmad di Musnad-nya[3]
dari jalur seperti di atas. Abdullah bin Umar Al Amri bukan hafidz
hadits. Imam Ahmad [4]juga
meriwayatkan hadits di atas dari jalur lain dari Al Husain dari Nabi saw, namun
hadits tersebut di-dhaifkan Al Bukhari di Tarikh-nya dari jalur
tersebut. Al Bukhari berkata, “Hadits tersebut tidak shahih kecuali dari Ali
bin Husain secara mursal.“ Hadits di atas juga diriwayatkan dari Nabi saw
dari banyak jalur, namun semuanya dhaif.
Hadits bab di atas adalah salah satu prinsip
etika yang agung. Imam Abu Amr bin Ash-Shalah meriwayatkan dari Abu Muhammad
bin Abu Zaid, imam sahabat-sahabat Imam Malik pada zamannya, yang berkata, “Puncak
etika kebaikan bermuara dari empat hadits;
1.
Sabda Nabi saw,
"
من كان يُؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمُت
‘Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir
hendaklah ia berkata dengan baik atau hendaklah ia diam.’
2.
Sabda Nabi saw,
"
من حُسن إسلام المرء تركُهُ ما لا يعنيه
‘Di antara kebaikan keislaman
seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.’
3.
Sabda Nabi saw kepada orang yang beliau
bersabda kepadanya dengan ringkas, ‘Engkau jangan marah.’
4.
Sabda Nabi saw,
: " المؤمن
يُحبُّ لأخيه ما يُحبُّ لنفسه"
‘Orang Mukmin
mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”
Makna hadits bab di atas ialah bahwa di
antara bentuk kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan
perbuatan yang tidak penting baginya. Pengertian kata ya’nihi di hadits
tersebut ialah perhatiannya (inayah) tertuju kepadanya, kemudian sesuatu
tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Inayah ialah perhatian ekstra
terhadap sesuatu. Orang tersebut meninggalkan sesuatu yang tidak penting
baginya dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan tuntutan
jiwa, namun karena pertimbangan syariat dan Islam. Oleh karena itu, Nabi saw
menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya. Jadi, jika
keislaman seseorang baik, ia meninggalkan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan
yang tidak penting baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang
mengerjakan kewajibaan-kewajibaan seperti telah dijelaskan pada hadits Jibril Alaihis
Salam.
Meninggalkan
hal-hal yang diharamkan juga masuk dalam keislaman yang sempurna dan terpuji, seperti
disabdakan Nabi saw,
قال
r : " المسلمُ
من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Orang
Muslim ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”
Jadi, jika
keislaman seseorang baik, ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya;
baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal
mubah yang berlebihan yang tidak ia butuhkan, karena itu semua tidak penting
bagi orang Muslim jika keislamannya telah baik dan mencapai tingkatan ihsan
yang tidak lain ialah ia menyembah Allah seolah-olah melihat Nya dan jika ia
tidak bisa melihat Nya Maka Allah melihatnya. Jadi, Barangsiapa menyembah Allah
dengan mengingat kedekatan Allah dan penglihatan kepada-Nya dengan hatinya, sungguh
keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak
penting baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang penting
baginya. Kedua sifat tersebut menghasilkan sifat malu kepada Allah dan meninggalkan
apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya, sebagaimana diwasiatkan Nabi saw kepada
seseorang agar ia malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada salah seorang dari
keluarganya yang baik yang tidak pernah berpisah darinya. Di Al Musnad dari At Tirmidzi disebutkan
hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra dari
Nabi saw yang bersabda,
. وفي " المسند " والترمذي عن ابن مسعود مرفوعاً :
" الاستحياء من الله تعالى أن تحفظ الرأس وما حوى ، وتحفظ البطن وما وعى ،
ولتذكر الموت والبلى ، فمن فعل ذلك ، فقد استحيى من الله حقَّ الحياء" ([5]).
‘Malu
kepada Allah Ta’ala ialah engkau menjaga kepala dan apa saja yang dikandungnya,
perut dan apa saja yang di muatnya, ingat mati dan musibah. Barang siapa
berbuat seperti itu, sungguh ia malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya. “[6]
Salah seorang dari generasi salaf berkata,
استحي من الهل على
قدر قربه منك ، وخف الله على قدر قدرته عليك .
“Malulah kepada Allah sesuai dengan
kedekatan Dia kepadamu dan takutlah kepada-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya
terhadapmu.”
Salah seorang arif berkata,
وقال بعضً العارفين : إذا تكلمتَ ،
فاذكُر سَمعَ الله لك ، وإذا سكتَّ ، فاذكر نظره إليك
“Jika engku berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika
engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu.”
Hal ini diisyaratkan Al Qur’an di banyak
tempat, misalnya firman Allah Ta’ala,
ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به
نفسه ونحن أقربُ إليه من حبل الوريد % إذا يتلقى المتلقيان عن اليمين وعن الشمال قعيد % ما يلفظ من قول
إلا لديه رقيب عتيد
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu)ketika
dua malaikat mencatat amal perbuatannya; satu duduk disebelahnya dan yang lain duduk
disebelah kiri. Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya
terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf: 16-18).
Atau firman Allah Ta’ala,
وما تكون في شأن وما تتلُو منه من قُرآن
ولا تعملون من عمل إلا كنا عليكم شهوداً إذا تُفيضون فيه وما يعزُبُ عن ربك من
مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين
“Engkau tidak berada dalam suatu keadaan dan
tidak membaca suatu ayat dari Al Qur‘an dan engkau tidak mengerjakan suatu pekerjaan,
melainkan Kami menjadi saksi atasmu pada waktu engkau melakukannya; tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi atau di langit.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) di kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). “(Yunus: 61).
Atau seperti firman Allah
Ta’ala,
أم
يحسبون أنَّا لا نَسمعُ سِرَّهُم ونَجواهم ، بلى ورُسُلنا لَدَيهم يكتُبون
“Apakah mereka kira
Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami
mendengar) da utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat disisi mereka.
“(Az-Zukhruf: 80).
Sesuatu tidak penting
yang paling sering diinginkan orang Muslim untuk ia tinggalkan ialah perkataan
yang tidak berguna seperti diisyaratkan permulaan surat Qaaf. Di Al Musnad disebutkan hadits
dari Al Husain dari Nabi saw yang bersabda,
وفي " المسند " من حديث الحسين
، عن النبي r قال : " إنَّ
من حُسن إسلام المرء قِلَّة الكلام فيما لا يعنيه " ([7]).
“Sesungguhnya di antara
kebaikan keislaman seseorang ialah sedikit mengatakan sesuatu yang tidak
penting baginya.’[8]
A1-Kharaithi
meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata,
وخرَّج الخرائطي ([9])
من حديث ابن مسعود قال : أتى النبي r رجل ، فقال : يا رسول الله إني مطاعٌ في قومي فما آمرهم ؟ قال له
: " مُرُهُم بإفشاء السلام ، وقلة الكلام إلا فيما يعنيهم ".
“Seseorang datang kepada Nabi saw kemudian
berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ditaati di kaumku, apa yang mesti aku
perintahkan kepada mereka?’Nabi saw bersabda kepada orang tersebut,‘Perintahkan
mereka menyebarkan salam dan sedikit bicara kecuali dalam hal-hal yang penting
bagi mereka ‘[10]
Dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan
hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda,
وفي " صحيح ابن حبان " ([11])
عن أبي ذرِّ عن النبي r قال : " كان في صحاف إبراهيم عليه الصلاة والسلام : وعلى
العاقل ما لم يكن مغلوباً على عقله أن تكونَ له ساعات : ساعةٌ يُناجي فيها ربَّه
،وساعة يُحاسبُ فيها نفسه ، وساعةٌ يتفكر فيها في صنع الله ، وساعة يخلو فيها
لحاجته من المطعم والمشرب ، وعلى العاقل أن لا يكون ظاعناً إلا لثلاث : تزوُّد
لمعاد ، أو مَرَمَّة لمعاش ، أو لذَّة في غير محرَّم ؛ وعلى العاقل أن يكون بصيراً
بزمانه ، مقبلاً على شأنه ، حافظاً للسانه ، ومن حسب كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه
إلا فيما يعنيه " .
“Di
shuhuf-shuhuf Ibrahim as tertulis, ‘Orang berakal selama akalnya tidak dikalahkan
wajib mempunyai waktu-waktu; waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu
untuk mengevaluasi dirinya, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah, dan waktu
yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya; makanan dan minuman. Orang berakal
wajib tidak beranjak kecuali untuk tiga hal; mencari bekal untuk Hari Akhir, atau
memperbaiki kehidupannya, atau mencari kenikmatan pada hal-hal yang tidak diharamkan.
Orang berakal wajib melihat waktunya, menangani urusannya, dan menjaga
lidahnya. Barangsiapa membandingkan antara ucapannya dan amal perbuatannya, ia
sedikit bicara kecuali terhadap hal-hal yang penting baginya.”[12]
Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata,
وقال
عمر بن عبد العزيز رحمه الله : من عدَّ كلامه من عمله ، قل كلامُه إلا فيما يعنيه
.وهو كما قال ، فإن كثيراً من الناس لا يعدُّ كلامَه من عمله ، فيُجازف فيه ، ولا
يتحرَّى ،
“Barangsiapa membandingkan antara
ucapannya dan amal perbuatannya, niscaya ucapannya sedikit kecuali dalam
hal-hal yang penting baginya.” Begitulah kurang lebih ucapan beliau. Banyak
manusia tidak membandingkan antara ucapannya dengan amal perbuatannya, akibatnya,
ia bicara ngawur dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui Muadz bin
Jabal ra ketika ia bertanya kepada Nabi saw,
وقد خَفِيَ هذا على
معاذ بن جبل حتى سأل عنه النبي r فقال : أنؤاخذ بما نتكلمُ به ؟ قال : " ثكلتكَ أُمُّك يا
معاذ ، وهل يكبُّ الناسَ على مناخرهم في النار إلا حصائد ألسنتهم ؟" ([13]).
“Apakah kita juga akan dihukum karena apa
yang kita katakan?” Nabi saw bersabda, “Semoga ibumu kehilangan Anda, tidak
ada yang membuat manusia terjungkir di neraka, melainkan karena hasil lidah
mereka.”[14]
Allah Ta’ala menegaskan tidak
adanya kebaikan di seluruh bisikan manusia sesama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
لا خير في كثير من
نجواهُم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس
“Tidak ada kebaikan
dikebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan pendamaian
Di antara manusia. “(An-Nisa’: 114).
At Tirmidzi
dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ummu Habibah ra dari Nabi saw yang
bersabda,
وخرَّج الترمذي ، وابن
ماجه من حديث أمِّ حبيبة ، عن النبي r قال : " كلُّ كلام ابن آدم عليه لا له إلا الأمرَ بالمعروف
والنهي عن المنكر ، وذكر الله عز وجلَّ"([15])
“Seluruh
perkataan anak keturunan Adam atasnya (dicatat sebagai keburukan) dan bukan
untuknya (dicatat sebagai kebaikan) kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan zikir kepada
Allah Azza wa Jalla.”[16]
Salah satu kaum menunjukkan keheranannya dengan
hadits di atas kepada Sufyan, kemudian Sufyan berkata kepada mereka, “Kalian
merasa heran dengan hadits ini? Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Tidak
ada kebaikan di kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. ‘(An-Nisa’: 114). Bukankah Allah Ta’la juga telah berfirman, ‘Pada hari
ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf mereka tidak bicara kecuali
siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan
kata yang benar ‘(An-Naba’: 38).”
At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Anas
bin Malik ra yang berkata,
وخرَّج الترمذي من حديث أنس قال :
تُوفِّيَ رجُلٌ من أصحابه ـ يعني النبي r ـ فقال رجل يعني : أبشر بالجنة ، فقال رسولُ الله r : " أولا
تدري ، فلعلُه تكلَّم بما لا يعنيه أو بَخِلَ بما لا يُغنيه
“Salah
seorang sahabat Nabi saw wafat kemudian seseorang berkata, ‘Bergembirah ia
dengan surga.‘ Rasulullah saw bersabda, ‘tidakkah engkau tidak
tahu, barangkali orang yang meninggal ini pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting
baginya atau ia bakhil dengan sesuatu yang tidak ia butuhkan.’ “[17]
Hadits yang semakna diriwayatkan dari Nabi
saw dari banyak jalur. Di sebagian jalur disebutkan bahwa orang tersebut
mati syahid. Abu Al Qasim Al Bagawi meriwayatkan di Mu’jam-nya hadits dari
Syihab bin Malik yang datang kepada Nabi saw bahwa seorang wanita
berkata kepada Nabi saw,
وخرَّج أبو القاسم البغوي في "
معجمه " من حديث شهاب بن مالك وكان وفَدَ على النبيِّ r أنه سَمعَ النبي r وقالت له امرأة : يا رسول الله الا تُسلمُ علينا ؟ فقال : "
إنك من قبيل يُقَلِّلن الكثيرَ وتمنع ما لا يُغنيها ، وتسأل عما لا يعنيها
‘Wahai
Rasulullah, kenapa engkau tidak mengucapkan salam kepada kami?” Nabi saw
bersabda, “Engkau termasuk wanita -wanita yang menyedikitkan sesuatu yang
banyak, menolak memberikan sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan bertanya tentang
sesuatu yang tidak penting baginya.”[18]
Al Uqaili meriwayatkan hadits dari Abu
Hunairah ra dari Nabi saw yang bersabda,
وخرَّج العقيلي من
حديث أبي هريرة مرفوعاً : " أكثر الناس ذنوباً أكثرُهُم كلاماً فيما لا يعنيه
“Orang yang
paling banyak dosanya ialah orang yang paling banyak bicara dalam hal-hal yang
tidak penting baginya.”[19]
Amr bin Qais Al Malai berkata,
قال عمرو بنُ قيس الملائي : مرَّ رجلٌ
بلقمان والناس عندَه ، فقال له : ألست عبدَ بني فلان ؟
قال : بلى ، قال : الذي
كنت ترعى عند جبل كذا وكذا ؟ قال : بلى ، قال : فما بلغ بك ما أرى ؟ قال : صِدقُ
الحديث وطولُ السكوت عما لا يعنيني .
“Seseorang berjalan
melewati Luqman yang ketika itu sedang bersama orang-orang, kemudian Luqman
berkata kepada orang tersebut, ‘Bukankah engkau budak si Fulan?’ Orang tersebut
menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata kepada orang tersebut , ‘Engkau menggembalà
di gunung ini dan itu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata, ‘Apa
yang menyebabkan engkau menjadi orang seperti yang aku lihat?’ Orang tersebut
berkata, ‘Berkata dengan benar dan banyak diam terhadap apa saja yang tidak
penting bagiku’.”
Wahb bin Munabih berkata,
وقال وهبُ بنُ مُنبه : كان في بني
إسرائيل رجلان بلغت بهما عبادتهما أن مشيا على الماء ، فبينما هما يمشيان في البحر
إذا هما برجل يمشي على الهواء ، فقالا له : يا عبدَ الله بأيِّ شيء أدركت هذه
المنزلة ؟ قال : بيسير من الدُّنيا : فطمتُ نفسي عن الشهوات ، وكففتُ لساني عما لا
يعنيني ، ورغبت فيما دعاني إليه ، ولزمت الصمت ، فإن أقسمت على الله أبرَّ قسمي ،
وإن سأتله أعطاني .
“Di Bani Israil terdapat dua orang yang
ibadah keduanya sampai puncak hingga keduanya bisa berjalan di atas air. Ketika
keduanya sedang berjalan di atas laut, tiba-tiba keduanya melihat seseorang
berjalan di udara kemudian keduanya berkata kepada orang tersebut , ‘Hai hamba
Allah, dengan apa engkau bisa mencapai kedudukan seperti ini?’ Orang yang berjalan
di udara tersebut menjawab, ‘Dengan sesuatu yang sedikit dari dunia ini; aku
menyapih diriku dari seluruh syahwat, menjaga lidahku dari apa saja yang tidak
penting bagiku, senang kepada apa saja yang diserukan kepadaku, dan selalu
diam. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, Dia mengabulkannya. Jika aku meminta
sesuatu kepada-Nya, Dia memberiku’.”
Beberapa orang masuk ke salah seorang
sahabat Nabi saw yang sakit namun wajahnya berseri-seri. Mereka bertanya
kepada sahabat tersebut penyebab wajahnya berseri-seri seperti itu?
Sahabat tersebut menjawab,
فقال : ما مِنْ عمل أوثقَ عندي من خصلتين
: كنت لا أتكلم فيما لا يعنيني ، وكان قلبي سليماً للمسلمين .
“Tidak
ada amal perbuatan yang lebih kuat bagiku daripada dua hal; aku tidak bicara di
dalam hal-hal yang tidak penting bagiku dan hatiku ridha kepada kaum Muslimin.”
Muwarriq Al Ajli berkata, “Ada sesuatu yang aku cari,
namun sudah sekian tahun aku tidak menemukannya, namun terus akan mencarinya
tidak putus asa.” Orang-orang bertanya, “Apa sesuatu tersebut ?” Muwarriq Al
Ajli berkata, “
الكفُّ عما لا يعنيني
Menahan diri dari apa saja yang tidak penting bagiku.” (Diriwayatkan
Ibnu Abu Ad-Dunya).
Asad bin Musa meriwayatkan, Abu Ma’syar
berkata kepadaku dari Muhammad bin Ka’ab yang berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda,
وروى أسدُ بن موسى ، حدثنا أبو معشر ، عن
محمد بن كعب قال : قال رسولُ الله r: " أوَّل من يَدخُلُ عليكم رَجُلٌ من أهل الجنة " فدخل
عبدُ الله بن سلام ، فقامَ إليه ناسُ ، فأخبروه ، وقالوا : أخبرنا بأوثق عملِك في
نفسك ، قال : إنَّ عملي لضعيف ، أوثقُ ما أرجو به سلامة الصدر ، وتركي ما لا
يعنيني ([20]).
“Orang yang pertama kali mendatangi kalian
ialah seseorang dari penghuni surga.“ Setelah itu, datanglah Abdullah bin
Salam lalu orang-orang mendekat kepadanya dan menceritakan sabda Nabi saw
tersebut kepadanya. Mereka berkata, “Ceritakan kepada kami tentang amal
perbuatanmu yang paling kuat dalam dirimu. “Abdullah bin Salam berkata, ‘Amal
perbuatanku lemah, namun sesuatu terkuat yang aku harapkan ialah lapang dada
dan aku bisa meninggalkan apa saja yang tidak penting bagiku.’[21]
Abu Ubaidah meriwayatkan dari Al Hasan
yang berkata,
وروى أبو عبيدة ، عن الحسن قال : مِنْ
علامة إعراض الله تعالى عن العبد أن يجعل شغله فيما لا يعنيه
“Di
antara bukti Allah Ta’la berpaling dari seorang hamba ialah Allah menyibukkan
orang tersebut pada hal-hal yang tidak penting baginya sebagai bentuk
penghinaan dari-Nya.”
Sahl bin Abdullah At Tusturi berkata,
.قال سهل بنُ عبد الله التُّستري : من تكلم فيما لا يعنيه ، حُرِمَ
الصدق
“Barangsiapa mengatakan hal-hal yang
tidak penting baginya, ia terhalang dari kebenaran.”
Ma’ruf berkata,
، وقال معروف : كلام العبد فيما لا يعنيه خذلان من الله عزَّ وجلَّ
.
“Perkataan
seorang hamba terhadap sesuatu yang tidak penting baginya adalah penghinaan dari
Allah Azza wa Jalla kepada dirinya.”
Hadits bab di atas menunjukkan bahwa
meninggalkan hal-hal yang tidak penting adalah bukti keislaman orang tersebut
baik. Jika ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya dan mengerjakan
hal-hal yang penting baginya, sungguh kebaikan keislamannya telah sempurna.
Banyak sekali hadits tentang keutamaan orang yang keislamannya baik, kebaikan-kebaikan
pelakunya dilipat gandakan, dan kesalahan-kesalahannya dihapus. Kelihatannya, banyaknya
pelipatgandaan kebaikan itu sangat ditentukan baik tidaknya keislaman
seseorang. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra
dari Nabi saw yang bersabda,
، ففي صحيح مسلم ([22])
عن أبي هريرة عن النبي r قال : " إذا أحسن أحدُكُم إسلامَهُ ، فكُلُّ حَسَنةٍ يعملُها
تُكتَبُ بعَشر أمثالها إلى سبع مئة ضعف ، وكلُّ سيئة يعملها تُكتَبُ بمثلها حتَّى
يَلقى الله عزَّ وجلَّ
‘Jika
salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang
ia kerjakan ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat dan setiap
kesalahan yang dilakukannya ditulis dengan kesalahan yang sama hingga ia
bertemu Allah Azza wa Jalla.’[23]
Satu kebaikan dilipatkan hingga sepuluh
kali lipat adalah suatu keniscayaan. Pelipatgandaan kebaikan tersebut sangat
terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan
kepada amal perbuatan tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk
jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.
Hal ini diperkuat riwayat dari Athiyah dari Ibnu Umar yang berkata, “Ayat
berikut turun,
من جاء بالحسنة فلهُ عشرُ أمثالها
‘Barangsiapa
membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, ‘(Al
An’am: 160)
diturunkan
tentang orang-orang Arab Badui.” Ditanyakan kepada Ibnu Umar, “Apa yang
didapatkan kaum Muhajirin?” Ibnu Umar menjawab, “Mereka mendapatkan yang lebih
banyak lagi.”
Setelah itu, Ibnu
Umar membaca firman Allah Ta’ala,
} وإنْ تك حسنة
يُضاعفها ويؤت من لدنه أجراً عظيماً
‘Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya
Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar
“ (An-Nisa’: 40).
An-Nasai
meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra dari Nabi saw yang
bersabda,
وخرَّج النسائي ([24])
من حديث أبي سعيد ، عن النبي r قال : " إذا أسلم العبدُ فحَسُن إسلامُهُ ، كَتَبَ الله له
كُلَّ حسنةٍ كان أزلفها ، ومُحيتْ عنه كُلُّ سيئة كان أزلفها ، ثم كان بعد ذلك
القصاص ، الحسنةُ بعشر أمثالها إلى سبع مئة ضعف ، والسَّيِّئةُ بمثلها إلا أن
يتجاوز الله " ، وفي رواية أخرى : " وقيل له : ائتنف العمل
‘Jika
seorang hamba masuk Islam kemudian kelslamannya baik, baginya Allah menulis
setiap kebaikan yang ia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang ia
kumpulkan. Setelah itu, yang terjadi ialah qishas; satu kebaikan dilipatgandakan
dengan sepuluh kali lipat dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus lipat dan
satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama kecuali jika Allah
memaafkannya.”[25]
Yang
dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas
ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan bahwa
seseorang diberi pahala karena kebaikan-kebaikannya sebelum Islam jika ia
masuk Islam dan kesalahan-kesalahannya dihapus darinya jika ia masuk Islam, namun
dengan syarat keislamannya baik dan menjauhi kesalahan-kesalahan tersebut pasca
keislamannya. Ini ditegaskan Imam Ahmad. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah
hadits dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim dan Ibnu Mas’ud ra yang berkata, kami berkata,
في " الصحيحين
" ([26])
عن ابن مسعود قال : قلنا : يا رسول الله أنؤاخذ بما عملنا في الجاهلية ؟ قال :
" أما مَنْ أحسَنَ منكم في الإسلام فلا يُؤاخذُ بها ، ومن أساءَ أُخِذَ بعمله
في الجاهلية والإسلام
“Wahai Rasulullah,
apakah kami dihukum karena apa yang kami kerjakan pada masa jahiliyah?”Nabi saw
bersabda, “Barang siapa diantara kalian berbuat baik dimasa Islam, ia tidak
dihukum karena kesalahan yang ia kerjakan sebelum Islam. Dan Barangsiapa
berbuat tidak baik, ia dihukum karena perbuatannya pada masa jahiliyah dan masa
Islam.”[27]
Dalam Shahih
Muslim disebutkan hadits dari Amr bin Al Ash yang berkata kepada Nabi saw ketika
ia masuk Islam,
وفي " صحيح مسلم
" ([28])
عن عمرو بن العاص قال للنبي r لما أسلم : أريدُ أن أشتَرطَ ، قال : " تشترط ماذا ؟ "
قلتُ : أن يُغفَرَ لي ، قال : " أما عَلمتَ أن الإسلام يهدمُ ما كان قبله
“Aku
ingin membuat persyaratan.“ Nabi saw berkata, “Engkau
mensyaratkan apa?”Aku menjawab, “Aku diampuni. “Nabi saw bersabda, “Tidakkah
engkau tahu bahwa Islam menghapus apa saja sebelum Islam.”
Hadits
tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dan teksnya ialah,
إن الإسلام
يَحُبُّ ما كان قبله من الذنوب
“Sesungguhnya
Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya.”
Itu dengan
asumsi Islam yang sempurna dan baik menurut hadits tersebut dan hadits lbnu
Mas’ud sebelumnya. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Hakim bin
Hizam yang berkata,
وفي صحيح مسلم ([29])
أيضاً عن حكيم بن حزام قال : قلتُ : يا رسول الله أرأيت أموراً كنت أصنعها في
الجاهلية من صدقة أو عتاقة أو صلة رحم ، أفيها أجرٌ؟ فقال رسولُ الله r : " أسلمت
على ما أسلفت من خير " وفي رواية له : قال : فقلتُ : والله لا أدعُ شيئاً
صنعتُه في الجاهلية إلا صنعتُ في الإسلام مثله ، وهذا يدلٌ على أن حسنات الكافر
إذا أسلم يُثابُ عليها كما دلَّ عليه حديث أبي سعيد المتقدِّم ([30]).
“Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang aku kerjakan pada masa
jahiliyah, misalnya sedekah, memerdekakan budak, atau silaturahim, apakah aku
mendapatkan pahala di dalamnya?” Rasulullah saw bersabda, “Engkau masuk Islam
dengan kebaikan yang telah engkau lakukan.” Di riwayat lain disebutkan, “Aku
(Hakim bin Hizam) berkata, ‘Demi Allah, aku tidak meninggalkan apa pun yang
pernah aku kerjakan pada masa jahiliyah melainkan aku mengerjakan semisalnya
pada masa Islam.”
Ini menunjukkan
bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir jika ia masuk Islam itu diberi pahala
seperti ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan
orang kafir diganti dengan kebaikan-kebaikan dan diberi pahala berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
والذين لا يَدْعُونَ
مع الله إلهاً آخر ولا يقتلون النفس التي حرم الله إلا بالحق ولا يزنون ومن يفعل
ذلك يلق أثاماً يُضاعف له العذابُ يوم القيامة ويخلُد فيه مهاناً . إلا من تاب
وآمن وعمل عملاً صالحاً فأولئك يُبدِّلُ الله سيئاتهم حسنات
‘Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan
yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina; Barangsiapa
melakukan yang demikian, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa. Akan dilipatgandakan
adzab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam
keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan
amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan: 68-70).
Para
pakar tafsir berbeda pendapat mengenai penggantian tersebut. Ada dua penafsiran dalam hal ini;
1. Ada yang mengatakan bahwa
penggantian tersebut terjadi di dunia dalam arti Allah mengganti kekafiran dan
kemaksiatan orang yang masuk Islam dan bertaubat kepada-Nya dengan iman dan
amal shalih. Penafsiran ini diriwayatkan Ibrahim Al Harbi di Gharibul Hadits
dari sebagian besar pakar tafsir, di antaranya Ibnu Abbas, Atha’, Qatadah, As-Sudi,
dan Ikrimah. Saya katakan, penafsiran ini juga berasal dari Al Hasan. Ada yang mengatakan bahwa
Al Hasan, Abu Malik, dan lain-lain berkata, “Penggantian tersebut secara
khusus terjadi pada orang-orang musyrik dan tidak terjadi pada orang-orang
Islam.” Saya katakan, ucapan ini benar dengan syarat bahwa penggantian
tersebut terjadi di akhirat seperti akan disebutkan. Jika dikatakan bahwa
penggantian tersebut terjadi di dunia , orang kafir yang masuk Islam dan orang
Muslim yang bentaubat itu sama saja, bahkan jika orang Muslim bertaubat, ia
lebih baik daripada orang kafir jika masuk Islam.
2.
Ulama lain berkata bahwa penggantian tersebut terjadi
di akhirat. Makna ayat itu bahwa Aku (Allah) mengganti setiap kesalahan dengan
kebaikan untuk mereka. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Amr
bin Maimun, Makhul, Sa’id bin Al
Musayyib, dan Ali bin Al Husain. Al Harbi berkata, “Pendapat ini
ditentang Abu Al Aliyah, Mujahid, dan Khalid Sablan, karena memang di pendapat
kedua ini terdapat alasan untuk menolaknya.” Setelah itu, Al Harbi
menyebutkan pendapatnya yang kesimpulannya bahwa pendapat kedua mengharuskan
orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada orang yang sedikit
kesalahannya, karena setiap kesalahan diganti dengan kebaikan. Kata Al Harbi, jika
orang berkata sesungguhnya Allah menyebutkan bahwa Dia mengganti
kesalahan-kesalahan dengan kebaikan-kebaikan tanpa menyebutkan jumlah
bagaimana kesalahan-kesalahan tersebut diganti dengan kebaikan-kebaikan. Maka
makna penggantian berarti barangsiapa mengerjakan satu kesalahan dan bertaubat
darinya maka kesalahannya diganti dengan seratus ribu kebaikan dan barangsiapa
mengerjakan seribu kesalahan maka seribu kesalahannya diganti dengan seribu kebaikan.
Jika makna pendapat tersebut seperti itu, tentu orang yang sedikit kesalahannya
itu lebih baik.
Saya katakan, pendapat
kedua ditentang Abu Al Aliyah. Abu Al Aliyah membaca firman Allah Ta’ala,
“Pada hari ketika
tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu
(juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia
dengan hari itu ada masa yang jauh. “(Ali Imran: 30).
Pendapat kedua juga
ditentang ulama lain dengan berpatokan kepada firman Allah Ta’la,
‘Dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya.“
(Az-Zalzalah: 8).
Dan berpatokan kepada
firman Allah Ta’ala,
‘Dan diletakkanlah kitab
lalu kamu lihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis)
didalamnya dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya, ‘dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis)
dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun.“ (Al Kahfi: 49).
Namun tentang
hal ini bisa dijawab balik bahwa orang yang bertaubat dihentikan pada
kesalahan-kesalahannya kemudian kesalahan-kesalahannya diganti dengan
kebaikan-kebaikan. Abu Utsman An-Nahdi berkata, “Orang Mukmin diberi buku
catatan amalnya yang tertutup dari Allah Azza wajalla kemudian ia membaca
kesalahan-kesalahannya. Jika ia telah membacanya, warna kulitnya berubah hingga
ia membaca tentang kebaikan-kebaikannya. Ia baca kebaikan-kebaikannya hingga warna
kulit kembali seperti semula. Ia melihat lagi, ternyata kesalahan-kesalahannya
telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ketika itulah, Allah Ta’ala berfirman, ‘Ambillah,
bacalah kitabku (ini).‘ (Al Haaqqah: 19).”
Perkataan
tersebut diriwayatkan sebagian ulama dan Abu Utsman dari Ibnu Mas’ud. Ulama
lain berkata, perkataan tersebut dari Abu Utsman dan Salman.
Dalam Shahih
Muslim disebutkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang
bersabda,
وفي " صحيح مسلم
" ([31])
من حديث أبي ذرٍّ عن النبي r قال : " إنِّي لأعلمُ آخر أهل الجنَّة دُخولاً الجنَّة ،
وآخر أهل النار خروجاً منها ، رجلُ يُؤتى به يوم القيامة فيقال : اعرضوا عليه صغار
ذنوبه ، وارفعوا عنه كبارها ، فيعرض الله عليه صغار ذنوبه ، فيقال له : عملت يوم
كذا وكذا ، كذا وكذا ، وعملت يوم كذا وكذا ، كذا وكذا ، فيقول : نعم ، لا يستطيع
أن يُنكر وهو مشفق من كبار ذنوبه أن تعرض عليه ، فيقال له : فإنَّ لك مكانَ كُلِّ
سيئةٍ حسنةً ، فيقول : يا ربِّ قد عمِلْتُ أشياء لا أراها هاهنا " قال : فلقد
رأيتُ رسول الله r ضحك حتى بدت
نواجذه
“Sungguh
aku tahu penghuni surga yang terakhir masuk surga dan penghuni neraka yang
terakhir kali keluar dari neraka. Pada Hari Kiamat, seseorang didatangkan
kemudian dikatakan, ‘Perlihatkan kepada orang ini dosa-dosa kecilnya dan angkat
dosa-dosa besar darinya. ‘Allah menampakkan kepada orang tersebut dosa-dosa
kecilnya kemudian dikatakan kepadanya, ‘Engkau melakukan ini dan itu pada hari
ini Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini ‘Orang tersebut berkata, ‘Ya.
‘Ia tidak dapat memungkirinya karena takut kalau dosa-dosa besarnya diperlihatkan
kepadanya. Dikatakan kepada orang tersebut , ‘Engkau berhak atas penggantian
setiap kesalahan dengan kebaikan. ‘Orang tersebut berkata, ‘Tuhanku, aku telah
melakukan banyak hal, tapi tidak melihatnya di sini’ “Abu Dzar berkata, “Aku lihat
Rasulullah saw tertawa hingga gigi geraham beliau terlihat.’[32]
Jika
kesalahan-kesalahan diganti dengan kebaikan-kebaikan bagi orang yang disiksa
karena dosa-dosanya di neraka, maka pemberlakuan penggantian bagi orang yang
kesalahan-kesalahannya dihapus dengan Islam dan taubat tentu lebih utama, karena
penghapusan kesalahan-kesalahan dengan Islam dan taubat lebih disukai Allah
daripada dihapus dengan siksa. Al Hakim meriwayatkan hadits dari jalur Al
Fudhail bin Musa dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari Abu Hurairah ra yang
berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
وخَرَّج الحاكم ([33])
من طريق الفضل بن موسى ، عن أبي العنبس ، عن أبيه ، عن أبي هُريرة قال : قال رسول
الله r : " ليتمنين
أقوامٌ أنَّهم أكثروا من السيئات " ، قالوا : بم يا رسول الله ؟ قال : "
الذين بَدَّل الله سيئاتهم حسنات " ، وخرَّجه ابنُ أبي حاتم
“Pastilah kaum-kaum
mendambakan menjadi orang-orang yang paling banyak kesalahan-kesalahannya.
“Para sahabat berkata, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda,
“Karena mereka orang-orang yang kesalahan-kesalahan mereka diganti Allah dengan
kebaikan.”
Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu
Hatim[34]
dari jalur Sulaiman bin Abu Daud Az-Zuhri dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari
Abu Hurairah secara mauquf.. Yang benar hadits tersebut marfu’.
Pendapat
pendapat kedua di atas juga diriwayatkan sebagai pendapat Al-Hasan Al-Basri
dan itu bertentangan dengan pendapatnya sebelum ini, karena juga diriwayatkan
darinya bahwa ia berpendapat bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu
terjadi di dunia.
Adapun yang disebutkan Al Harbi tentang
penggantian kesalahan dengan kebaikan, orang yang sedikit kesalahannya ditambah
kebaikan-kebaikannya, dan orang yang banyak kesalahan-kesalahanya itu
kebaikan-kebaikannya disedikitkan, maka hadits Abu Dzar di atas secara tegas
membantahnya dan yang benar ialah setiap kesalahan diganti dengan kebaikan.
Sedang perkataan Al Harbi bahwa pendapat
kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada
orang yang sedikit kesalahannya, maka dapat dikatakan bahwa penggantian
kesalahan dengan kebaikan itu berlaku
bagi orang yang menyesali kesalahan-kesalahannya dan meletakkannya di
kedua pelupuk matanya. Jika ia ingat kesalahan-kesalahannya, ia semakin takut, malu
kepada Allah, bersegera mengerjakan amal-amal yang bisa menghapus kesalahan
seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Kecuali orang-orang
yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti
Allah dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan:
70)).
Semua yang
telah saya sebutkan masuk dalam amal shalih. Barangsiapa keadaannya seperti itu,
ia lebih mampu meneguk pahitnya penyesalan dan kesedihan atas dosa-dosanya
daripada merasa kemanisan kesalahan-kesalahan ketika ia mengerjakannya dan
setiap dosanya menjadi penyebab amal shalih yang menghapus kesalahan. Setelah ini,
penggantian dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) dengan kebaikan-kebaikan tidak
dapat diingkari.
Banyak sekali
hadits yang menyatakan bahwa jika orang kafir masuk Islam dan keislamannya baik,
kesalahan-kesalahannya pada zaman syirik diganti dengan kebaikan-kebaikan.
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Abdurrahman dari Jubair bin Nufair dari
Abu Farwah Syathab bahwa ia datang kepada Nabi saw kemudian berkata,
فخرَّج الطبراني ([35])
من حديث عبد الرحمن بن جبير بن نفير عن أبي فروة شطب أنه أتى النبي r فقال : أرأيت
رجلاً عَمِلَ الذنوب كُلَّها ، ولم يترك حاجة ولا داجة ، فهل له من توبة ؟ فقال :
" أسلمت ؟ " قال : نَعَمْ ، قال: "فافعل الخيرات ،واترك السيئات ،
فيجعلها الله لك خيرات كلها " قال : وغَدَرَاتي وفجراتي ؟ قال : " نعم
" ، قال : فما زال يُكبِّرُ حتَّى توارَى
“Bagaimana
pendapatamu tentang orang yang mengerjakan seluruh dosa, tidak meninggalkan
kebutuhan besar dan kebutuhan besar, apakah taubatnya diterima?” Nabi saw bersabda,
“Apakah engkau sudah masuk Islam?”Abu Farwah Syathab menjawab, “Sudah. “Nabi
saw bersabda, “Kerjakan kebaikan-kebaikan dan tinggalkan kesalahan-kesalahan, niscaya
Allah menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kebaikan-kebaikan
untukmu. “Abu Farwah Syathab berkata, “Termasuk
pengkhianatan dan kejahatanku?”Nabi saw bersabda, “Ya. “Abu Farwah terus-menerus
bertakbir hingga menghilang.[36]
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ath-Thabrani21 dari jalur lain dengan sanad dhaif dari Salamah bin
Nufail dari Nabi saw. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadits semisal dengan
hadits di atas dari Makhul secara mursal. Al Bazzan meriwayatkan hadits
di atas dan menurutnya, “Dan Abu Thawil Syathab (bukan Abu Farwah) bahwa ia
datang kepada Nabi saw dan seterusnya yang semakna dengan hadits di
atas.”
Hadits di atas
juga diriwayatkan Abu Al Qasim Al Baghawi di Mu’jamnya. Ia menyebutkan ,
yang benar hadits di atas dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair secara mursal
bahwa seorang laki-laki thawi syathb (tinggi) datang kepada
Nabi saw. Syathb artinya memanjang. Sebagian perawi salah tulis dan
mengira kalimat itu nama orang laki-laki tersebut .22
______________________________________________________________________________________
21 Diriwayatkan Ath-Thabnani di Al Kabir hadits
nomer 6361 dan di sanadnya terdapat perawi Yasin bin Muadz Az-Zayyat. Al
Haitsami berkata di MajmAliz Zawaid 1/31, “Ia (Yasin bin Muadz
Az-Zayyat) meriwayatkan hadits-hadits palsu.” Saya katakan, di Al Mizan 4/3
58, Ibnu Ma’in berkatatla (Yasin bin Muadz Az-Zayyat) tidak ada apa-apanya.” Al
Bukhari berkata, “Hadmtsnya munkan.” An-Nasai dan Ibnu Al Junaid berkata, “Ia
(Yasin bin Muadz Az-Zayyat) matruk (tidak bisa dijadikan hujjah).” Ibnu
Hibban berkata, “Ia (Yasin bin Muadz Az-Zayyat) meriwayatkan hadits-hadits
palsu.”
22Al Hafidz Ibnu Hajan menukil hal di atas di Al
Ishabah 2/149 dari Al Baghawi tanpa
mengomentaninya.
[1] ‘Hadits
di atas hadits hasan li ghairihi diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2317, Ibnu Majah hadits nomer 3976, dan Ibnu Hibban
hadits nomer 229. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu
hadits nomer 108 dan Sa’ad bin Zanbur dari Abdurrahman bin Abdullah Al-Amri
(dia itu matruk) dan Suhail
bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu
Hurairah.
Hadits
semakna diriwayatkan dari Abu Dzar, Zaid bin Tsabit, Al-Harits
bin Hisyam, dan Ali bin Abu Thalib. Baca buku Syarhuth Thahawiyah 1/342
yang diterbitkan Muassasah Ar-Risalah.
[2] 2/903
([5]) ضعيف رواه أحمد 3/387 ، والترمذي
(2458) ، والحاكم 4/323 ، والمروزي في " تعظيم قدر الصلاة (450) من طرق عن
أبان بن إسحاق ، عن الصباح بن محمد ( تحرف في " المستدرك " إلى الصباح
بن محارب ) ، عن مرة الهمداني ، عن عبد الله بن مسعود ، وهذا سند ضعيف . والصباح
بن محمد لم يرو عنه غير أبان بن إسحاق ، وقال ابن حبان: كان يروي عن الثقات
الموضوعات ، و ذكره العقيلي في " الضعفاء " وقال : في حديثه وهم يرفع
الموقوف ، وقال الترمذي بإثر حديثه هذا : هذا حديث غريب ( أي : ضعيف ) إنما نعرفه
من هذا الوجه من حديث أبان بن إسحاق ، عن الصباح بن محمد وقال المنذري في "
الترغيب والترهيب " 3/400: والصباح مختلف فيه ، وتكلم فيه لرفعه هذا الحديث
وقالوا : الصواب موقوف .
وقال
ابن حجر في " التقريب : ضعيف . وقال الذهبي في الميزان " رفع حديثين هما
من قول عبد الله . قلت : يعني هذا الحديث وحديثاً آخر في " المسند "
بإثر هذا الحديث .
ورواه
الطبراني في " الصغير " (494) وفيه ثلاثة ضعفاء ، ثم هو منقطع .
ورواه
الطبراني في " الأوسط " من حديث عائشة ، وفي سنده إبراهيم بن إسماعيل بن
أبي حبيبة وهو متروك كما في " المجمع " 10/284 .
ورواه
الطبراني في " الكبير " (3192) من حديث الحكم بن عمير ، وفي سنده عيسى
بن إبراهيم القرشي ، قال البخاري : منكر الحديث ، وقال يحيى بن معين : ليس بشيء ،
وقال أبو حاتم والنسائي : متروك .
[6]
Hadits dhaif
diriwayatkan Imam Ahmad (3/387), At Tirmidzi hadits nomer 2458, AlHakim 4/3 23, dan Al Marwazi di Ta ‘dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 450 dan jalur Aban bin Ishaq dan Ash-Shabah bin Muhammad (di Al Mustadrak terdapat kesalahan penulisan di mana
di dalamnyatertulis Ash-Shabah bin Muharib) dan Murah Al Hamdani dar
Abdullah bin Mas’ud. Sanad tersebut dhaif
karena tidak ada yang meriwayatkan dari Ash-Shabah bin
Muhammad kecuali Aban bin Ishaq. Ibnu Hibban berkata, “Ia meriwayatkan
hadits-hadits palsu dari para perawi tepercaya.” Al Uqaili menyebutkan
Ash-Shabah bin Muhammad dalam Adh Dhuafa, “Di haditsnya terdapat
kekeliruan di mana ia menjadikan hadits mauquf sebagai hadits marfu
‘.“ Setelah menyebutkan hadits tersebut , At Tirmidzi berkata, “Hadits
tersebut gharib (dhaif), karena kami mengetahui hadits tersebut
dengan jalurnya dari Aban bin Ishaq dari Ash-Shabah bin Muhammad.”
A1-Mundziri berkata di At Targhib wat Tarhib 3/400, “Ash-Shabah bin
Muhammad dipermasalahkan karena ia menganggap hadits tersebut dari
Nabi saw, padahal para ulama berkata bahwa yang benar hadits tersebut
mauquf”
Ibnu Hajar
berkata di At Taqrib, “Ash-Shabah bin Muhammad adalah perawi dhaif”
Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan, “Ash-Shabah bin Muhammad
menganggap dua hadits berasal dari Nabi saw padahal hadits tersebut adalah
ucapan Abdullah.” Saya katakan, dua hadits yang dimaksud ialah hadits di atas
dan hadits lain di Al Musnad sesudahnya.
Hadits
tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer
494 dan di
dalamnya
terdapat tiga perawi yang dhaif dan sanad hadits tersebut terputus.
Hadits tersebut
juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Ausath dari Aisyah dan
di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah dan dia itu
matruk seperti disebutkan dalam Majmauz Zawaid 10/284.
Hadits tersebut
juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits nomer 3192
dan AlHakam bin Umain dan di sanadnya terdapat perawi Isa bin Ibrahim
Al Qurasyi. Al Bukhari berkata, “Haditsnya munkar.” Yahya bin Mu’in berkata, “Ia
tidak ada apa-apanya.” Abu Hatim dan An-Nasai berkata, “Ia ditinggalkan (tidak
bisa dijadikan hujjah).”
[8]
Diriwayatkan Imam Ahmad
1/201 dan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits
nomer 2886
dan
Ash-Shaghin 2/11. Hadits tersebut hasan li ghairihi.
[10] Di Makaarimul Akhlaq (196)
dan di sanadnya terdapat perawi As-Siri bin
Ismail AlKufi, sahabat Asy-Sya’bi. Ibnu Al Qaththan berkata, “Terlihat
dengan jelas olehku kebohongan As-Siri
bin Ismail di satu majlis.” An-Nasai dan lain-lain berkata, “latidak bisa dijadikan hujjah.”
[12]
Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 361 dari hadits panjang. Hadits tersebut sangat dha(f karena di sanadnya terdapat Ibrahim bin
Hisyam bin Yahya Al Ghassani AdDimasyqi. La dianggap pendusta oleh Abu
Hatim dan Abu Zun’ah. Adz-Dzahabi
berkata, “Ia matruk.”
[16] Diriwayatkan At Tinmidzi
hadits nomer 2412 dan Ibnu Majah
hadits nomer 3974. AtTinmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan kendati di sanadnya terdapat
Ummu Shalih yang tidak dikenal.”
[17] Diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2316 dan Abu
Nu’aim di Al Hilyah 5/55-56 dan
jalur Al A’masy dan Anas bin Malik. para perawinya adalah para perawi tepercaya, hanya saja A1-A’masy tidak
mendengar hadits tersebut dari Anas bin Malik. Al Mundziri berkata, “Para perawi hadits tersebut adalah para perawi
tepercaya.”
Hadits
tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’ Ia di Musnad-nya hadits nomer 4017
dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits
nomer 109 dari jalur Abdurrahman bin Shalih Al Azdi yang berkata, Yahya
bin Ya’la Al-Aslami berkata kepadaku dari Al A’masy dari Anas bin Malik ra
yang berkata, “Salah seorang
anak muda di kalangan kami gugur dalam
Perang Uhud kemudian di atas perutnya
ditemukan batu yang terikat (dengan perutnya) untuk menahan lapar. Ibunya mengusap tanah dan wajah anak muda
tersebut sambil berkata, Selamat surga untukmu, hai anakkku. ‘Nabi saw bersabda,
Engkau tidak tahu barangkali anak tersebut pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting baginya dan menolak
memberi sesuatu yang tidak mendatangkan kerugian padanya’.”
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Abu Ya’la dari Al Baihaqi dari
Abu Hurairah ra yang berkata, “Seseorang
gugur pada zaman Rasulullah saw kemudian seorang wanita menangisinya sambil berkata, ‘Duhai
syahidku.’ Nabi saw bersabda, ‘Engkau tidak tahu kalau ia syahid, karena
barangkali ia pernah mengatakan
sesuatu yang tidak penting baginya atau bakhil dengan sesuatu yang tidak menguranginya’.”
Al Haitsami berkata di Majmauz
Zawaid 10/302-303, “Di sanadnya terdapat perawi Isham bin Thaliq yang merupakan perawi dhaif.”
[18] Di sanadnya
terdapat perawi yang tidak dikenal. Hadits tersebut disebutkan Al-Hafidz Ibnu
Hajar di Al Ishabah 2/155 dan ia juga menisbatkannya kepada Ali bin
Sa’id Al Askari dan Ibnu Qani’.
[19] Disebutkan Al
Hafidz As-Suyuthi di Al Jami ‘Al Kabir 1/137.
قلت
: وروي أحمد 1/169 و 182 بإسناد حسن عن سعد بن أبي وقاص أن النبي r أتى
بقصعة من ثريد ، فأكل ، ففضل منه فضلة ، فقال : " يدخل من هذا الفج رجل من
أهل الجنة يأكل هذه الفضلة " قال سعد : وقد كنت تركت أخي عمير بن أبي وقاص
يتهيأ لأن يأتي النبي r ، فطمعتُ أن يكون هو ، فجاء عبد الله بن سلام ، فأكلها . وصححه
الحاكم 3/416 ،ووافقه الذهبي .
[21] Sanad hadits tersebut
dhaif Abu Ma’syar yang nama aslinya ialah Najih bin Abdurrahman As-Sindi ialah perawi dhaif
Saya katakan, Imam Ahmad 1/169, 182 meriwayatkan hadits dengan sanad hasan dari
Sa’ad bin Abu Waqqash bahwa Nabi saw
diberi semangkok tsarid(roti
yang diremuk dan direndam dalam kuah) kemudian beliau memakannya. Makanan tersebut tersisa, lalu Nabi
saw bersabda, “Dari jalan di antara gunung ini akan masuk salah seorang dari penghuni surga yang akan memakan sisa Makanan ini.” Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Aku
tinggalkan saudaraku, Umair bin Abu Waqqash, untuk bersiap-siap menghadap Nabi
saw dan aku sangat
berharap kiranya dia yang dimaksud oleh Nabi saw. Setelah itu, ternyata Abdullah bin Salam datang kemudian
memakan sisa Makanan Nabi saw
tersebut .” Hadits ini dishahihkan Al Hakim 3/ 416 dengan disetujui
Adz-Dzahabi.
[23] Diriwayatkan
Muslim hadits nomer 129.
([24]) 8/105-106 من طريق صفوان بن صالح ،
حدثنا الوليد ، حدثنا مالك ، عن زيد بن أسلم ، عن عطاء بن يسار ، عن أبي سعيد
الخدري ، وهذا سند صحيح ، وعلقه البخاري في " صحيحه " (41) واختصر منه
ألفاظاً ، فقال : قال مالك : أخبرني زيد بن أسلم . . . ، قال الحافظ : ووصله
النسائي من رواية الوليد بن مسلم : حدثنا مالك . فذكره أتم مما هنا ، وكذا وصله
الحسن بن سفيان من طريق عبد الله بن نافع ، والبزار من طريق اسحاق.
[25] 8/105-106 dari
jalur Shafwan bin Shalih yang berkata, Al
Walid berkata kepadaku,
Malik berkata kepadaku dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasan dari Abu Sa’id Al Khudni.
Sanad tersebut shahih.
[27] Diriwayatkan Al Bukhari hadits nomer 6921 dan Muslim
hadits nomer 120.
[32] Diriwayatkan
Muslim hadits nomer 190.
[34] Hadits tersebut disebutkan Ibnu Katsir di Tafsir-nya 6/138 dari Ibnu Abu Hatim dari ayahnya dari Hisyam bin Ammar yang
berkata, Sulaiman bin Musa Abu Daud Az-Zuhri mengisahkan hadits tersebut dengan sanad seperti ini.
Pada Sulaiman bin Musa terdapat kelemahan.
([35]) في " الكبير " (7235) قال
الهيثمي في " المجمع " 1/32 و 10/202 ، وعندهما : " عن أبي طويل
" بدل عن أبي فروة .
ورواه
الطبراني والبزار (3244) بنحوه ، ورجال البزار رجال الصحيح غير محمد بن هارون أبي
نشيط ، وهوثقة.
وأورده
الحافظ في " الإصابة " 2/149 وزاد نسبته إلى البغوي ، وابن زبر ، وابن
السكن ، وابن أبي عاصم ، وقال : هو على شرط الصحيح ، وقد وجدت له طريقاً أخرى ،
قال ابن أبي الدنيا في كتاب " حسن الظن " (146): حدثنا عبيد الله بن
جرير ، حدثنا مسلم بن إبراهيم ، حدثنا نوح
بن قيس ، عن أشعث بن جابر الحداني ، عن مكحول ، عن عمرو بن عبسة قال : " إن
شيخاً كبيراً أتى النبي r وهو يدعم على عصا ، فقال : يا نبي الله إن لي غَدراتٍ وفجرات فهل
تُغفر لي ؟ فقال النبي r : " تشهد أن لا إله إلا الله ، وأن محمداً رسول الله ؟
" قال : بلى يا رسول الله ، قال : " فإن الله قد غفر لك غدراتك وفجراتك
" فانطلق وهو يقول : الله أكبر ، الله أكبر وهذا ليس فيه انقطاع بين مكحول
وعمرو بن عبسة .
وقوله
: " لم يترك حاجة ولا داجة " الداج : أ تباع الحاج كالخدم والأُجراء ،
وقال الخطابي : الحاجَّةُ القاصدون البيت ، والداجَّة : الراجعون ، قال : والمشهور
التخفيف ، أراد بالحاجة : الحاجة الصغيرة ، والداجة : الحاجة الكبيرة .
[36] Diriwayatkan Ath-Thabnani di Al Kabir hadits
nomer 7235. Al Haitsami berkata di Majmauz
Zawaid 1/32 dan 10/202, “Menurut
kedua buku tersebut , hadits di atas berasal dari Abu Thawil.” Jadi, bukan dan
Abu Farwah.
Hadits di atasjuga diriwayatkan Ath-Thabrani dari Al Bazzar hadits nomer
3244. Para perawi Al Bazzar adalah para perawi
Bukhari, kecuali Muhammad bin Hanun bin Nasyith dan dia itu merupakan perawi
tepercaya.
Hadits di atas juga disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar di Al Ishabah 2/149 dan juga menisbatkannya
kepada Al Baghawi, Ibnu Zubar, Ibnu As-Sakn, dan Ibnu Abu Ashim. Al Hafidz Ibnu
Hajar berkata, “Hadits tersebut sesuai dengan syarat Shahih Al Bukhari.”
Saya temukan jalur lain tentang hadits di atas. Ibnu Abu Ad-Dunya berkata di Husnudz Dzan hal 146, Ubaidillah
bin Jarin berkata kepada kami, Muslim bin Ibrahim berkata kepada kami, Nuh bin
Qais berkata kepada kami dari Asy’ats bin Jabir Al Hadani dan Makhul dari Amr
bin Absah yang berkata, “Orang tua datang kepada Nabi saw yang ketika itu sedang bersandar di tongkat. Orang tua tersebut berkata,
‘Wahai Nabi Allah, aku mempunyai
sejumlah pengkhianatan dan kejahatan, apakah engkau mengampuniku?’ Nabi saw bersabda,
Engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah.’ Orang tua
tersebut berkata, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Nabi saw bersabda, ‘Sesungguhnya
Allah telah mengampuni seluruh pengkhianatan dan kejahatanmu.’ Setelah itu, orang tersebut pergi sambil berkata, ‘Allahu akbar,
Allahu akbar’.” Di hadits tersebut
tidak ada yang terputus antara Makhul dengan Amr bin Absah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar