bintang


Senin, 24 Oktober 2011

Tafsir Surah At-Takwir

إذا الشمس كورت(1)
وإذا النجوم انكدرت(2)
وإذا الجبال سيرت(3)
وإذا العشار عطلت(4)
وإذا الوحوش حشرت(5)
وإذا البحار سجرت(6)
وإذا النفوس زوجت(7)
وإذا الموؤودة سئلت(8)
بأي ذنب قتلت(9)
وإذا الصحف نشرت(10)
وإذا السماء كشطت(11)
وإذا الجحيم سعرت(12)
وإذا الجنة أزلفت(13)
علمت نفس ما أحضرت(14)
فلا أقسم بالخنس(15)
الجوار الكنس(16)
والليل إذا عسعس(17)
والصبح إذا تنفس(18)
إنه لقول رسول كريم(19)
ذي قوة عند ذي العرش مكين(20)
مطاع ثم أمين(21)
وما صاحبكم بمجنون(22)
ولقد رآه بالأفق المبين(23)
وما هو على الغيب بضنين(24)
وما هو بقول شيطان رجيم(25)
فأين تذهبون(26)
إن هو إلا ذكر للعالمين(27)
لمن شاء منكم أن يستقيم(28)
وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين(29)
                                                  التكوير: ١ - ٢٩

Apabila matahari digulung. Dan apabila bintang-bintang berjatuhan. Dan apabila gunung-gunung dihancurkan. Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (Tidak diperdulikan). Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. Dan apabila lautan dijadikan meluap. Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh. Dan apabila catatAn catatan (amal perbuatan manusia) dibuka. Dan apabila langit dilenyapkan. Dan apabila neraka Jahim dinyalakan. Dan apabila surga didekatkan. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril). Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy. Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. Dan Al Qur'an itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk. Maka ke manakah kamu akan pergi? Al Qur'aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam. (yaitu) Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (At Takwir : 1-29)

Pengantar

Surat ini terdiri dari dua segmen, yang masing-masing segmen menetapkan hakikat yang besar dari hakikAt hakikat akidah.

Pertama, hakikat tentang kiamat dengan segala peristiwa yang menyertainya sebagaimana terdapat
pada ayat 1-14. Misalnya, terjadinya penghancuran aturan alam yang besar ini secara total, yang meliputi matahari, bintang-bintang, gunung-gunung, lautan, bumi, langit, binatang-binatang ternak, dan binatang-­binatang liar. Hal seperti ini juga terjadi pada semua manusia.

Kedua, hakikat tentang wahyu dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, yang tercantum pada ayat 15-29. Misalnya, sifat malaikat yang mem­bawanya, sifat Nabi yang menerimanya, sifat kaum yang menjadi sasaran firman atau wahyu tersebut, dan kehendak teragung yang telah menciptakan mereka dan menurunkan wahyu tersebut kepada mereka.

Kesan umum surat ini mirip sekali dengan gerakan sesuatu yang bersayap, yang lepas dari ikatannya, lalu membalik segala sesuatu, menghamburkan dan memporakporandakan segala-galanya, menggon­cangkan yang tenang dan menakutkan yang aman, menghapuskan segala kebiasaan dan mengganti semua ikatan (ketentuan), menggoncangkan jiwa manusia dengan goncangan yang keras dan panjang, serta mencabutnya dari ketenangan dan ketabah­annya. Tiba-tiba raja ia mengembuskan ketakutan yang membinasakan dan menyapu segala sesuatu bagaikan bulu-bulu yang tidak ada bobot dan ke­teguhannya sama sekali. Tidak ada tempat ber­lindung dan bernaung kecuali di bawah perlindung­an Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Hanya hak-Nya sajalah untuk kekal dan abadi, dan hanya di sisi-Nya sajalah ketenangan dan ketenteraman. Karena itu, dengan kesan umumnya, surat ini mencabut jiwa manusia dari segala sesuatu yang menjadikannya tenang dan tenteram, untuk ber­lindung ke bawah lindungan Allah dan mencari keamanan, ketenangan, dan ketenteraman di sisi­Nya.

Di samping itu, surat ini juga memuat banyak sekali pemandangan yang indah-indah, baik di alam semesta yang indah yang dapat kita saksikan ini, maupun pada hari akhir ketika seluruh aturan dan ketentuan semesta telah berubah dan terbalik. Juga memuat ungkapAn ungkapan yang bagus yang selaras dengan variasi pemandangan pemandangan dan kesAn kesan yang dikandungnya. Semua ini terangkum dalam surat yang sempit (pendek) ini, sehingga menekan perasaan dan menembusnya dengan kuat dan penuh kesan. Seandainya pengungkapan lafAl lafal dan kalimat kalimatnya tidak populer dan tidak jelas bagi pem­baca masa sekarang, niscaya irama surat itu sendiri, lukisAn lukisannya, bayang-bayangnya, hakikat hakikatnya, dan pemandangan pemandangannya akan dapat membawa pembaca kepada sesuatu yang tidak mungkin dapat didapat dalam ungkapan bahasa manusia mana pun, dan akan dapat menyentuh senar-senar hati dan menggetarkannya dari dalam. Akan tetapi, terjadilah apa yang tidak dapat di­hindari, dan zaman kita sekarang sudah begitu jauh dari merasakan sentuhan bahasa Al Qur'an.

Hari Kiamat dengan Segala Rangkaiannya

'Apabila matahari digulung, bintang-bintang berjatuh­an, gunung-gunung dihancurkan, unta-unta yang bun­ting ditinggalkan (tidak dipedulikan), binatang-binatang liar dikumpulkan, lautan dipanaskan, ruh-ruh diper­temukan (dengan tubuh), bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh, catatAn catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, langit dilenyapkan, neraka jahim dinyalakan, dan surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. "(At Takwiir: 1-14)

Itulah pemandangan yang berupa kejungkirbalikan semua peraturan secara total. Itulah huru-hara yang menimpa segala yang maujud. Kejungkir­balikan dan keamburadulan yang meliputi benda-benda besar seperti benda-benda langit dan bumi, binatang-binatang liar, binatang-binatang ternak, jiwa manusia, dan aturan segala sesuatu. Semua yang ter­tutup menjadi terbuka, dan semua yang majhul ter­ketahui. Seluruh manusia tertegun di hadapan se­gala sesuatu yang pernah dikerjakannya, yang kini menjadi persediaan dan perbekalannya untuk meng­hadapi keputusan dan perhitungan. Segala sesuatu yang di sekelilingnya porak-poranda dan terjungkirbalik.

Peristiwa-peristiwa alam yang besar ini secara garis besar mengisyaratkan bahwa alam yang kita huni ini alam yang teratur rapi dan indah, seimbang gerakAn gerakannya, tertata dengan penuh apik, kokoh bangunannya, dan dibangun oleh "tangan" yang bijak dan piawai akan rusak aturannya, beran­takan bagiAn bagiannya, lenyap sifat sifat dan ciri-cirinya yang selama ini melekat padanya, dan ber­akhir pada masa yang telah ditentukan. Semua makhluk akan mengalami perubahan sebagaimana alam semesta, kehidupan, dan hakikat segala se­suatu akan berubah dan menjadi bentuk lain dari apa yang selama ini berlaku.
Itulah sasaran surat At Takwiir yang hendak ditetapkan dan dimantapkannya di dalam hati dan perasaan. 


Tujuannya agar hati dan perasaan manusia terpisah dari alam lahiriah, meskipun ia tampak kokoh, yang akan lenyap dan agar berhubungan de­ngan hakikat yang kekal. Yakni, hakikat Allah yang tidak akan pernah berubah dan sirna, ketika segala sesuatu telah berubah dan hilang lenyap. Juga agar hati dan perasaan manusia itu lepas dari tawanan aturan dan kebiasaan di alam yang tersaksikan ini. Kemudian beralih kepada hakikat mutlak yang tidak terikat dengan waktu, tempat, penglihatan, dan indrawi, serta simbol-simbol lahiriah yang terikat oleh kondisi atau bingkai yang terbatas. Demikianlah perasaan umum yang meresap ke dalam jiwa ketika memikirkan pemandangan pemandangan alam yang porak-poranda dan menakutkan.

Ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang terjadi pada seluruh alam ini, berada di sisi Allah. Ia me­rupakan hakikat yang terlalu besar untuk kita ke­tahui sekarang dengan perasaan dan pandangan kita yang terbatas oleh indra dan pikiran. Di antara ke­amburadulan sangat besar yang kita alami atau yang dialami oleh sebagian manusia, adalah digoncang­kannya kita oleh bumi dengan goncangan yang menghancurkan, bumi memuntahkan lahar dan magma dari dalamnya, rusaknya bumi oleh cahaya api dan badai serta air bah yang luar biasa, atau peristiwa-peristiwa alam yang amat dahsyat, yaitu terpancarnya bagiAn bagian dalam matahari sejauh beratus-ratus juta mil. Semua peristiwa besar yang mengerikan ini bila dibandingkan dengan keporakporandaan yang besar dan menyeluruh pada hari kiamat nanti, terasa masih sangat kecil!!

Apabila kita harus mengetahui sedikit tentang hakikat sesuatu yang bakal terjadi pada alam semesta ini, maka tidak ada jalan di depan kita melainkan mendekatinya melalui ungkapAn ungkapan yang berlaku dalam kehidupan kita.

Sesungguhnya yang dimaksud dengan digulung­nya matahari itu, mungkin ia menjadi dingin dan padam cahayanya serta mengerutnya lidah apinya yang menyala-nyala di sekelilingnya sejauh beribu-­ribu mil di angkasa raya sekarang ini. Hal itu sebagai­mana padamnya (tertutupnya) cahaya matahari pada waktu terjadi gerhana, dan terbebasnya ia dari gas karena pengaruh panas yang mencapai 12.000 derajat, sehingga mengubah semua materi yang merupakan unsur matahari menjadi gas-gas lepas yang menyala-nyala. Semua ini akan berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain dan membeku seperti kulit bumi, akan tergulung tanpa lidah api dan tanpa nyala lagi. Mungkin keadaannya nanti seperti ini dan mungkin juga tidak demikian. Adapun pengetahuan ten­tang bagaimana terjadinya dan unsur-unsur apa yang menyebabkan terjadinya itu, hanya ada di sisi Allah.

Maksud bintang-bintang berjatuhan itu mung­kin ia berpelantingan dan lepas dari sistem yang mengikatnya, cahayanya padam, dan menjadi gelap gulita. Allah yang lebih mengetahui bintang apa yang terkena peristiwa ini. Apakah gugusan bintang yang dekat dengan kita, seperti tata surya kita, atau galaksi Bima Sakti yang terdiri dari beratus-ratus juta bintang, ataukah semua bintang yang tidak ada yang mengetahui jumlah dan letaknya kecuali Allah?
Pasalnya, di belakang kita masih terdapat banyak galaksi dan ruang hampa yang tidak kita ketahui hitungan dan kesudahannya. Maka, kelak akan ada bintang-bintang (atau semua bintang) yang ber­jatuhan atau pudar cahayanya sebagaimana diinfor­masikan dalam informasi yang benar dan tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah.

Dihancurkannya gunung-gunung itu mungkin maksudnya adalah dihancurkan dan dihamburkannya ke udara, sebagaimana disebutkan dalam surat lain,

'Mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung maka katakanlah, 'Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari kiamat) sehancur-hancurnya. "(Thaahaa: 105)
"Gunung gunung dihancurluluhkan sehancur-hancur­nya."(Al Waaqi'ah: 5)
'Dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fata­morganalah ia."(An Naba': 20)

Semua itu mengisyaratkan bahwa peristiwa seperti ini akan terjadi pada gunung-gunung, maka gunung-gunung yang kokoh kuat dan teguh tersebut akan tercerabut dan mu snah.Mungkin itu merupakan permulaan goncangan keras yang akan menimpa bumi sebagaimana dikatakan oleh Al Qur'an,
'Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban­ beban berat (yang dikandung)nya. " (Az Zalzalah: 1-2)

Adapun firman Allah,
'Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). "(At Takwiir: 4)

'Al 'isyar" adalah unta-unta yang bunting se­puluh bulan. Unta-unta tersebut merupakan harta kekayaan bangsa Arab yang paling bagus dan paling berharga ketika itu. Dengan keadaannya yang bunting seperti ini, maka unta-unta itu merupakan harta yang paling mahal. Karena, dapat diharapkan anak dan susunya, serta sangat besar manfaatnya. Maka, pada hari terjadinya peristiwa yang mengerikan dan menakutkan itu, diabaikanlah unta-unta yang bunting tersebut sehingga tidak berharga lagi dan tidak ada seorang pun yang menganggapnya penting. Bangsa Arab yang diajak bicara pertama kali de­ngan ayat ini, tidak akan rnengabaikan dan melepas­kan tangannya dari unta seperti itu. Kecuali, jika mereka dalam keadaan yang amat gawat dan lebih dahsyat daripada segala sesuatu yang dikumpul­kannya tersebut.

'Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan." (At Takwiir: 5)

Binatang-binatang liar ini berlarian karena merasa takut terhadap peristiwa besar yang me­ngerikan itu. Mereka berkumpul dan menyatu di bukit-bukit. Mereka sudah lupa terhadap binatang-binatang lain yang biasanya menakutkan sebagai­mana mereka juga lupa kepada binatang-binatang buas yang biasanya menerkamnya. Pasalnya, kengerian dan ketakutan terhadap peristiwa hari itu menjadikan binatang-binatang tersebut terlepas dari karakter dan sifat-sifat khususnya. Maka, bagaimana lagi dengan manusia dalam menghadapi peristiwa besar yang penuh kesulitan itu?!

Adapun makna dipanaskannya lautan mungkin adalah airnya meluap-luap. Mungkin juga berarti airnya itu datang dari luapan luapan seperti yang dikatakan bahwa ia menyertai kejadian bumi dan kebekuannya/kemampatannya sebagaimana sudah kita bicarakan dalam surat An Naazi'aat. Mungkin karena gempa-gempa bumi dan gunung-gunung meletus yang menghilangkan batas-batas antara lautan yang satu dan lautan yang lain, sehingga yang sebagian memancar pada sebagian yang lain. Atau, mungkin juga yang dimaksud adalah lautan meluap dan memancar sebagaimana dikatakan dalam surat lain,
Dan apabila lautan menjadikan meluap, (Al Infithaar: 3)

Maka, berpencarlah unsur-unsurnya dan ter­pisahlah hidrogen dari oksigennya. Atau, atom-atomnya terpencar seperti terpencarnya zat-zat pada bom atom atau lebih dahsyat lagi, atau entah seperti apa lagi. Nah, pada waktu peristiwa ini terjadi, maka ada api sangat besar yang tidak terlukiskan ukuran­nya muncul dari lautan.

Pemakaian kadar tertentu dari sumbu bom atom atau bom hidrogen saja bisa menimbulkan ledakan yang luar biasa mengerikan sebagaimana dikenal oleh dunia. Apalagi dengan ledakan atom-atom alutan seperti itu atau entah seperti apa lagi, yang tentu tidak dapat dibayangkan oleh manusia. Juga tidak dapat dibayangkan oleh mereka rnengenai kondisi neraka Jahannam yang lebih dahsyat daripada lautan yang luas ini.

Dipertemukannya ruh-ruh itu mungkin maksudnya adalah dipertemukannya ruh-ruh dengan jasad masing-masing setelah diciptakan ulang. Atau, mungkin dipertemukannya ruh-ruh yang sejenis dalam kelompoknya sendiri-sendiri, sebagaimana dikatakan dalam ayat 7 surat Al Waaqi'ah, 'Dan kamu menjadi tiga golongan. "Yaitu, golongan muqarrabun, ashabul maimanah 'golongan kanan', dan ashhabul­ masy'amah 'golongan kiri'. Atau dalam bentuk lain lagi.

'Apabila bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh?" (At Takwiir: 8-9)

Di antara kesenangan masyarakat jahiliah ialah tradisi menanam anak wanita hidup-hidup karena takut aib atau takut miskin. Islam datang untuk mengangkat derajat bangsa Arab dari kehinaan jahiliah itu dan mengangkat harkat semua manusia. Al Qur'an menceritakan tradisi jahiliah yang amat buruk tersebut,

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An Nahl: 58-59)

Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. (Az Zukhruf: 17-18)

'Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu." (Al Israa': 31)

Mengubur anak wanita hidup-hidup itu adalah cara yang amat kejam, karena si anak dikubur dalam keadaan hidup. Mereka, bangsa Arab jahiliah, melakukannya dengan cara yang bermacam-macam. Di antaranya ada orang yang apabila mempunyai anak wanita, maka dibiarkannya anak itu hingga berusia enam tahun. Kemudian berkatalah si ayah kepada ibu anak itu, "Pakaikanlah harum-haruman dan per­hiasan kepadanya karena aku akan mengajaknya pergi kepada ipar-iparnya", padahal ia sudah meng­gali sumur di padang pasir untuknya. Maka, sampai­lah ia ke sumur itu, kemudian berkata kepada anak­nya itu, "Lihatlah ke dalam sumur!" Kemudian dia mendorong dan menimbunnya dengan tanah.

Di antaranya lagi ada yang apabila seorang wanita merasa akan melahirkan, maka ia duduk di atas galian yang telah dibuat. Apabila anak yang dilahirkan­nya itu wanita, maka anak itu langsung dilemparkan ke dalam galian itu dan ditanamnya. Apabila anaknya itu laki-laki, maka ia lantas berdiri membawanya.Sebagian lagi yang tidak berniat mengubur hidup-hidup anak wanitanya, akan menahan anaknya itu de­ngan menanggung perasaan hina hingga ia mampu menggembala ternak. Setelah mampu menggembala, maka dipakaikanlah kepadanya jubah dari buluo dan dikirimnya anak wanita itu ke pelosok untuk menggembala untanya.

Orang-orang yang tidak mengubur anak wanita­nya hidup-hidup dan tidak mengirimkannya untuk menggembala ternak, mempunyai cara-cara lain untuk menimpakan bencana dan kerugian. Yaitu, apabila gadis tersebut telah menikah kemudian suaminya meninggal dunia, maka datanglah walinya dan melemparkan pakaiannya kepada wanita itu. Ini berarti bahwa sang wali melarangnya berhubungan dengan orang lain. Sehingga, tidak ada seorang pun yang boleh mengawininya meskipun ia sendiri ber­hasrat untuk kawin, maka hasrat dan keinginannya itu tidak dihiraukan lama sekali. Namun, jika ia tidak berhasrat untuk kawin, maka ia ditahan hingga me­ninggal dunia, kemudian hartanya diwarisi oleh wali­nya itu. Atau, ia dapat melaksanakan apa yang di­inginkannya itu dengan syarat harus menebus diri­nya dengan harta. Ada juga di antara mereka yang menceraikan istrinya dan mensyaratkan kepada istri itu untuk kawin hanya dengan orang yang mereka kehendaki. Kecuali, kalau mantan istri itu mau menebus dirinya dengan memberikan kembali semua harta yang pernah diberikan mantan suami kepadanya.

Selain itu, ada tradisi lain lagi. Yakni, menjadikan istri sebagai barang warisan. Apabila seseorang me­ninggal dunia, maka mereka menahan istrinya untuk anak lelaki kecil di kalangan mereka. Setelah anak itu besar, ia dapat mengambil wanita itu sebagai istri. Di antara tradisi mereka lagi ialah seorang lelaki memelihara anak wanita yatim dan mengasuhnya serta mengurusi urusannya. Tetapi, ia melarang si anak untuk kawin. Dengan harapan, apabila istrinya meninggal dunia, maka ia akan mengawini anak yatim tersebut. Atau, ia akan mengawinkannya de­ngan anak lelakinya yang sudah tentu karena meng­inginkan harta atau kecantikannya.
Inilah pandangan jahiliah terhadap wanita dalam segala hal hingga datang Islam yang memandang buruk dan terkutuk terhadap tradisi-tradisi seperti itu. Islam melarang keras tindakan mengubur hidup-hidup anak wanita dan menjadikannya sebagai salah satu tema pertanggungjawaban pada hari kiamat. Islam (Al Qur'an) menyebutkan masalah ini dalam konteks peristiwa besar yang mengerikan dan menakutkan, yang memberi kesan seakan- akan me­ngubur anak wanita hidup-hidup itu sebagai salah satu peristiwa alam yang amat dahsyat ini. Al Qur' an mengatakan, 


"Sesungguhnya anak wanita yang dikubur hidup-hidup itu akan ditanya mengapa dia dikubur hidup-hidup. Maka, bagaimana halnya de­ngan orang yang menguburnya hidup-hidup?!"

Selamanya tidak mungkin tumbuh harga diri dan kemuliaan wanita di lingkungan jahiliah, seandainya tidak diturunkan syariat dan manhaj Allah mengenai kemuliaan dan kehormatan manusia secara kese­luruhan. Juga di dalam memuliakan manusia itu sen­diri, baik laki-laki maupun wanita, dan menempatkannya dalam kedudukan tinggi yang sesuai dengan keberadaannya yang ditiupkan padanya ruh Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur. Karena itu, dari sumber ini mengedepanlah kemuliaan wanita yang diberikan oleh Islam, bukan oleh unsur lingkungan manapun.

Ketika telah terwujud kelahiran manusia baru dengan menerapkan nilai-nilai dari langit bukan dari bumi, maka terwujudlah kemuliaan dan kehormatan bagi wanita. Sehingga, penilaian dan ukuran kemulia­annya sama sekali tidak dikaitkan dengan kelemah­an fisik dan tugas-tugas kehidupan materialnya, karena semua itu bukan dari langit dan tidak akan dinilai. Tetapi, timbangan dan penilaian itu hanyalah terhadap ruh manusia yang mulia dan selalu ber­hubungan dengan Allah. Nah, dalam hal ini samalah kedudukan laki-laki dan wanita.

Ketika telah jelas petunjuk dan indikasinya bahwa agama Islam ini datang dari Allah dan bahwa yang membawanya adalah seorang Rasul yang telah diberi wahyu, maka pengalihan kedudukan wanita ini di­pandang sebagai salah satu indikasi yang tidak keliru lagi. Karena, dalam lingkungan ketika itu sudah tidak ada satu pun pertanda yang diharapkan untuk me­ngantarkan wanita kepada kedudukan terhormat seperti ini. Tidak ada satu pun dorongan dan motivasi khusus dari lingkungan dan kondisi perekonomian­nya, kalau tidak turun manhaj Ilahi untuk berbuat demikian terhadap wanita tanpa dorongan unsur apa pun dari bumi, yang dapat memberikan kedudukan yang baru sama sekali bagi wanita. Yakni, keduduk­an yang semata mata berhubungan dengan nilai-nilai dan timbangan-timbangan langit.

'Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan ma­nusia) dibuka. "(At Takwiir: 10)

Dengan dibukanya catatan catatan amal ini, maka dapatlah disingkap dan diketahui semuanya se­hingga tidak ada yang samar dan tersembunyi lagi. Transparansi ini lebih berat dan lebih menekan jiwa. Berapa banyak kejelekan yang pelakunya sendiri merasa malu menyebutkannya, dan merasa takut dan merinding mengungkapkannya. Namun, pada hari kiamatnanti seluruh dosa dan keburukannya itu akan dibuka dan dapat disaksikan secara transparan.

Pembeberan dan penyingkapan catatan amal ini termasuk salah satu macam peristiwa besar pada hari itu, yang notabene adalah sebagai salah satu bentuk keterbalikan aturan. Segala sesuatu yang biasanya dan mestinya disembunyikan malah dising­kapkan, yang biasanya ditutup-tutupi kini dinyatakan secara terang-terangan, bahkan yang tersembunyi di dalam hati pun terungkapkan. Penyingkapan segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati ini berhadapan dengan pemandangan peristiwa alam seperti,

'Dan apabila langit dilenyapkan."(At Takwiir: 11)

Yang segera ditangkap oleh pikiran ketika men­dengar kata sama’ ‘ langit' adalah tutup yang tinggi di atas kepala, dan kasytuhaa berarti melenyapkannya. Adapun pengetahuan tentang bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana caranya, maka kita tidak me­miliki jalan untuk menetapkan dan memastikannya. Namun, kita dapat saja membayangkan bagaimana seseorang memandang ke angkasa lantas tidak me­lihat kubah langit lagi di atasnya, karena suatu sebab yang mengubah aturan semesta ini, yang karenanya terjadi fenomena seperti itu. Cukup begitu sajalah yang kita pikirkan, tidak usah memikirkan bagai­mana cara dan terjadinya yang sebenarnya. Kemudian datanglah langkah terakhir mengenai pemandangan-pemandangan hari yang besar dan menakutkan itu,

'Dan apabila neraka jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan."(At Takwiir: 12-13)

Neraka Jahim dinyalakan, gejolaknya terus ber­tambah, dan panasnya pun makin bertambah. Di manakah ia berada? Bagaimanakah cara menyulut dan menyalakannya? Dengan apa ia dinyalakan? Mengenai semua ini kita tidak mengetahuinya ke­cuali apa yang difirmankan oleh Allah Ta'ala,

"Bahan bakarnya adalah manusia dan batu. " (At ­Tahriim: 6)

Hal itu terjadi setelah manusia itu dilemparkan ke dalamnya. Adapun sebelum itu, maka Allah lebih mengetahui bagaimana menyalakannya.

Pada sisi lain, surga didekatkan dan ditampakkan kepada calon penghuninya yang dipanggil untuk me­masukinya. Sehingga, tampak bagi mereka betapa mudahnya memasukinya. Maka, surga didekatkan dan sudah disiapkan. Adapun lafal uzlifat 'didekatkan' ini memberi kesan seakan-akan surga itu diluncur­kan, atau kaki meluncur dengan mudah ke sana.

Pada waktu semua peristiwa besar itu terjadi, ber­kenaan dengan keberadaan alam semesta, dan me­ngenai semua makhluk hidup dan segala sesuatu, maka pada waktu itu tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hati manusia mengenai hakikat segala sesuatu yang telah dikerjakannya. Juga mengenai semua perbekalan yang telah diusahakannya untuk menghadapi hari yang besar itu, apa yang akan dibawanya untuk dihamparkan di sana, dan apa saja yang telah dikerjakannya untuk dihisab dan "diper­tanggungjawabkannya,

'Maka, tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. " (At Takwiir: 14)

Setiap jiwa pada hari yang besar dan menakutkan itu akan mengetahui apa yang akan diperolehnya dan yang akan menimpanya. Ia mengetahuinya padahal waktu itu ia juga sedang diliputi dan dihadapkan kepada ketakutan dan kengerian yang luar biasa. Ia mengetahui, sedangkan ia tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk mengubah apa yang telah dikerjakannya, tidak dapat menambah atau me­nguranginya sama sekali. Ia mengetahui, sedangkan ia sudah lepas dari segala sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupannya, atau yang dibayangkannya. Pada saat itu ia sudah terputus hubungannya dengan dunianya, dan dunianya sudah terputus dari­nya. Segala sesuatu telah berubah, telah berganti, dan tidak ada yang kekal kecuali wajah Allah Yang Maha Mulia, yang tidak pernah berubah dan ber­ganti. Maka, alangkah utamanya jiwa manusia yang senantiasa menghadap kepada Allah Yang Maha­ Mulia. Sehingga, kelak ia akan bertemu dengan-Nya ketika segala sesuatu sudah berubah dan berganti.

Dengan terjadinya peristiwa ini beserta kesan-­kesannya, maka diakhirilah segmen pertama surat ini. Sedangkan, perasaan sudah dipenuhi dengan kesan-kesan pemandangan tentang hari amat besar yang pada waktu itu terjadi pembalikan dan perubah­an keadaan secara total.

Pemandangan Alam, Al Qur'an, Jibril, dan Rasulullah saw.

Selanjutnya datanglah segmen kedua surat ini yang dimulai dengan menyampaikan sumpah secara berturut turut dengan pemandangan-pemandangan alam yang indah, yang diungkapkan dengan kalimat kalimat yang unik dan apik. Sumpah tentang tabiat wahyu, sifat utusan yang membawanya, Rasul yang menerimanya, dan sikap manusia terhadapnya, se­suai dengan kehendak Allah,

"Sunguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing sesungguhnya Al Qur’an itu benar­-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, kedudukan yang tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, dan ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Teman­mu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang gila. Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. Al Qur’an itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk. Maka, ke manakah kamu akan pergi?Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringat­an bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa saja di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa­bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (At­ Takwiir: 15-29)

'Al khunnas, al jawaaril kunnas " adalah bintang-bintang yang beredar dan terbenam, yang kembali kepada putaran falakiahnya, yang berjalan dan bersembunyi. Pengungkapan kalimt-kalimatnya melukiskan kehidupan yang gesit dan lincah bagai­kan kehidupan kelinci, yang berlari-lari dan ber­sembunyi di dalam kandangnya, dan kembali lagi dari sudut lain. Di sana ada denyut kehidupan dari celah-celah pengungkapan kalimat-kalimatnya yang bagus dan indah di dalam mengungkapkan bintang-bintang. Di sana juga ada kesan perasaan terhadap gerakan yang indah, dalam terbenam dan muncul­nya bintang-bintang itu, dalam bersembunyi dan kepergiannya, serta dalam perjalanan dan kembali­nya, yang diimbangi dengan kesan keindahan dalam bentuk lafal dan gema suaranya.

'Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya."(At Takwiir: 17)   
                
Yakni, apabila telah gelap. Lafal ini juga memberi kesan seperti itu, karena lafal ini terdiri dari dua suku kata yang bunyinya mengesankan kehidupan pada malam itu. Pada waktu itu ia meraba-raba dalam gelap dengan tangan dan kakinya, tapi tidak dapat melihat juga. Ini merupakan kesan yang menakjubkan dan pilihan kata yang indah.Demikian pula dengan ayat, 
"Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. "

Bahkan, ini menunjukkan fenomena kehidupan yang jelas dan lebih mengesankan. Subuh itu sebagai sesuatu yang hidup dan bernapas. Napasnya adalah cahaya, kehidupan, dan gerakan yang merambat pada setiap makhluk hidup. Saya hampir-hampir memastikan bahwa bahasa Arab dengan segala ungkapannya tidak pernah memiliki ungkapan yang sebanding dengan pengungkapan Al Qur’an tentang waktu subuh ini. Ketika melihat fajar menyingsing, berikan kesan sedemikian rupa kepada hati yang terbuka itu. Setiap orang yang bisa merasakan keindahan pengungkapan dan pelukisan itu tentu mengetahui bahwa firman Allah kaya dengan perasaan dan pelajaran, melebihi hakikat-hakikat alamiah yang diisyaratkan, serta kekayaan yang indah, bagus, dan apik. Hal ini ditam­bah dengan kesiapan perasaan manusia itu sendiri, yang menerima fenomena-fenomena itu dengan perasaan yang peka.

Dilambai-lambaikannya pemandangan-pemandangan alam yang sarat dengan kehidupan dan di­hubungkannya ruh manusia dengan ruh-ruh alam semesta dari celah-celah pengungkapan yang hidup dan indah, bertujuan untuk meresapkan rahasia-rahasianya ke dalam jiwa manusia dan memadukan­nya dengan kekuasaan yang ada di belakangnya. Juga untuk berbicara kepada jiwa-jiwa ini tentang kebenaran hakikat imaniah yang diserukannya. Setelah itu disebutkannyalah hakikat ini dalam suasana yang sangat tepat untuk disebutkan dan diterima,

"SesungguhnyaAl Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mem­punyai kekuatan, kedudukan tertinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, dan ditaati di sana (di alam malai­kat) lagi dipercaya." (At Takwiir: 19-21)

Al Qur'an dan penjelasan tentang hari akhir ini adalah benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia, yaitu malaikat Jibril, yang telah membawa firman ini dan menyampaikannya. Se­hingga, bisa dikatakan sebagai perkataannya karena ia yang menyampaikannya.

Dengan menyebut sifat utusan (malaikat) yang telah dipilih untuk membawa dan menyampaikan firman Allah, yaitu sifat "mulia"di sisi Tuhannya, maka Tuhannyalah yang berfirman, "... yang mem­punyai kekuatan. "Hal ini memberi isyarat bahwa untuk membawa firman Allah diperlukan kekuatan. Kemudian disebutkan, "Yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy. "Dalam posisi dan kedudukannya, di sisi siapa? Di sisi Tuhan yang mempunyai Arasy, Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur. "Yang ditaati di sana"; di kalangan makhluk tertinggi, "lagi dipercaya" terhadap apa yang dibawa dan di­sampaikannya.

Sifat-sifat ini secara keseluruhan mengisyaratkan kemuliaan, keagungan, ketinggian, dan keluhuran firman ini, sebagaimana ia juga menunjukkan besar­nya perhatian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Sehingga, Dia memilih utusan (malaikat) dengan sifat-sifatnya yang demikian itu untuk membawa risalah dan menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi pilihan-Nya. Ini adalah perhatian yang men­jadikan manusia malu, karena ia tidak memiliki se­suatu pun di dalam kekuasaan Allah ini, seandainya Allah Yang Maha Suci tidak memberinya karunia dan memuliakannya dengan kemuliaan seperti itu.

Inilah sifat utusan (malaikat) yang membawa dan menyampaikan firman Allah, sedangkan Rasul yang dibawakan dan disampaikan kepadanya wahyu itu adalah "temanmu" yang telah kamu kenal betul dalam waktu yang panjang. Maka, mengapakah kamu mengatakan yang bukan-bukan tentangnya ketika beliau datang kepadamu dengan membawa kebenar­an? Mengapa kamu putar balikkan urusannya se­demikian rupa padahal beliau adalah "temanmu" yang tidak asing bagimu? Beliau sangat tepercaya di dalam menyampaikan informasi tentang perkara gaib kepadamu secara meyakinkan,

'Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. Al­ Qur’an itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk. Maka, ke manakah kamu akan pergi?Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. " (At Takwiir: 22-27)

Mereka mengatakan yang bukan-bukan tentang Nabi mulia yang sudah mereka kenal betul ke­cerdasan pikiran, kejujuran, keamanahan, dan kon­sistensinya. Mereka mengatakan bahwa beliau itu orang gila, dan setan telah turun kepadanya untuk menyampaikan sesuatu yang dikatakannya itu. Se­bagian mereka mengatakan hal ini sebagai tipu daya terhadapnya dan terhadap dakwahnya sebagaimana diinformasikan dalam beritaAl Qur'an itu. Sedangkan, sebagian lagi mengatakan hal yang seperti itu karena mereka merasa heran dan terkejut terhadap perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh seorang manusia pun sepanjang yang mereka ketahui.


 Ditambah lagi dengan anggapan mereka bahwa setiap penyair memiliki setan yang biasa datang kepadanya dengan membawa perkataan yang ganjil. Setiap paranormal memiliki setan yang biasa datang kepadanya dengan membawa perkara gaib yang jauh dan setan kadang-kadang datang kepada sebagian orang lantas mengatakan melalui lisannya perkataan-perkataan yang aneh-aneh. Mereka tinggalkan alasan satu-satunya yang benar, yaitu bahwa apa yang disampaikan beliau itu adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Maka, pada segmen surat ini Al Qur'an datang untuk berbicara kepada mereka tentang keindahan alam yang menakjubkan dan kehidupan pemandangan-pemandangannya yang indah. Tujuannya untuk memberikan kesan ke dalam hati mereka bahwaAl Qur'an itu bersumber dari kekuasaan pen­cipta yang telah menciptakan keindahan itu dengan tiada contoh lebih dahulu. Juga untuk memberitahu­kan kepada mereka tentang sifat utusan (malaikat) yang membawanya dan utusan (Rasul) yang mene­rimanya. Apalagi Rasul itu adalah teman mereka yang sudah mereka kenal bukan orang gila. Beliau telah melihat utusan yang mulia, malaikat Jibril, dengan benar-benar melihatnya, di ufuk yang terang secara meyakinkan. Nabi saw benar-benar dapat dipercaya di dalam memberikan keterangan tentang perkara gaib. Tidak pantas dilontarkan kepadanya tuduhan yang bukan-bukan tentang informasi yang diriwayatkannya dari Tuhannya. Maka, mereka tidak mengenal sesuatu pun dari beliau melainkan sesuatu yang benar dan meyakinkan.

'Al Qur’an itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk. "

Karena setan tidak mewahyukan manhaj atau peraturan yang lurus ini. Al Qur'an bertanya kepada mereka dengan nada ingkar,
'Maka, ke manakah kamu akan pergi?
Ke mana kamu akan pergi dengan hukum dan perkataanmu itu? Atau, ke mana kamu akan pergi berpaling dari kebenaran padahal Allah itu selalu menghadapimu di mana saja kamu berada?

'Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. "
Peringatan yang mengingatkan mereka tentang hakikat wujud mereka, hakikat kejadian mereka, dan hakikat alam di sekitar mereka. "... bagi alam semesta.... " Maka, Al Qur'an ini merupakan dakwah alamiah (internasional) sejak tahap pertama kehadirannya. Dakwah di Mekah itu terkepung dan terusir sebagaimana disaksikan oleh nash-nash Makkiyah seperti ini.

Silakan Menempuh Jalan yang Lurus

Di depan keterangan yang mengesankan dan cermat ini, mereka diingatkan bahwa jalan hidayah itu dimudahkan bagi orang yang menghendaki. Kalau demikian, maka mereka akan dimintai per­tanggungjawaban tentang diri mereka, padahal Allah telah memberikan kepada mereka kemudahan ini,

'Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. "(At Takwiir: 28)

Siapa saja yang mau menempuh jalan yang lurus di atas hidayah Allah, di jalan menuju kepada-Nya, sesudah keterangan ini. Yaitu, jalan yang menying­kap semua syubhat, menghilangkan semua keragu­an, dan menggugurkan semua alasan yang dibuat­-buat, serta membisikkan kepada hati yang sehat ke jalan yang lurus. Maka, barangsiapa yang tidak mau menempuh jalan yang lurus, niscaya ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyimpangannya, karena di depannya sudah ada jalan lurus yang dapat ditempuhnya.

Menurut kenyataan, unsur-unsur yang dapat membawa orang kepada hidayah dan mendorong­nya untuk beriman baik yang terdapat pada diri seseorang maupun pada alam semesta itu sangat kuat, mendalam, dan berat. Sehingga, sulit bagi hati untuk menghindar dari tekanannya kecuali dengan usaha keras dan sungguh-sungguh (untuk meng­hindarinya). Khususnya, ketika seseorang men­dengarkan pengarahan kepada hidayah dan iman itu dengan metode Al Qur'an yang mengesankan dan membangkitkan kesadaran. Tidaklah akan menyim­pang dari jalan Allah sesudah itu kecuali orang yang memang ingin menyimpang, tanpa uzu'r dan alasan pembenar apa pun.

Kehendak Teragung

Setelah ditetapkan bahwa manusia itu dapat saja memperoleh hidayah dan dimudahkan untuk ber­jalan di jalan yang lurus, maka ditetapkan kembali hakikat besar yang ada di belakang kehendak mereka. Yaitu, suatu hakikat bahwa kehendak yang bertindak di belakang segala sesuatu adalah ke­hendak Allah swt,


'Kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. " (At Takwiir: 29)

Hal itu supaya mereka tidak memahami bahwa kehendak mereka tersebut lepas dari kehendak terbesar yang menjadi tempat kembalinya segala urusan. Maka, pemberian kebebasan kepada mereka untuk memilih dan dimudahkannya meraih petun­juk, semua itu kembali kepada kehendak terbesar tersebut, yang meliputi segala sesuatu, yang sudah, sedang, maupun yang akan ada.      
    .
Nash-nash ini disebutkan pada bagian akhir oleh Al Qur' an setelah menyebutkan kehendak makhluk, dengan maksud untuk meluruskan pandangan iman dan cakupannya terhadap hakikat yang besar. Yaitu, hakikat bahwa segala sesuatu di alam wujud ini kembalinya adalah kepada Allah. Juga hakikat bahwa apa yang diizinkan-Nya bagi manusia yang berupa kemampuan untuk menentukan pilihan itu adalah bagian dari kehendak-Nya, sebagaimana halnya semua ketentuan dan aturan yang lain. Keadaannya seperti apa yang diizinkan bagi para malaikat untuk melakukan ketaatan yang mutlak terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dan adanya kemampuan yang sempurna untuk me­laksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Hal ini adalah bagian dari kehendak Allah juga, seperti halnya Dia memberi kemampuan kepada manusia untuk memilih salah satu jalan setelah di­ajarkan dan dijelaskan kepada mereka.

Akhirnya, tak dapat dilepaskan bahwa kita perlu menetapkan hakikat ini di dalam pikiran orang-orang mukmin, agar mereka mengerti apa kebenaran itu sendiri. Juga agar mereka berlindung kepada ke­hendak teragung dengan mencari pertolongan dan taufik di sisinya, serta bergantung padanya dalam semua yang mereka ambil dan mereka tinggalkan di dalam perjalanan.